Jul 3, 2025 | On Self-Productivity
Bayangkan kamu bekerja di sebuah perusahaan di mana bosmu tidak memiliki kantor pribadi. Ia duduk bersama timnya, bekerja di meja yang sama, tanpa batasan fisik maupun psikologis. Ia tidak meminta laporan absensi, tidak memantau jam kerja, tapi timnya justru lebih produktif dan penuh semangat.
Kedengarannya seperti mimpi? Bagi Kevin Kruse, penulis buku Great Leaders Have No Rules, itulah masa depan kepemimpinan—dan mungkin satu-satunya cara untuk memimpin secara otentik di era modern.
Kevin Kruse, seorang entrepreneur sukses dan pemimpin beberapa perusahaan teknologi, memulai buku ini dengan satu gagasan provokatif: Aturan-aturan lama dalam kepemimpinan sudah usang.
Di dunia kerja yang terus berubah, pendekatan top-down dan penuh kontrol justru menjadi penghambat. Para pemimpin hebat hari ini bukanlah pengatur atau pengawas, melainkan pemberi kepercayaan, pemberi inspirasi, dan pemutus rantai aturan yang tak perlu.
Pemimpin Hebat Tidak Punya Aturan
Buku ini dimulai dengan satu pertanyaan besar: “Apa jadinya jika seorang pemimpin membuang semua aturan?”
Jawabannya tidak sesederhana chaos atau anarki. Justru, dalam ketiadaan aturan yang kaku, muncul rasa tanggung jawab personal dan kebebasan bertindak. Kruse bercerita tentang pengalamannya memimpin tim tanpa aturan HR yang ketat—tanpa kebijakan cuti, tanpa aturan jam kerja—dan hasilnya? Kepercayaan dan loyalitas yang luar biasa dari karyawannya.
Menghapus aturan bukan berarti membiarkan semua hal berjalan tanpa arah. Sebaliknya, ini tentang mengganti sistem kontrol eksternal dengan kesadaran internal. Ketika orang dewasa diperlakukan sebagai orang dewasa, mereka akan menunjukkan kedewasaan mereka.
Dari “Kontrol” ke “Koneksi”
Salah satu bab terpenting dalam buku ini adalah ketika Kruse menantang aturan “buka pintu kantor” yang selama ini dipandang sebagai simbol transparansi. Ia menyarankan pemimpin untuk menutup pintu mereka—dan bahkan lebih baik, tidak punya pintu sama sekali.
Kantor pribadi, bagi Kruse, menciptakan jarak dan hierarki. Ia menyarankan kita untuk bekerja di ruang terbuka, bersama tim, mendengarkan mereka secara langsung, dan hadir sepenuhnya dalam percakapan informal.
Alih-alih menjadi pemimpin yang “terbuka”, kita diajak untuk menjadi pemimpin yang tersedia dan setara. Di sinilah peran koneksi personal menjadi lebih penting daripada aturan struktural. Bukan struktur yang menciptakan kepercayaan, tapi interaksi yang otentik.
Jangan Pernah Menyuruh—Tapi Tawarkan Pilihan
Kruse kemudian menyentil kebiasaan pemimpin yang selalu memberikan instruksi. “Suruh mereka kerjakan ini”, “Saya mau laporan itu besok”, atau “Jangan lakukan itu lagi.”
Bagi Kruse, pemimpin hebat tidak menyuruh, tapi memengaruhi. Daripada berkata, “Tolong kamu kerjakan proyek ini”, ia menyarankan untuk berkata, “Saya butuh bantuan untuk menyelesaikan proyek ini. Menurutmu, bagaimana kamu bisa membantu?” Perbedaan kecil ini menciptakan rasa memiliki dalam diri anggota tim. Mereka merasa terlibat, bukan disuruh.
Privasi Adalah Ilusi
Salah satu ide paling berani dalam buku ini adalah ketika Kruse mengatakan bahwa pemimpin harus membunuh mitos privasi. Bukan dalam arti menjadi pemimpin yang kepo atau mengintip kehidupan pribadi timnya, tapi dalam arti bahwa pemimpin harus tahu siapa anggota timnya—bukan hanya dari sisi pekerjaan, tapi dari sisi siapa mereka sebenarnya.
Kruse percaya bahwa semakin kita mengenal orang-orang kita, semakin kita bisa memimpin dengan empati. Kita tidak bisa memotivasi orang yang tidak kita kenal. Kita tidak bisa membangun kepercayaan dengan orang yang hanya kita lihat sebagai posisi dalam struktur organisasi.
Menjadi Pemimpin yang Tidak Populer
Poin ini bisa jadi membuatmu berhenti sejenak. Siapa sih yang tidak ingin disukai oleh timnya? Tapi Kruse menulis dengan lantang: “Pemimpin hebat tidak selalu disukai, tapi mereka dihormati.”
Sering kali pemimpin jatuh dalam jebakan ingin menjadi teman bagi semua orang. Akibatnya? Mereka menghindari konfrontasi, tidak berani memberi feedback jujur, dan akhirnya membiarkan kinerja tim menurun.
Kruse mendorong kita untuk berani tidak populer. Memberikan feedback yang sulit. Menyampaikan ekspektasi yang jelas. Dan di atas segalanya, menjadi pemimpin yang adil, bukan yang menyenangkan semua orang.
Jangan Menyamaratakan Aturan
Pernahkah kamu membuat aturan hanya karena satu orang menyalahgunakan kepercayaan?
Kruse menyebut ini sebagai “the bad apple rule”—ketika satu orang membuat masalah, lalu kita membuat aturan baru yang berlaku bagi semua orang. Padahal, aturan itu hanya diperlukan untuk si pembuat masalah.
Dalam kepemimpinan modern, kita perlu meninggalkan pendekatan menyamaratakan. Pemimpin harus punya keberanian untuk mengelola individu, bukan sistem. Pemimpin hebat memperlakukan orang sebagai individu yang unik—dengan gaya kerja, tantangan, dan motivasi yang berbeda.
Kepercayaan, Bukan Pengawasan
Banyak perusahaan menerapkan sistem pengawasan ketat: CCTV, pelacakan waktu kerja, bahkan perangkat lunak pemantau layar komputer. Tapi Kruse justru berargumen bahwa semakin kita mengawasi, semakin kita menciptakan ketidakpercayaan.
