Habis digital banking, terbitlah metaverse banking. Ungkapan ini sangat tepat disematkan pada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Setelah sukses membawa BRI Agro bertransformasi menjadi bank digital berlabel Bank Raya, kini BRI tengah berancang-ancang membuka kantor cabang virtual pertamanya di dunia metaverse.
BRI tentu saja tidak sendirian. Langkah serupa juga sedang digarap oleh bank BUMN lainnya, yakni Bank Negara Indonesia (BNI). Di tingkat global, raksasa perbankan investasi JPMorgan Chase bahkan telah resmi dinobatkan sebagai bank pertama yang mendirikan kantor di metaverse.
Dalam laporan publikasinya, bank terbesar asal Amerika Serikat itu menyebut peluang pasar di metaverse diperkirakan bisa mencapai US$ 1 triliun.
Sejumlah bank internasional lain dikabarkan turut serta dalam aksi transformatif ini. Sebut saja, KB Kookmin Bank, Industrial Bank of Korea, NH Nonghyup, Hana Bank, Bank of America, BNP Paribas, Bank of Kuwait dan Mecrobank.
Kehadiran metaverse banking sejatinya merupakan evolusi lebih lanjut dari digital banking. Keduanya sama-sama memberikan jasa perbankan dimanapun dan kapanpun secara instan. Namun, perbedaannya metaverse banking mampu menghadirkan pengalaman yang lebih imersif bagi nasabah.
Layanan dua dimensi di layar gawai cerdas ditransformasi menjadi tampilan tiga dimensi lewat penggabungan virtual reality (VR), augmented reality (AR) dan kecerdasan buatan.
Pada tataran teoritis, fenomena di atas kian menegaskan era Bank 4.0 saat ini. Brett King (2018) mendefinisikan Bank 4.0 sebagai era di mana layanan perbankan melekat dengan nasabah secara real time lewat beragam teknologi.
Layanan mengandalkan kecerdasan buatan dan diberikan lewat omnichannel, tanpa membutuhkan kantor fisik bank sama sekali.
BACA JUGA: WAJAH INDUSTRI ERA METAVERSE
Banyak ahli percaya metaverse sebagai the next game changer di dunia perbankan. Kemunculan perbankan di semesta meta digadang-gadang menjadi jurus ampuh perbankan untuk tetap eksis di tengah kompetisi industri yang semakin ketat.
Metaverse niscaya akan memberikan pengalaman baru bagi nasabah, khususnya bagi mereka yang merasa lebih aman dan nyaman untuk berinteraksi secara langsung.
Nasabah dan petugas perbankan di semesta meta sama-sama direpresentasikan dalam bentuk avatar yang menggambarkan individu asli masing-masing. Interaksi dilakukan di dunia virtual, namun dengan sensasi seakan di dunia nyata.
Keunggulan kompetitif inilah yang kemudian dapat dieksplorasi lebih jauh oleh perbankan dalam menawarkan produknya.
Misalnya, ketika penyampaian ilustrasi produk kredit atau investasi, metaverse memungkinkan ilustrasi dihadirkan seolah-olah nasabah berada di dalam ilustrasi tersebut.
Nasabah tidak lagi hanya sekedar membaca atau membayangkannya saja. Kondisi serupa juga berlaku tatkala nasabah membuka rekening simpanan maupun melakukan transaksi pembayaran.
Hanya bank besar
Jika melihat peta persaingan dan respon terhadap perkembangan teknologi saat ini, strategi metaverse banking diprediksi tidak akan ditempuh oleh semua perbankan.
Kemungkinan besar hanya kelompok bank besar saja yang akan merealisasikannya. Selain karena faktor nominal investasi, perbedaan target nasabah menjadi pertimbangannya.
Dengan menyasar nasabah dari kalangan UMKM, kelompok bank kecil tampaknya lebih nyaman menempatkan dirinya sebatas sebagai bank digital. Segmen nasabah yang dilayani umumnya lebih mengedepankan servis yang cepat, mudah dan murah. Artinya, layanan perbankan cukup dilakukan lewat aplikasi tanpa perlu tatap muka.
Cerita berbeda dihadapi oleh kelompok bank besar. Terdapat golongan nasabah kelas atas dengan predikat nasabah prioritas yang perlu mendapat layanan ekstra. Jumlah nasabah di segmen ini relatif sedikit, namun menguasai mayoritas dana pihak ketiga.
Menariknya karakteristik nasabah prioritas ini masih menitikberatkan pada pengalaman layanan secara langsung. Di sinilah metaverse akan memainkan peran krusial dalam menjaga loyalitas nasabah crazy rich.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Sementara dari sisi konsumen, tidak semua nasabah mampu mengakses layanan metaverse banking. Pasalnya harga perangkat VR untuk memasuki ekosistem metaverse masih kurang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
Belum lagi isu biaya jaringan internet 5G yang juga dinilai belum cukup ekonomis. Tak ayal metaverse banking didesain eksklusif hanya untuk melayani kelompok nasabah tertentu dalam jangka menengah.
Di samping itu, argumen ini seakan turut menegaskan bahwa eksistensi metaverse banking tidak serta merta akan mengeliminasi keberadaan kantor fisik bank. Dalam beberapa kasus, nasabah tetap diwajibkan ke kantor fisik bank karena adanya batasan jenis dan nominal transaksi yang bisa diproses secara digital.
Maka menjadi sebuah diskursus menarik, “Apakah metaverse banking akan menjadi tren perbankan di masa depan?” Jawabannya tentu sangat mungkin, namun dengan beberapa prasyarat mendasar agar ramalan ini bisa terwujud. Pertama, penguatan aspek legal.
Misalnya, terkait implementasi ketentuan proses pengenalan nasabah secara elektronik atau electronic Know Your Customer (e-KYC) di dunia metaverse.
Penerapan e-KYC saat ini bisa beragam. Mulai dari panggilan video, mengirimkan foto wajah, memanfaatkan data kependudukan yang telah terintegrasi dengan data unik (sidik jari dan retina), hingga menggunakan tanda tangan digital.
Sayangnya, praktik e-KYC yang berlaku tersebut belum dapat diimplementasikan sepenuhnya di ekosistem metaverse mengingat perangkat VR yang tersedia masih belum mendukung prosedur tersebut.
BACA JUGA: MENDORONG INDUSTRI BERBASIS INOVASI
Contoh kasus lainnya, “Apakah pembuatan akad kredit dapat dilakukan secara sah di semesta meta?” Jawaban atas pertanyaan ini masih abu-abu. Tanpa adanya payung hukum yang jelas dan mengikat, metaverse banking tak ubahnya dengan showcasing kantor perbankan di dunia virtual semata.
Kedua, pembentukan wajah awal metaverse banking. Sebagaimana layaknya sebuah proyek investasi jangka panjang, mayoritas para pemain bank besar akan cenderung mengambil posisi wait and see pada tahap awal.
Oleh karena itu, kesuksesan BRI dan BNI sebagai pionir dalam membangun metaverse banking tanah air pada ajang G20 nanti akan menentukan arah pengembangannya ke depan.
Ketiga, respon antusiasime nasabah. Meskipun menjanjikan banyak keunggulan, namun hal ini tidak akan berarti apa-apa apabila nasabah tidak memanfaatkannya secara optimal.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 26 Februari 2022