Dec 1, 2021 | Articles on Media
Apabila tidak ada aral melintang, Desember 2021 akan menjadi tonggak lahirnya game changer sistem pembayaran bernama BI-FAST. Predikat game changer pantas disematkan pada layanan ini jika menilisik beragam fitur yang ditawarkan.
BI-FAST akan memfasilitasi pembayaran ritel secara real-time, aman, efisien, serta tersedia 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu.
Kemampuan untuk berinteraksi dengan cepat, kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja nyatanya semakin meluas ke aktivitas pembayaran. Perubahan perilaku dalam bertransaksi ke arah online menuntut dukungan infrastruktur yang mampu memfasilitasi metode pembayaran digital yang serba mobile, cepat, aman, dan murah.
Tren tersebut pada gilirannya memperbesar kebutuhan atas tersedianya pembayaran cepat (fast payment) yang memungkinan pembayaran antar individu yang tersedia setiap saat.
Bank for International Settlements (BIS) mendefinisikan pembayaran cepat sebagai mekanisme pembayaran di mana pengiriman pesan pembayaran dan ketersediaan dana final kepada penerima pembayaran terjadi secara real time atau hampir real time dalam waktu 24 jam dan tujuh hari (24/7).
Konfigurasi sistem pembayaran ritel Indonesia saat ini belum cukup memadai dalam menjawab tantangan di era digital. Layanan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) masih terbatas pada transaksi kartu debet. Segendang sepenarian, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) belum sepenuhnya real time dan belum beroperasi setiap saat.
BACA JUGA: BABAK BARU SISTEM PEMBAYARAN GPN
Selain itu, belum terdapat skema transaksi yang secara optimal menggunakan proxy ID yang memanfaatkan nomor ponsel atau jenis identifikasi lainnya sebagai pengganti rekening.
BI-FAST hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi. Pembayaran lewat BI-FAST dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun melalui kanal mobile/internet maupun counter bank pada tahap awal.
Tidak berhenti sampai di situ, BI-FAST juga akan dikembangkan untuk mengakomodasi transaksi melalui kanal lainnya, misalnya QRIS, ATM, dan EDC.
Inovasi layanan lain yang diberikan BI-Fast yakni penggunaan nomor ponsel atau alamat e-mail nasabah sebagai pengganti nomor rekening bank untuk melakukan transfer uang.
BI-FAST pada dasarnya adalah modernisasi dari SKNBI. BI-FAST akan bersanding dengan SKNBI dan GPN sebagai infrastruktur ritel di sisi back-end.
Layanan transfer kredit dan debit SKNBI akan dialihkan ke BI-FAST secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan industri untuk tergabung ke ekosistem BI-FAST.Ke depan, SKNBI difokuskan untuk memproses transaksi cek dan bilyet giro (paper based)
Pada tataran teknis, penerapan BI-FAST sejatinya telah mengikuti praktik terbaik (best practices) di tingkat global.
Mengutip kajian BIS (2016) bertajuk “Fast payments–Enhancing the speed and availability of retail payments”, sejumlah negara tercatat telah mengimplementasikan pembayaran cepat lebih dulu, diantaranya India (2010) dengan nama Immediate Payment Service (IMPS) dan Singapura (2014) berlabel Fast and Secure Transfers (FAST).
BACA JUGA: APA KABAR PENERAPAN QRIS?
Dalam studi kasus di India, kemunculan IMPS dilatarbelakangi oleh tingginya pengguna telepon seluler. Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) di India menggunakan aplikasi pembayaran mobile untuk menghubungkan nomor rekening bank atau dompet elektronik dengan nomor ponsel.
Alhasil sistem pembayaran cepat di India mampu menjangkau pengguna yang masih belum menggunakan perangkat smartphone melalui platform yang dioperasikan berdasarkan saluran USSD yang menghubungkan semua penyedia layanan telekomunikasi.
Senada dengan pengalaman Negeri Bollywood, FAST di Singapura berawal dari visi regulator untuk mengurangi penggunaan uang tunai dan cek.
Kenyamanan nasabah terus ditingkatkan dengan menerapkan skema yang memungkinkan nasabah bank melakukan transfer dana menggunakan nomor ponsel penerima, alamat e-mail, akun media sosial, dan kartu identitas nasional.
Inovasi ini tentu akan meningkatkan kemudahan nasabah dalam bertransaksi ketimbang menggunakan nomor rekening bank yang cenderung panjang dan sensitif.
Skema harga
Laporan Bank Dunia (2020) berjudul “Fast Payment Systems: Preliminary Analysis of Global Developments” menyebutkan dua model skema harga yang lazim dibebankan regulator kepada PJP.