Ia mengutip banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kepercayaan adalah kunci produktivitas. Ketika tim merasa dipercaya, mereka cenderung bekerja lebih keras untuk tidak mengecewakan. Sebaliknya, ketika mereka merasa diawasi, mereka justru mencari cara untuk “mengakali sistem”.
Pimpin dengan Otentik dan Percaya
Great Leaders Have No Rules bukanlah ajakan untuk menjadi pemimpin kacau yang menolak sistem. Sebaliknya, buku ini mengajak kita meninggalkan pendekatan usang yang terlalu bergantung pada kontrol, aturan kaku, dan birokrasi.
Di tengah dunia kerja yang semakin dinamis, penuh perubahan, dan didominasi oleh generasi yang mendambakan makna, Kruse menawarkan cara memimpin yang lebih manusiawi, adaptif, dan efektif: dengan kepercayaan, bukan pengawasan; dengan hubungan, bukan dominasi.
Kepemimpinan hebat bukan lagi soal seberapa banyak aturan yang bisa ditegakkan, melainkan seberapa dalam kita bisa terhubung dengan orang-orang yang kita pimpin. Seberapa besar kita mampu menumbuhkan rasa kepemilikan dalam tim, bukan rasa takut akan hukuman.
Di sinilah letak kekuatan sejati pemimpin masa depan—mereka yang bisa melepaskan ego, membuka diri, dan mempercayai orang lain untuk bertumbuh bersama.
Buku ini menggugah kita untuk bertanya: Apakah saya sedang memimpin karena posisi, atau karena kepercayaan? Apakah saya memimpin dengan kendali, atau dengan pengaruh? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana kita bisa membawa tim kita menuju puncak potensi mereka.
Dan jika kamu merasa terjebak dalam pola lama kepemimpinan yang tak lagi relevan, barangkali sudah waktunya untuk mengganti pertanyaan “aturan apa yang harus saya buat?” menjadi “hubungan apa yang harus saya bangun?“
“Your job as a leader isn’t to enforce rules—it’s to shape culture.” – Kevin Kruse
May 17, 2025 | On Self-Productivity
Satu hal yang sering membuat kita—terutama para manajer dan profesional muda—merasa tidak percaya diri adalah ketika melihat riwayat pekerjaan atau pengalaman karier yang tampak tidak linier. Berpindah-pindah pekerjaan, lintas industri, bahkan ganti bidang beberapa kali. Rasanya seperti tidak punya arah yang jelas.
Namun jangan khawatir. Buku Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World karya David Epstein hadir seperti segelas kopi panas di pagi yang dingin—menenangkan dan membuka mata.
Buku ini adalah pembelaan yang kuat untuk orang-orang yang tidak menempuh jalur spesialisasi tunggal, tetapi justru memiliki beragam pengalaman lintas bidang. Jika kamu pernah merasa, “Mengapa aku belum menjadi ahli di satu hal pun?”, mungkin kamu bukan tersesat—kamu hanya sedang tumbuh sebagai seorang generalist.
Dua Jalan Menuju Keunggulan
Epstein memulai bukunya dengan dua tokoh besar: Tiger Woods dan Roger Federer.
Tiger sejak umur 2 tahun sudah memegang stik golf. Dididik secara intens oleh ayahnya. Fokus hanya pada satu bidang. Hasilnya: juara dunia dan legenda.
Federer? Masa kecilnya diisi dengan bermain basket, renang, badminton, bahkan skateboard. Bahkan ibunya sendiri mengatakan bahwa Federer adalah anak yang santai dan tidak terlalu ambisius. Namun pada akhirnya, dia juga menjadi salah satu atlet terbaik sepanjang masa di dunia tenis.
Apa pelajaran dari sini? Tidak semua kesuksesan lahir dari spesialisasi dini. Banyak orang justru berkembang melalui proses eksplorasi yang beragam.
Spesialisasi Itu Penting—Tapi Tidak Selalu Jawaban
Mungkin kamu pernah mendengar teori 10.000 jam dari Malcolm Gladwell—bahwa seseorang butuh latihan sebanyak itu untuk menjadi ahli. Teori ini berlaku di dunia dengan pola stabil seperti catur atau musik klasik.
Namun dalam dunia kerja saat ini, kamu sedang bermain di medan yang berbeda. Dunia kerja adalah wicked learning environment—lingkungan belajar yang tidak pasti, sering berubah, dan penuh ketidakjelasan. Hari ini kamu belajar strategi bisnis, besok sudah harus memahami UI/UX.
Di sinilah para generalis unggul. Mereka tidak hanya terbiasa dengan perubahan, tapi juga mampu menghubungkan banyak hal lintas bidang untuk menghasilkan solusi baru.
Kekuatan Seorang Generalist
Epstein menunjukkan bahwa banyak tokoh hebat bukan berasal dari jalur lurus, tapi dari perjalanan yang penuh belokan. Van Gogh sempat menjadi guru dan pengkhotbah sebelum melukis. Steve Jobs belajar kaligrafi tanpa tujuan karier yang jelas—dan justru itu yang membuat desain produk Apple begitu elegan.
Apa yang membuat seorang generalist menonjol? Ini beberapa kekuatannya:
- Pemikiran analogi lintas konteks. Generalis mampu menghubungkan hal-hal dari dunia yang berbeda dan menciptakan pendekatan baru. Seperti bagaimana desain pesawat terinspirasi dari sayap burung.
- Adaptasi cepat. Karena terbiasa melompat dari satu bidang ke bidang lain, generalis cenderung lebih cepat belajar dan menyesuaikan diri.
- Kemampuan menjadi jembatan antar tim. Generalis bisa bicara dengan bahasa teknis, tetapi juga bisa menjelaskan kepada tim bisnis. Mereka menjadi penghubung yang memudahkan kerja sama.
- Inovasi yang orisinal. Dengan sudut pandang yang lebih luas, generalis sering menemukan ide-ide segar yang belum terpikirkan oleh para spesialis.
Mengapa Perusahaan Masa Kini Butuh Generalist?
