Mendadak Metaverse. Mungkin dua kata ini dapat mendeskripsikan situasi akhir-akhir ini. Banyak pihak tiba-tiba sibuk memperbincangkan sebuah kosakata baru, Metaverse.
Apalagi pemerintah berencana untuk membangun ibukota negara baru dalam versi Semesta Meta. Tidak hanya itu, prototipe Metaverse Indonesia juga akan diperkenalkan pada perhelatan G20 tahun ini.
Demam Metaverse nyatanya juga ikut melanda banyak negara. Korea Selatan, misalnya. Pemerintah Negeri Ginseng telah mengumumkan rencana untuk mendirikan Metaverse Seoul. Seoul digadang-gadang menjadi kota metropolitan digital pertama di dunia.
Dengan investasi sebesar 3,9 miliar KRWatau setara Rp47,3 miliar, Metaverse Seoul mencakup balai kota virtual, tempat wisata, pusat layanan sosial dan berbagai fasilitas masyarakat lainnya.
Ibarat sebuah dunia baru di alam nyata, Metaverse sejatinya menjanjikan banyak peluang untuk dieksplorasi. Sayangnya banyak pihak masih terjebak dalam diskursus sempit. Topik pembahasan terbatas pada penggunaan aset kripto dan NFT (non-fungible tokens) dalam ekosistem maya ini.
Padahal kehadiran Metaverse berpotensi membawa sebuah perubahan struktural bernama revolusi industri kelima (industri 5.0).
BACA JUGA: MERAMAL TREN METAVERSE BANKING
Memang saat ini belum ada konsensus resmi tentang definisi industri 5.0. Namun jika menilik teknologi di belakang Metaverse, ramalan ini terbilang masuk akal. Teknologi mutakhir seperti Artificial Intelligence (AI), Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR) dan blockchain dirajut dalam satu ekosistem yang saling terkoneksi.
Imbasnya, cara manusia bekerja dan berinteraksi, serta sistem perusahaan berproduksi juga akan berubah total.
Dalam jangka pendek, kemunculan Metaverse diyakini akan menjadi evolusi dari media sosial. Komunikasi manusia tidak lagi hanya terpaku pada penggunaan chat, serta panggilan video dan suara.
Percakapan tatap muka secara langsung lewat avatar tiga dimensi akan semakin marak. Menariknya, percakapan tersebut dapat dilakukan tidak hanya dengan manusia, namun juga dengan robot virtual.
Layanan nasabah perbankan dapat menjadi contoh studi kasus. Saat ini opsi saluran yang tersedia untuk nasabah menyampaikan pertanyaan masih belum ideal. Kunjungan ke kantor bank menguras banyak waktu, panggilan call center dengan biaya pulsa tidak murah, live chat di situs bank yang kurang responsif dan chatbot di aplikasi messager hanya mengakomodir pertanyaan umum.
Pada titik inilah Metaverse akan menjadi game changer. Layanan nasabah perbankan dapat dirancang lebih customized sesuai kebutuhan masing-masing nasabah.
Nasabah dapat berinteraksi dengan personal assistant virtual berbasis AI secara langsung, mudah, efisien dan spesifik.
Produk digital
Sementara dalam jangka panjang, Metaverse akan memaksa pelaku industri manufaktur berpikir ulang untuk tidak hanya bertumpu pada produksi barang fisik.
Mereka akan dipacu untuk mencari cara bagaimana menciptakan produk-produk digital berbasis NFT dan dipasarkan secara luas di alam Metaverse.
Produsen sepatu kenamaan, Nike telah bersiap memulai tren ini. Nike mengakuisisi usaha rintisan RTFK sebagai upaya untuk mempercepat transformasi digital perusahaan, termasuk menjual sneakers dan produk virtual lainnya di Metaverse.
Setali tiga uang, perusahaan fesyen global, seperti LV dan Gucci juga telah meluncurkan koleksi khusus yang hanya bisa dibeli di Metaverse. Produk fesyen digital ini nantinya dipakai oleh avatar pembeli di Metaverse sebagai cerminan diri pengguna.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Langkah serupa juga diambil oleh Walmart. Raksasa ritel ini dikabarkan telah mengajukan beberapa hak paten atas merek dagang baru untuk membuat dan menjual produk virtual di Metaverse, seperti peralatan elektronik, dekorasi rumah, mainan, barang olahraga, dan produk perawatan pribadi.
Tak pelak perdebatan hangat mewarnai ruang diskusi publik perihal aksi korporasi ini. Bagi kelompok kontra, prediksi tren penjualan barang digital dinilai imajiner.
Alasannya produk digital di Metaverse tersebut bukanlah barang kebutuhan primer maupun sekunder. Artinya, tidak ada alasan fundamental fenomena ini akan mendisrupsi tatanan sistem produksi barang yang sudah berjalan saat ini.
Di sisi lain, kelompok pro justru membangun argumentasinya dari aspek psikologis konsumen yang cenderung irasional. Kebiasaan memamerkan kepemilikan barang dan gaya hidup semakin meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan per kapita.
Buktinya, tidak sedikit kaum kelas menengah atas yang berani merogoh kocek dalam-dalam untuk jasa fotografi profesional demi mempercantik tampilan media sosial.
Logika inilah yang lantas menjelaskan mengapa korporasi papan atas mulai berbondong-bondong merancang produk digitalnya. Sebagaimana media sosial yang menjadi representasi diri penggunanya, prinsip yang sama juga berlaku pada avatar pengguna di Metaverse. Penampilan avatar diasosiasikan sebagai lambang status sosial penggunanya di dunia nyata.
BACA JUGA: PELUANG DAN TANTANGAN STARTUP SUPER
Dari perspektif makro, eksistensi Metaverse niscaya akan membawa dua imbas utama yang saling berlawanan. Destruction effect timbul sebagai dampak disrupsi Metaverse terhadap industri yang sangat bergantung pada mobilitas manusia. Misalnya, bisnis transportasi dan gedung perkantoran.
Di sisi lain, capitalization effect merupakan konsekuensi atas meningkatnya permintaan barang dan jasa baru yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja baru di industri yang baru.
Kabar baiknya, Metaverse memungkinkan terjadinya demokratisasi ekonomi. Semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan dan menjual karya digitalnya tanpa perlu khawatir dengan keterbatasan modal yang dimiliki.
Dan tentu saja, kehadiran Metaverse diekspektasikan mampu menciptakan capitalization effect yang lebih besar ketimbang destruction effect, melalui penciptaan lapangan pekerjaan lintas sektor usaha.
Artikel ini telah dimuat di Harian REPUBLIKA 8 Februari 2022