Pertama, model struktur harga yang sama untuk semua PJP tanpa diskon volume, tanpa komitmen volume dan tanpa minimum bulanan.
Kedua, model pengenaan biaya per transaksi dengan nominal bervariasi tergantung jumlah transaksi. Pada gilirannya, PJP akan meneruskan biaya tersebut kepada pengguna akhir layanan.
Dalam rangka mempromosikan adopsi pembayaran cepat, regulator di banyak negara telah membatasi biaya maksimal yang dapat dikenakan PJP kepada pengguna akhir. Beberapa negara bahkan membebaskan biaya transaksi hingga batas nominal tertentu.
Dalam konteks implementasinya di Tanah Air, Bank Indonesia memutuskan untuk menerapkan model skema harga pertama dengan pembatasan biaya maksimal kepada nasabah.
Penetapan skema harga BI-FAST dari Bank Indonesia ke PJP ditetapkan Rp19 per transaksi dan dari PJP ke nasabah ditetapkan maksimal Rp2.500 per transaksi. Kebijakan ini tentu tidak terlepas semangat regulator untuk memastikan agar semua PJP dapat berpartisipasi dengan persyaratan yang sama.
Dengan skema harga tersebut, BI-FAST diyakini akan menggeliatkan preferensi masyarkat bertransaksi nontunai. Sebagai perbandingan, biaya transaksi BI-FAST lebih terjangkau dibanding SKNBI dan RTGS sebesar Rp2.900 dan Rp30.000.
BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN
Dari perspektif makro, BI-FAST niscaya akan mendukung konsolidasi industri sistem pembayaran nasional dan integrasi ekonomi keuangan digital secara end-to-end.
Mencermati statistik sistem pembayaran ritel domestik saat ini, potensi pengembangan BI-FAST terbilang masih terbuka lebar. BI-FAST berpotensi melayani 30 juta transaksi per hari dengan kemampuan pemrosesan 2.000 transaksi per detik.
Dalam lima tahun ke depan, volume transaksi penggunaan BI-FAST diprakirakan dapat mencapai 16,9 miliar transaksi. Tak ayal lanskap ini akan berimplikasi positif pada biaya BI-FAST yang semakin efisien.
Pembayaran cepat kini seakan telah menjadi kebutuhan. Eksistensi BI-FAST diharapkan dapat memantik munculnya berbagai terobosan guna meningkatkan volume transaksi perbankan serta meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah.
Peluncuran BI FAST diharapkan dapat mendukung pemerintah dalam membawa 91,3 juta penduduk unbanked dan 62,9 juta UMKM ke dalam ekonomi keuangan formal yang berkelanjutan. Akselerasi pemulihan ekonomi nasional menjadi muara akhir yang tidak boleh dilupakan.
Artikel ini telah dimuat di Harian SINDO 1 Desember 2021
Sep 28, 2021 | Articles on Media
Selamat datang di era open banking sistem pembayaran. Bank Indonesia telah meluncurkan Standar Nasional Open API (Application Programming Interfaces) Pembayaran atau yang lebih dikenal sebagai SNAP.
Langkah ini memungkinkan terjadinya interlink antara perbankan dengan fintech sebagaimana visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Di samping itu, eksistensi SNAP juga menjadi jawaban bank sentral dalam merespon tantangan digitalisasi perbankan tanah air.
Standar Open API merupakan ikhtiar Bank Indonesia mendorong adopsi open banking untuk transaksi pembayaran secara lebih efisien, aman, dan handal. Perbankan dan fintech diarahkan untuk saling membuka data layanan keuangannya dalam sebuah kerjasama kontraktual yang terstandar.
Sebelum open API hadir, akses konsumen untuk melakukan transaksi hanya terbatas pada kanal yang disediakan oleh bank, seperti mobile banking dan internet banking.
Namun setelah open API diimplementasikan, konsumen kini juga dapat mengaksesnya lewat aplikasi pihak ketiga. Hal paling kritikal dan mendasar bahwa akses maupun pertukaran data transaksi konsumen hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan konsumen (consumer consent).
Keterbukaan data melalui open APImembuka peluang bagi perbankan menawarkan layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nasabah. Selain itu, ekosistem open API memudahkan bank untuk mendistribusikan jasa keuangan kepada basis konsumen yang lebih luas melalui kerja sama dengan pihak ketiga.
Implikasinya kolaborasi ini akan mempertahankan relevansi perbankan di tengah kompetisi industri yang semakin ketat.
BACA JUGA: QRIS DAN MODEL BISNIS PERBANKAN
Potensi ekosistem open API domestik terbilang masih terbuka lebar. Laporan Finastra dan IDC (2018) bertajuk “Asia-Pacific Open Banking Readiness Index Scorecard” menyebut skor indeks kesiapan open banking Indonesia sebesar 4,0.
Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata negara tetangga yang mencapai 5,8. Meski demikian, hasil survei tersebut juga merefleksikan besarnya peluang pengembangan open API yang masih bisa digarap.
Sebelum SNAP dirilis, sejumlah bank dan fintech sejatinya telah menerapkan API sebagai bagian dari pengembangan dan inovasi produk. Sayangnya, penerapannya masih belum seragam atau terstandarisasi.
Misalnya, keamanan data pada model kerja sama yang sudah berjalan belum memenuhi standar minimum, termasuk untuk otorisasi dan enkripsi. Tak pelak, standarisasi menjadi sebuah kebutuhan untuk memudahkan regulator melakukan fungsi pengawasan.
Dalam praktiknya, SNAP dirumuskan dengan mengacu pada best practice standar open banking yang telah diterapkan sejumlah negara.
Hasil studi otoritas sistem pembayaran menunjukkan bahwa penerapan open banking di sejumlah negara umumnya diawali dari aspek transaksi pembayaran, terutama pada institusi yang berfungsi sebagai agregator data dan penyelenggara jasa pembayaran.
Pelaksanaan open banking di berbagai negara bervariasi dalam hal tahapan pengembangan, pendekatan, maupun cakupannya. Dalam publikasi berjudul “Report on Open Banking and Application Programming Interfaces”, Bank for International Settlements menyebut terdapat beberapa pendekatan yang umum dilakukan dalam penyusunan regulasi open banking.
Pertama, pemerintah tidak mengeluarkan rekomendasi ataupun regulasi terkait open banking. Alhasil, implementasi open banking ditentukan oleh kebutuhan pasar. Amerika Serikat, Tiongkok dan Argentina merupakan negara yang telah menerapkan pendekatan ini.
BACA JUGA: SANDBOX DAN INOVASI SISTEM PEMBAYARAN
Kedua, regulator menerbitkan rekomendasi standar open API, tetapi tidak memaksa perbankan dan fintech untuk mengadopsinya. Contoh riilnya ialah implementasi di Singapura dan Jepang.
Ketiga, otoritas memberikan rekomendasi open API, serta pedoman bagaimana perbankan dan pihak ketiga bekerja sama dengan tetap melakukan proteksi konsumen. Hongkong tercatat sebagai contoh negara yang mengaplikasikan cara ini.
Keempat, pemerintah mengeluarkan regulasi open API yang mengikat bagi perbankan dan fintech atau mandatori. Indonesia dinilai paling cocok mengadopsi pendekatan ini. Pertimbangannya ialah tingkat literasi masyarakat terkait open API yang masih terbatas.
Tatkala regulasi yang dibentuk tidak mengikat, maka kesenjangan pengetahuan antara pelaku industri dengan konsumen dapat menjadi celah untuk mengeksploitasi manfaat dari konsumen.
Pada praktiknya, Inggris dianggap sebagai negara dengan tolok ukur (benchmark) terbaik dalam pendekatan ini. Pasalnya Negeri Ratu Elizabeth memiliki badan tata kelola open banking khusus bernama Open Banking Implementation Entity yang disupervisi secara langsung oleh Competition & Markets Authority, Financial Conduct Authority, dan HM Treasury.
Di samping itu, terdapat pula panduan keamanan yang terstandarisasi oleh Regulatory Techinal Standards dan customer consent oleh General Data Protection Regulation.
Empat standar
SNAP yang disusun Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia meliputi empat standar utama. Pertama, standar data yang ditujukan untuk meningkatkan interoperabilitas dan efisiensi bagi penyelenggara open API, sekaligus memastikan kecukupan dan kualitas data untuk kebutuhan analisis dan inovasi.
Kedua, standar teknis yang terdiri atas protokol komunikasi, tipe arsitektur, dan format data guna menjamin keamanan dan kerahasiaan data maupun kemudahan dalam implementasi open API. Standar ini dimaksudkan untuk mendukung kompatibilitas dan interoperabilitas open API dari masing-masing pelaku industri.
BACA JUGA: NAIKNYA PAMOR TRANSAKSI NON TUNAI
Ketiga, standar keamanan untuk memastikan keamanan transaksi oleh konsumen. Standar ini mencakup aspek otentifikasi, otoritasi, enkripsi serta ketersediaan layanan secara berkesinambungan.
Keempat, standar tata kelola yang mengatur standard governing body, standar kontrak, prinsip perlindungan konsumen, serta persyaratan minimum bagi pihak ketiga yang akan melakukan kerja sama dengan penyelenggara Open API.