Di tengah disrupsi teknologi, perubahan regulasi, dan tekanan pasar, perusahaan butuh orang yang bisa berpikir fleksibel. Sayangnya, banyak perusahaan masih lebih menyukai spesialis dengan pengalaman panjang di satu bidang.
Padahal, studi menunjukkan bahwa organisasi yang membuka ruang untuk eksplorasi dan pengembangan lintas fungsi justru lebih inovatif.
IBM, misalnya, menemukan bahwa karyawan yang pernah berpindah antar divisi dan mencoba berbagai proyek memiliki performa yang lebih baik dalam jangka panjang. Mereka bukan yang paling ahli di satu hal, tapi mereka punya pemahaman menyeluruh dan mampu membuat keputusan lintas departemen.
Dunia kerja hari ini membutuhkan orang yang mampu menyambungkan titik, bukan hanya menggali lebih dalam di satu titik.
Kamu Tidak Terlambat—Kamu Sedang Melalui Masa Eksplorasi
Banyak dari kita merasa tertinggal karena belum tahu “panggilan hidup”, bahkan setelah bertahun-tahun bekerja. Tapi Range menjelaskan bahwa masa eksplorasi adalah fase yang sehat dan produktif.
Sama seperti Federer, banyak orang sukses justru berkembang setelah mencoba berbagai hal. Mereka menyusun pola dari pengalaman, lalu menemukan posisi terbaik untuk berkontribusi.
Jadi, jika saat ini kamu sedang berpindah dari marketing ke project management, lalu ke analitik—itu bukan kegagalan. Itu adalah proses pembentukan perspektif.
Lalu, apa yang bisa kamu lakukan?
- Ubah cara pandang terhadap pengalaman kariermu. Jangan malu memiliki pengalaman yang beragam. Ceritakan bahwa itu memberimu sudut pandang luas.
- Latih berpikir lintas disiplin. Baca buku dari topik yang jauh dari pekerjaanmu sekarang. Gabungkan logika bisnis dengan seni, desain dengan psikologi, teknologi dengan budaya.
- Ikut proyek lintas divisi. Ambil tantangan di luar deskripsi pekerjaanmu. Terlibat dalam proyek baru akan memperkaya cara kamu berpikir dan bekerja.
- Pilih jalur karier yang memberi ruang belajar horizontal. Karier tidak selalu tentang promosi jabatan. Kadang, memperluas wawasan jauh lebih berharga dari sekadar naik level.
Di Dunia yang Cepat Berubah, Fleksibilitas adalah Kekuatan
Dulu, menjadi “jack of all trades” dianggap kurang fokus. Tapi hari ini, menjadi generalist adalah keunggulan kompetitif.
Range mengingatkan kita bahwa tidak semua orang harus menjadi ahli sejak dini. Justru, mereka yang mengambil waktu untuk mengeksplorasi, gagal, belajar, dan menggabungkan pengalaman lintas bidang adalah mereka yang bisa menciptakan solusi paling relevan dan segar di masa depan.
Karier bukan perlombaan cepat. Bahkan bukan juga maraton. Dunia kerja hari ini lebih mirip parkour—kamu harus cekatan, fleksibel, dan siap berpindah arah tanpa jatuh.
Jadi, jika hari ini kamu masih bertanya, “Apa spesialisasiku?”, mungkin jawabannya adalah: kamu tidak punya satu, karena kamu punya range.
Dan itu bukan kekurangan. Itu kekuatanmu.
“Specialists tend to be good at solving the same problem repeatedly, but generalists are better at solving new problems.” – David Epstein
Apr 30, 2025 | On Self-Productivity
Di dunia yang serba cepat, instan, dan penuh distraksi, mudah bagi kita—para profesional muda dan manajer—untuk merasa seperti terus berlari tapi tak kunjung sampai. Kita sibuk setiap hari, menghadiri rapat, mengejar tenggat waktu, menjawab email tanpa akhir.
Namun, diam-diam kita bertanya dalam hati: “Apakah semua ini benar-benar membawaku lebih dekat ke impianku?”
Buku The Long Game: How to Be a Long-Term Thinker in a Short-Term World karya Dorie Clark hadir sebagai tamparan lembut sekaligus panduan konkret. Buku ini bukan hanya tentang strategi karier, tapi tentang membentuk pola pikir jangka panjang yang bisa mengubah hidup Anda selamanya.
Mengapa Banyak Profesional Terjebak?
Kita hidup di era instan. Target kuartal. Promosi cepat. Like dan views yang viral. Semua orang ingin hasil sekarang. Akibatnya, kita terjebak di dalam kesibukan tanpa strategi.
Seperti kata Clark:
“Terlalu banyak dari kita menghabiskan hidup mengikuti jejak orang lain, bukannya menyusun jejak kita sendiri.”
Kita sibuk merespons permintaan, mengejar target mingguan, dan menyenangkan semua orang. Tapi kita lupa: apakah semua itu benar-benar membawa kita ke tujuan jangka panjang kita?
1. Ciptakan Ruang Kosong
Strategi tidak lahir dari kalender yang penuh. Clark percaya bahwa kesempatan strategis hanya muncul jika kita memberi ruang untuk berpikir. Ruang ini bukan “me time” biasa. Ini adalah thinking time—waktu yang kamu sengaja sisihkan untuk mengatur ulang arah hidupmu.
Coba lihat kalendermu minggu ini. Apakah ada waktu kosong? Jika tidak, kamu mungkin sedang terlalu sibuk untuk sadar bahwa kamu sedang melenceng dari arah.
Solusinya sederhana: blokir satu jam seminggu hanya untuk berpikir. Matikan notifikasi. Ambil jurnal. Tanyakan pada dirimu sendiri:
- Apakah proyek yang sedang aku kerjakan saat ini mendukung karier impianku 5 tahun ke depan?
- Apa satu hal yang bisa aku ubah minggu ini agar lebih dekat ke tujuan jangka panjang?
Ini bukan buang-buang waktu. Ini investasi strategi.
2. Kesabaran Adalah Kekuatan Kompetitif
Dalam dunia yang mengejar viral dan instan, berpikir jangka panjang bisa terasa lambat. Tapi Clark membalik cara pandang itu: justru mereka yang berpikir jauh ke depanlah yang akan bertahan dan unggul.
Ia menyebut konsep ini sebagai strategic patience—kesabaran strategis. Artinya, kamu tetap bergerak, tapi dengan arah yang jelas. Kamu tidak panik karena belum dilihat hari ini, karena kamu tahu dampak jangka panjang sedang kamu bangun.
Contohnya? Seorang manajer muda yang rutin menulis insight di LinkedIn, mungkin diabaikan setahun pertama. Tapi di tahun ketiga, ia diundang jadi pembicara, direkrut headhunter, atau diminta memimpin divisi baru. Itu bukan keberuntungan. Itu kekuatan bermain panjang.
3. Tujuan Tetap, Jalan Fleksibel
Clark mengingatkan kita bahwa berpikir jangka panjang bukan berarti keras kepala dengan satu cara.
Kamu bisa punya mimpi besar—menjadi direktur, membangun bisnis sendiri, menjadi thought leader di bidangmu. Tapi bisa saja jalannya berliku. Mungkin kamu harus pindah tim, rotasi jabatan, atau bahkan pindah industri. It’s okay.
Yang penting, tujuanmu tetap.
Dia menyebut ini opportunistic adaptation—kemampuan untuk fleksibel tanpa kehilangan arah. Dunia kerja berubah cepat. Yang bisa bertahan adalah mereka yang tidak terlalu kaku dalam cara, tapi sangat jelas dalam visi.
4. Katakan “Tidak” Lebih Sering
Clark menulis tajam: “Being busy isn’t a badge of honor. It’s a sign that you’re out of control.”
Kita sering merasa bangga kalau kalender penuh. Tapi sadarkah kamu, semakin sibuk kamu tanpa tujuan jelas, semakin besar kemungkinan kamu hanya mengisi hidup orang lain—bukan hidupmu sendiri?
Belajar berkata “tidak” adalah keterampilan penting untuk bermain panjang.
- Tolak proyek yang tidak relevan dengan arahmu.
- Delegasikan tugas operasional jika memungkinkan.
- Jangan terjebak menjadi orang yang bisa semuanya, tapi tidak dikenal untuk apa pun.
Setiap kali kamu berkata “ya” untuk hal yang tidak penting, kamu sedang berkata “tidak” pada masa depanmu.
5. Bangun Kredibilitas Secara Bertahap
Salah satu kesalahan terbesar profesional muda adalah terlalu fokus kerja keras tanpa membangun citra dan jaringan.
Clark tidak menyuruh kita menjadi “pencitraan”. Tapi dia menunjukkan betapa pentingnya membangun otoritas personal. Bagaimana caranya?
- Tulis pemikiranmu di LinkedIn atau blog pribadi.
- Berani tampil dan bicara di rapat.
- Buat mini project yang menunjukkan kompetensimu.
Kalau kamu dikenal untuk sesuatu, maka kamu akan jadi top of mind saat peluang datang. Reputasi jangka panjang tidak dibangun dengan kehebohan. Tapi dari konsistensi dan kontribusi kecil yang terus-menerus.
Dari Target ke Tujuan: Saatnya Ubah Pola Main
Kita terbiasa mengejar target. Tapi target bisa membutakan kita dari tujuan sebenarnya.
The Long Game mengajak kita untuk mulai bermain dengan tujuan. Bukan hanya mengejar hasil, tapi juga makna.
3 langkah untuk memulai “Permainan Panjang” hari ini
1. Tuliskan karier impianmu 5 tahun ke depan. Bukan posisi semata, tapi kontribusi seperti apa yang ingin kamu tinggalkan? Nilai apa yang ingin kamu bawa?
2. Audit kalendermu. Apakah 20% waktumu minggu ini kamu habiskan untuk sesuatu yang mendekatkanmu ke visi itu? Jika belum, ubah.
3. Mulai bangun kredibilitasmu hari ini. Tidak harus besar. Tulis insight-mu di LinkedIn, mulai mentoring rekan baru, atau ambil kursus yang mendukung bidangmu.
Menang di Akhir, Bukan Hanya Menang Hari Ini
Ingat, karier bukan sprint. Ini marathon. Bahkan mungkin ultra-marathon.
Dan seperti yang dikatakan Dorie Clark:
“Jangan biarkan urgensi hari ini mencuri masa depanmu.”
Main panjang memang melelahkan. Tapi begitu kamu menang, kamu menang dengan utuh. Kamu tidak hanya naik jabatan—kamu membangun kehidupan yang sesuai dengan nilaimu, misimu, dan dampakmu.
“When you build a reputation over time, you don’t need to chase opportunity. It comes looking for you.” – Dorie Clark
Apr 24, 2025 | On Self-Productivity
Apakah kamu pernah merasa sudah bekerja keras, tetapi hasilnya belum sebanding dengan usaha yang kamu keluarkan? Kamu lembur, ikut semua rapat, ambil semua proyek, tapi kariermu seperti jalan di tempat. Jika iya, kamu tidak sendiri. Banyak profesional muda yang terjebak dalam jebakan “sibuk yang semu”.
Morten T. Hansen, profesor manajemen dari University of California, melakukan studi mendalam terhadap lebih dari 5.000 profesional lintas industri. Hasil risetnya terangkum dalam buku Great at Work: How Top Performers Work Less and Achieve More. Intinya sederhana, tapi menggugah: bekerja lebih cerdas jauh lebih penting daripada bekerja lebih keras. Dan bekerja cerdas punya polanya.
Dalam artikel ini, kita akan membedah 7 prinsip utama dari buku Great at Work yang bisa kamu terapkan langsung untuk melesatkan karir tanpa harus mengorbankan waktu dan kesehatan mental.
1. Do Less, Then Obsess
Alih-alih mengejar banyak hal sekaligus, para top performer justru memilih sedikit hal penting, lalu mengerjakannya secara obsesif. Mereka tidak multitasking membabi buta. Mereka fokus.
Mengapa ini penting? Dalam riset Hansen, mereka yang bekerja dengan fokus tinggi pada sedikit prioritas bisa meningkatkan kinerja mereka hingga 25% lebih baik dibanding yang tersebar di banyak hal. Prinsip ini menantang budaya “selalu sibuk” yang justru membuat hasil jadi rata-rata.
Misalnya, jika kamu manajer proyek, alih-alih mengejar 5 inisiatif sekaligus, fokuslah pada 1-2 proyek yang paling strategis, lalu berikan perhatian 100% — dari kualitas tim, timeline, sampai ke detail eksekusi.
Prinsip ini juga menuntut keberanian untuk berkata “tidak”. Banyak dari kita takut melewatkan peluang, padahal terlalu banyak proyek justru membuat kita gagal total. Kuncinya adalah menyusun prioritas berbasis dampak.
Untuk bisa melakukan ini, kamu perlu pemahaman mendalam atas apa yang paling penting bagi organisasi dan peranmu. Tanya: Apa hal utama yang hanya kamu yang bisa kerjakan dan berdampak besar?
Hansen menyarankan agar kita tidak hanya menyaring, tapi juga menggali dalam. Ketika sudah memilih satu prioritas, kita perlu memperdalam pengetahuan, meningkatkan standar kualitas, dan mengeliminasi gangguan agar hasilnya benar-benar unggul.
2. Redesign Your Work
Top performer tidak hanya menerima pekerjaan apa adanya. Mereka mendesain ulang pekerjaannya agar lebih efektif dan bermakna.
Bayangkan kamu seorang Sales Executive. Daripada sekadar mengejar kuantitas klien baru, kamu bisa merancang ulang pendekatanmu: fokus pada segmen dengan potensi tertinggi, buat sistem follow-up yang efisien, dan bangun relasi jangka panjang.
Dengan mendesain ulang pekerjaan, kamu menghilangkan kegiatan yang tidak bernilai dan menggantinya dengan aktivitas yang berdampak besar. Ini bukan soal bekerja lebih lama, tapi bekerja lebih cerdas.
Sering kali kita terjebak dalam rutinitas tanpa pernah mempertanyakan: apakah cara kerja kita saat ini benar-benar optimal? Top performer bertanya: “Bagaimana saya bisa menghasilkan output 2x lipat dengan cara yang berbeda?”
Ini bisa berarti mengatur ulang jadwal kerja, mengadopsi tools digital, atau bahkan mendistribusikan ulang tanggung jawab tim. Perubahan ini tidak harus besar, tapi harus tepat sasaran. Prinsipnya adalah kerja harus mendatangkan nilai. Jika tidak, ubah caranya.
3. Don’t Just Learn, Loop
Belajar tidak berhenti saat kamu selesai kuliah. Namun belajar yang efektif bukan hanya soal membaca buku atau ikut pelatihan, melainkan menciptakan learning loop — siklus belajar, praktik, refleksi, dan perbaikan.
Top performer tidak puas hanya “tahu”. Mereka menguji, gagal, mengevaluasi, lalu mencoba lagi dengan cara lebih baik. Mereka belajar sambil jalan, bukan hanya dari teori.
Contohnya, saat kamu mencoba teknik presentasi baru di depan klien. Setelah presentasi, kamu luangkan waktu untuk mengevaluasi: bagian mana yang membuat klien tertarik? Di mana audiens mulai kehilangan fokus? Apa yang bisa diperbaiki minggu depan?
Proses refleksi ini adalah kunci peningkatan berkelanjutan. Hansen menemukan bahwa orang yang rutin melakukan refleksi setelah bekerja punya peningkatan kinerja hingga 22% dibanding yang tidak.
Buat jadwal refleksi mingguan. Tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang saya pelajari minggu ini? Apa yang akan saya ubah minggu depan?”
Dengan membangun learning loop, kamu menjadikan pekerjaan sebagai ruang eksperimen yang mempercepat kemajuanmu.
4. P-Squared (Passion and Purpose)
Banyak orang bicara soal passion. Tapi Hansen menunjukkan bahwa passion saja tidak cukup. Kamu juga butuh purpose — alasan mengapa kamu melakukan pekerjaanmu.
Passion membuat kamu bersemangat. Tapi purpose memberikan makna. Ketika keduanya bersatu, kamu punya energi jangka panjang.
Top performer dalam studi Hansen adalah mereka yang tidak hanya mencintai pekerjaannya, tapi juga merasa pekerjaan mereka punya dampak positif pada orang lain.
Misalnya, kamu seorang Product Manager. Passion-mu mungkin soal teknologi. Tapi purpose-mu adalah membantu pengguna menyelesaikan masalah hidup mereka dengan solusi digital yang sederhana.
Gabungan passion dan purpose membuat kamu tahan banting saat pekerjaan jadi berat. Kamu tidak mudah menyerah karena kamu tahu apa yang kamu lakukan penting.
Jika kamu belum menemukan keduanya, tanyakan ini: Apa bagian dari pekerjaanmu yang paling membuatmu hidup? Dan siapa yang kamu bantu dengan hasil kerjamu?
5. Forceful Champions
Ide cemerlang tidak akan berdampak jika kamu tidak bisa meyakinkan orang lain. Top performer adalah forceful champions — mereka mendorong ide penting dengan cara yang persuasif.
Hansen menunjukkan bahwa performa tinggi bukan hanya soal kerja individu, tapi juga bagaimana kamu membawa ide melintasi organisasi.
Kamu butuh strategi pengaruh. Bukan berarti manipulatif, tapi mampu membangun aliansi, bicara dalam bahasa yang dimengerti pemangku kepentingan, dan berani menyuarakan ide meski belum populer.
Contohnya, saat kamu punya ide efisiensi biaya, jangan langsung pitching ke atasan. Bangun dulu dukungan dari rekan kerja, cari data pendukung, lalu ajukan dengan kerangka dampak bisnis.
Forceful champions juga tahu kapan bersikap fleksibel dan kapan harus berdiri teguh. Mereka membaca kontek s dan menyesuaikan pendekatan. Dengan keterampilan ini, kamu bukan hanya menjadi eksekutor, tapi juga agen perubahan.
6. Fight and Unite
Kolaborasi tidak selalu mulus. Top performer tahu bahwa konflik sehat adalah bagian penting dari tim hebat. Mereka berani menyuarakan pendapat, tapi juga tahu kapan harus menyatukan suara. Hansen menyebutnya Fight and Unite: bertarung untuk ide, lalu bersatu untuk eksekusi.
Dalam tim, sering terjadi ketidaksepakatan. Yang membedakan top performer adalah cara mereka mengelola ketegangan itu menjadi diskusi produktif, bukan drama.
Mereka menciptakan ruang aman untuk debat ide, saling menghargai perbedaan, dan tetap fokus pada tujuan bersama.
Setelah diskusi selesai, mereka menyatukan barisan dan menjalankan keputusan dengan komitmen penuh, meskipun bukan ide mereka yang dipilih.
7. The Two Sins of Collaboration
Kolaborasi sering dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam dunia kerja modern. Namun, Morten Hansen memperingatkan bahwa kolaborasi yang tidak tepat justru dapat menjadi jebakan. Ia menyebut ada dua dosa utama dalam kolaborasi: under-collaboration dan over-collaboration.
Under-collaboration terjadi saat seseorang bekerja terlalu terisolasi. Mereka enggan meminta bantuan, tidak berbagi informasi, dan jarang melibatkan pihak lain, bahkan ketika kolaborasi akan mempercepat atau memperkaya hasil kerja. Ini bisa membuat pekerjaan menjadi lambat, tidak relevan, atau kehilangan dukungan dari rekan kerja.
Di sisi lain, over-collaboration juga berbahaya. Ini terjadi ketika terlalu banyak orang dilibatkan dalam sebuah proyek, terlalu banyak rapat, terlalu sering diskusi tanpa keputusan, dan energi tim terpecah karena koordinasi yang berlebihan. Hasilnya? Pekerjaan jadi lambat, membingungkan, dan melelahkan secara emosional.
Profesional hebat tahu bahwa kolaborasi bukan soal banyaknya orang yang terlibat, melainkan soal relevansi dan nilai tambah. Mereka mampu mengidentifikasi kapan kolaborasi dibutuhkan, dengan siapa, dan dalam porsi yang tepat.
Contohnya, seorang manajer proyek yang cerdas tidak mengundang seluruh divisi untuk ikut serta dalam setiap rapat. Ia hanya melibatkan stakeholder yang relevan, menetapkan tujuan yang jelas, dan membatasi waktu rapat agar tetap produktif.
Hansen menyimpulkan bahwa kolaborasi yang efektif ditandai dengan adanya batas yang sehat: cukup terbuka untuk ide dan sinergi, namun cukup selektif agar tetap fokus dan efisien.
Saatnya Bekerja Lebih Cerdas, Bukan Lebih Lama
Riset Morten Hansen mematahkan banyak mitos tentang kerja keras. Ternyata, kerja hebat bukan soal lembur, multitasking, atau hadir di semua rapat. Justru mereka yang memilih dengan cermat, menyederhanakan cara kerja, terus belajar secara reflektif, dan mampu berkolaborasi dengan tepatlah yang melesat jauh dalam kariernya.
Buku Great at Work bukan hanya panduan untuk menjadi lebih produktif, tapi juga ajakan untuk bekerja dengan makna. Dalam dunia kerja yang makin kompleks dan kompetitif, kamu tidak harus bekerja lebih lama. Kamu hanya perlu bekerja dengan lebih bijak.
Mulailah dari satu prinsip. Pilih satu dari tujuh yang paling relevan dengan tantanganmu saat ini. Terapkan selama sebulan, lalu evaluasi. Karier hebat dibangun dari perubahan kecil yang dilakukan dengan konsisten.
“Top performers work smarter and with greater focus. They obsess over the few things that matter and execute them flawlessly.” — Morten T. Hansen
Apr 19, 2025 | On Self-Productivity
Bayangkan karirmu seperti papan catur. Setiap langkah menentukan hidupmu beberapa tahun ke depan. Tapi kenyataannya, banyak dari kita menjalani karir seperti pemain catur amatir—bergerak tanpa arah, bereaksi alih-alih merencanakan.
Itulah mengapa Patrick Bet-David, seorang imigran asal Iran yang membangun kerajaan bisnisnya di Amerika Serikat, menulis buku Your Next Five Moves—sebuah panduan strategis yang membantumu berpikir seperti grandmaster catur dalam permainan karir dan kehidupan.
Kalau kamu sedang bertanya, “Langkah besar apa yang harus aku ambil setelah ini?” maka buku ini akan menjawabnya dengan gamblang dan menggugah. Bukan dengan motivasi kosong, tapi dengan strategi konkret dan cerita nyata.
Move #1: Ketahui Siapa Dirimu
Langkah pertama dalam permainan ini bukan soal CV atau posisi, tapi soal identitas. Siapa kamu sebenarnya? Apa yang paling kamu inginkan? Apa nilai yang kamu pegang?
Banyak profesional gagal bukan karena kurang pintar, tapi karena mereka menjalani hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Mereka menjadi versi “ideal” yang diharapkan oleh orang tua, pasangan, atau masyarakat, tanpa pernah benar-benar mengenali diri sendiri.
Kita perlu menjawab pertanyaan:
- Apakah kamu ingin menjadi eksekutif hebat atau pengusaha sukses?
- Apakah kamu lebih nyaman sebagai visioner atau pelaksana?
- Apakah kamu sedang mengejar kekayaan, pengaruh, atau makna?
Ada 4 tipe motivasi: advancement (naik jabatan), individuality (menjadi diri sendiri), madness (dorongan kuat untuk menang), dan purpose (tujuan hidup). Mengetahui ini akan membantumu memilih jalan yang paling pas untuk karirmu.
Move #2: Pahami Lawan atau Pesaing
Dalam dunia profesional, kamu bukan hanya menghadapi tantangan dari dalam dirimu, tapi juga dari luar—yaitu kompetitor. Ini bukan berarti kamu harus jadi orang licik atau penuh intrik, tapi kamu harus paham permainan.
Kamu perlu memahami bukan hanya siapa pesaingmu, tapi juga cara mereka berpikir, bekerja, dan mengomunikasikan pencapaian mereka. Observasi ini akan membantumu mengidentifikasi celah untuk unggul.
Pertanyaan penting:
- Siapa yang mengincar posisi yang sama denganmu?
- Apa kekuatan dan kelemahan mereka?
- Apa yang membuat kamu lebih unggul dan bagaimana kamu bisa menunjukkannya?
- Bagaimana kamu bisa berkontribusi lebih strategis agar diposisikan sebagai pemain kunci?
Dalam lingkungan kerja, ini bisa berarti kamu perlu memahami dinamika politik kantor, reputasi rekan kerja, dan arah kebijakan atasan. Ketika kamu tahu “siapa bermain di posisi mana,” kamu bisa menempatkan dirimu dengan lebih taktis.
Dengan memahami kompetisi, kamu bisa menyusun strategi yang tidak asal gerak. Kamu jadi bukan sekadar pemain, tapi pemikir permainan.
Move #3: Bangun Tim Hebat
Tidak ada grandmaster catur yang bermain sendiri. Dalam karir, kamu juga perlu tim yang tepat—mentor, kolega, bahkan staf yang mendukung pertumbuhanmu.
Patrick menekankan bahwa kesuksesan jangka panjang tak bisa dibangun di atas ego. Kamu harus belajar:
- Merekrut orang yang lebih pintar dari kamu
- Mendelegasikan pekerjaan yang bukan kekuatanmu
- Membangun kultur kepercayaan dan kejujuran
Bagi kamu yang masih di awal karir, ini berarti cari mentor yang tepat, temui role model, dan berhentilah merasa harus “sendiri”. Bangun lingkungan kerja dan relasi yang mempercepat pertumbuhanmu. Jika kamu terus dikelilingi orang yang salah, kamu akan kehabisan energi sebelum sampai tujuan.
Move #4: Kuasai Seni Persuasi
Kamu boleh punya visi hebat, tim solid, dan strategi jitu—tapi tanpa kemampuan menyampaikan dan meyakinkan, semuanya sia-sia.
Persuasi bukan hanya untuk sales. Dalam dunia kerja, kamu harus bisa:
- Meyakinkan atasan akan idemu
- Mempengaruhi rekan kerja untuk mendukung langkahmu
- Menginspirasi orang lain untuk percaya pada dirimu
Belajarlah framing, story building, dan cara membaca bahasa tubuh. Orang yang bisa negosiasi bukan hanya menang satu pertempuran—tapi memenangkan medan perang.
Move #5: Rencanakan Eksekusi
Ini bagian yang sering dilewatkan: eksekusi dengan disiplin. Banyak orang berhenti di ide besar, atau di niat kuat. Tapi tidak lanjut ke rencana aksi yang terukur.
Pertanyaan kunci:
- Apa 5 langkah kecil yang bisa aku lakukan minggu ini?
- Hambatan apa yang mungkin muncul dan bagaimana mengantisipasinya?
- Apa ukuran keberhasilan langkahku?
Jangan takut untuk mulai dari langkah kecil, asal terarah. Disiplin kecil setiap hari akan mengalahkan motivasi besar sesekali.
Jadilah Grandmaster dalam Karirmu Sendiri
Di akhir buku, Patrick mengajak kita untuk berhenti jadi pemain yang reaktif. Dunia ini penuh dengan orang yang sibuk, tapi tak strategis. Mereka “main aman”, padahal justru butuh keberanian untuk berpikir jangka panjang.
Setiap orang ingin sukses. Tapi hanya sedikit yang benar-benar merancang kesuksesannya dengan sadar. Sisanya hanyalah pemain catur yang berharap menang hanya karena lawan membuat kesalahan.
Buku Your Next Five Moves bukan hanya tentang strategi karir. Ini adalah ajakan untuk hidup dengan sengaja—berpikir jauh ke depan, menyusun langkah secara sadar, dan mengambil kendali atas arah hidupmu.
Jika kamu:
- Masih meraba arah karirmu…
- Merasa stuck dalam rutinitas…
- Atau sedang mempertimbangkan keputusan besar…
…maka buku ini seperti kompas di tengah kabut. Ia tidak memberimu jalan pintas, tapi membekalimu dengan cara berpikir yang akan membuatmu tak tergoyahkan.
Karir hebat tidak dibangun dari keberuntungan. Tapi dari keputusan yang jernih, tujuan yang jelas, dan keberanian untuk melangkah lebih jauh.
Hari ini, kamu punya pilihan. Tanyakan pada dirimu:
- Apa 5 langkah terpenting dalam hidup dan karirku saat ini?
- Sudahkah aku menyiapkan langkah ke-2, ke-3, bahkan ke-5?
- Ataukah aku masih sibuk menyelesaikan “langkah pertama” yang tak kunjung selesai?
Mulailah dari mengenali dirimu, pahami pesaingmu, bentuk timmu, kuasai seni persuasi, dan eksekusi rencanamu dengan disiplin. Karena ketika kamu menggabungkan kelima langkah itu, kamu bukan sekadar bermain dalam permainan karir—kamu menguasainya.
Ingat, dunia tidak menunggu mereka yang ragu. Dunia memberi jalan bagi mereka yang tahu ke mana mereka pergi.
Jadilah orang itu. Mulailah hari ini. Buat langkah berikutnya berarti.
“If you want to play at the highest level, start thinking like a grandmaster—not a pawn.” – Patrick Bet-David
Apr 17, 2025 | On Self-Productivity
Dalam dunia kerja yang makin kompetitif dan cepat berubah, banyak profesional muda terjebak dalam pola yang sama: datang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai arahan, lalu pulang dengan perasaan “cukup.” Tidak buruk, tapi juga tidak luar biasa. Mereka menjadi roda gigi dalam mesin besar perusahaan. Efisien, bisa diandalkan, tapi mudah tergantikan.
Namun Seth Godin, penulis sekaligus pemikir di bidang pemasaran dan kepemimpinan, menawarkan sudut pandang berbeda dalam bukunya Linchpin: Are You Indispensable?. Menurutnya, dunia tak butuh lebih banyak orang yang sekadar taat prosedur. Dunia butuh lebih banyak “Linchpin“—orang-orang yang tak tergantikan, yang membuat perbedaan nyata, dan yang mampu menyumbangkan nilai unik dalam setiap hal yang mereka kerjakan.
Apa Itu Linchpin?
Secara harfiah,Linchpin adalah sebuah pasak kecil di roda yang tampaknya sepele, tapi tanpanya roda bisa copot. Dalam konteks dunia kerja, Linchpin adalah mereka yang menjadi penghubung vital dalam sistem. Mereka tidak selalu punya jabatan tinggi, tapi perannya krusial. Mereka menyatukan tim, menyelesaikan masalah yang tidak ada dalam deskripsi pekerjaan, dan terus menciptakan makna di tengah rutinitas.
Di masa lalu, perusahaan memang mencari pekerja yang patuh dan bisa direplikasi. Tapi hari ini, yang bertahan dan bersinar adalah mereka yang membawa empati, kreativitas, dan inisiatif ke dalam pekerjaannya. Inilah kunci untuk menjadi tak tergantikan.
Dunia Sudah Berubah, Tapi Cara Kita Bekerja Belum
Godin menyampaikan bahwa sistem pendidikan dan dunia kerja modern masih dibangun untuk mencetak pekerja standar. Kita dilatih untuk mengikuti perintah, bukan membuat keputusan. Kita didorong untuk mencari aman, bukan memberi makna. Itulah mengapa banyak orang merasa stagnan dalam karier—karena mereka menjalani jalur aman yang tak pernah menantang potensi terbaik mereka.
Padahal, saat ini perusahaan justru mencari orang yang bisa:
- Menyelesaikan masalah tanpa menunggu perintah,
- Melihat peluang yang tidak terlihat,
- Memimpin bahkan tanpa jabatan.
Semua ini hanya bisa dilakukan jika kita memutuskan untuk menjadi Linchpin.
Musuh Terbesar Seorang Linchpin: Lizard Brain
Salah satu konsep paling terkenal dari Linchpin adalah “Lizard Brain”—istilah yang digunakan Godin untuk menggambarkan bagian otak purba kita yang bekerja berdasarkan rasa takut dan naluri bertahan hidup.
Lizard brain akan terus membisikkan hal-hal seperti:
- “Jangan berbeda, nanti kamu disalahkan.”
- “Ide kamu belum cukup bagus, simpan dulu.”
- “Kalau gagal, karier kamu bisa hancur.”
Lizard brain membuat kita:
- Menunda
- Menyerah pada keraguan
- Memilih zona aman
Dan inilah tantangan utama dalam menjadi Linchpin: melampaui ketakutan.
Ciri-Ciri Seorang Linchpin
1. Mereka Memberi Hadiah Lewat Karya
Bekerja bukan sekadar memenuhi kewajiban. Linchpin melihat hasil kerjanya sebagai “gift”—hadiah bernilai yang diberikan kepada rekan, klien, atau organisasi. Mereka menciptakan nilai emosional, bukan hanya fungsional.
2. Mereka Melampaui Deskripsi Kerja
Seorang Linchpin tidak hanya menyelesaikan to-do list. Mereka menciptakan hal yang bahkan tidak masuk ke dalam daftar. Mereka memperhatikan detail, mengisi celah yang tidak terlihat, dan menghubungkan orang-orang yang perlu terhubung.
3. Mereka Berani Berbeda
Ketaatan tanpa pemikiran kritis adalah musuh inovasi. Linchpin justru menciptakan ruang di mana kebaruan bisa tumbuh—dengan risiko ditolak, dikritik, bahkan gagal.
4. Mereka Menggerakkan Orang Lain
Linchpin tidak memerintah. Mereka memengaruhi. Mereka tidak hanya menyelesaikan pekerjaan, tapi juga membuat orang lain lebih baik dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Tak Lagi Menunggu Pengakuan
Linchpin tidak menunggu penghargaan, promosi, atau validasi eksternal untuk mulai berkontribusi lebih. Mereka memilih untuk membawa kelebihan mereka ke meja kerja setiap hari. Mereka menyadari bahwa nilai bukan ditentukan oleh gelar atau struktur organisasi, tapi oleh kontribusi nyata.
Inilah pembeda utama:
Orang biasa mengerjakan tugas. Linchpin menciptakan perubahan.
Sebagai eksekutif muda, kamu berada di fase karier yang menentukan. Ini adalah masa ketika kamu bisa memilih antara dua jalur:
- Jalur aman, dengan rutinitas yang nyaman tapi lambat berkembang, atau
- Jalur penuh tantangan, dengan peluang belajar, mencipta, dan memimpin tanpa harus menunggu “izin.”
Menjadi Linchpin bukan berarti kamu harus langsung jadi pemimpin besar. Tapi kamu bisa mulai dengan memperlakukan setiap tugas kecil sebagai panggung untuk menunjukkan kualitas dirimu. Cara kamu menanggapi email, cara kamu menangani rapat, hingga cara kamu membantu rekan kerja—itulah tempatmu mulai membangun reputasi sebagai orang yang berbeda dan dibutuhkan.
3 Langkah Menjadi Linchpin
Untuk kamu yang ingin langsung praktik, berikut tiga langkah sederhana yang bisa kamu mulai:
1. Lihat Pekerjaanmu Sebagai Karya Seni
Tanyakan pada dirimu sendiri:
“Bagaimana aku bisa membuat pekerjaan ini lebih manusiawi, lebih bermakna, dan lebih berdampak?”
Ubah presentasi biasa jadi pengalaman. Ubah laporan jadi cerita. Ubah koordinasi jadi kolaborasi.
2. Kirim Sebelum Sempurna
Jangan tunggu validasi atau perasaan siap. Kirim ide. Lontarkan gagasan. Ambil langkah. Godin menekankan pentingnya shipping—mengirimkan hasil kerja, bukan menyimpannya terlalu lama karena perfeksionisme.
3. Bangun Reputasi, Bukan Jabatan
Fokuslah membangun reputasi sebagai orang yang bisa diandalkan, berinisiatif, dan membawa energi positif ke dalam tim. Jadilah orang yang dirindukan saat tak ada, bukan hanya dilihat saat sedang kerja.
Dunia Butuh Orang Sepertimu
Godin tidak mengajarkan cara menjadi karyawan teladan. Ia mengajarkan cara menjadi pribadi yang punya agency, integritas, dan kekuatan untuk menciptakan dampak. Di dunia yang makin mudah berganti, mereka yang tidak tergantikan akan menjadi jangkar dari segala perubahan.
Jadi pertanyaannya:
Apakah kamu ingin menjadi Linchpin—atau hanya salah satu dari ribuan nama di database SDM perusahaan?
Pilihan selalu ada di tanganmu.
Dan perubahan itu dimulai bukan dari jabatan baru, tapi dari keberanian baru.
“You are not your resume, you are your work.” – Seth Godin