Penetapan standar tata kelola diperlukan untuk mendukung terciptanya ekosistem Open API yang berintegritas, memastikan pemenuhan ketentuan yang berlaku, termasuk aspek perlindungan konsumen, serta penanganan dan penyelesaian perselisihan.
Adanya kerangka pengaturan open API di atas diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara manfaat inovasi dan potensi risiko yang timbul dalam penyediaan layanan pembayaran digital.
Hal ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mencapai titik ekuilibrium antara optimalisasi peluang yang tercipta dari inovasi digital dengan mitigasi ekses negatif yang timbul seiring dengan tren digitalisasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 28 September 2022
May 24, 2021 | Articles on Media
Derap langkah regulator dan pelaku industri dalam pengembangan ekonomi dan keuangan digital Tanah Air kini semakin sinergis. Pasalnya Bank Indonesia telah meluncurkan Sandbox 2.0 pada April 2021 untuk mendukung ekosistem inovasi pembayaran digital.
Penyempurnaan Sandbox ini sekaligus mencerminkan respon bank sentral dalam menyikapi perubahan lingkungan eksternal yang kian dinamis.
Per definisi, Sandbox ialah ruang uji coba inovasi, khususnya bagi industri sistem pembayaran untuk menguji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. Dari sudut pandang otoritas, penguatan fungsi uji coba inovasi teknologi sistem pembayaran lewat Sandbox 2.0 merupakan perwujudan dari salah satu inisiatif dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025.
Secara teoritis kehadiran Sandbox dapat dimaknai sebagai upaya mencapai titik keseimbangan antara optimalisasi inovasi dengan pemenuhan regulasi. Dalam paradigma lama, regulator dan pelaku industri diasumsikan memiliki hubungan kontradiktif.
Regulator diibaratkan pedal rem yang acapkali melihat dari kacamata manajemen risiko sehingga membatasi ruang gerak inovasi. Sedangkan pelaku industri diasosiasikan sebagai pedal gas yang terus melaju kencang dalam menciptakan terobosan model bisnis baru tanpa mempertimbangkan aspek legal.
Berangkat dari latar belakang tersebut, Sandbox dibentuk untuk menjembatani kepentingan regulator dan pelaku industri. Gagasan baru yang dibawa pelaku industri diuji coba secara terbatas di bawah pendampingan dan pengawasan regulator.
Implikasinya, risiko model bisnis baru menjadi lebih terukur dan termitigasi sebelun digunakan secara luas oleh publik. Sementara itu, regulator mendapat masukan secara bottom up dari hasil uji coba Sandbox untuk penyempurnaan regulasi.
Argumen di atas sejalan dengan studi Bank Dunia (2020) bertajuk “Global Experience From Regulatory Sandboxes”. Salah satu temuannya yang menarik ialah dampak eksistensi Sandbox yang tidak hanya sekedar bermanfaat bagi regulator dan sektor swasta saja.
Dari perspektif lebih luas, Sandbox juga berpengaruh terhadap perluasan inklusi keuangan, mendorong kerja sama kemitraan, memperkuat persaingan dan membantu pengembangan pasar teknologi finansial.
BACA JUGA: QRIS DAN MODEL BISNIS PERBANKAN
Dalam penerapannya di Indonesia, Sandbox pertama lahir di akhir tahun 2017 sebagai hasil implementasi pendekatan fasilitasi inovasi (innovation facilitators) oleh Bank Indonesia.
Dibandingkan versi sebelumnya, Sandbox 2.0 mengalami reorientasi atau pergeseran paradigma. Cakupannya akan difokuskan pada inovasi di sisi teknologi, model bisnis dan dukungan pasar dengan mengusung tiga fungsi utama.
Pertama, Innovation Lab sebagai sarana pengembangan inovasi yang belum digunakan atau telah digunakan di industri sistem pembayaran secara terbatas. Contoh proyek yang telah diselesaikan ialah Kartin1.
Lewat program ini, penggunaan kartu debet dan uang elektronik Bank Mandiri, BRI dan BNI akan terintegrasi dengan pembayaran dan pelaporan pajak.
Kedua, Industrial Sandbox untuk memperluas adopsi inovasi yang telah digunakan di industri sistem pembayaran. Misalnya, model Customer Presented Mode (CPM) pada standar pembayaran menggunakan QR Code Indonesia (QRIS).
Layanan ini memungkinkan pengguna melakukan pembayaran dengan cara menampilkan QR Code untuk kemudian dipindai oleh pedagang.
Kehadiran fitur tersebut melengkapi model QRIS yang telah ada sebelumnya, yakni MPM (Merchant Presented Mode) dan TTM (Tanpa Tatap Muka). Dengan semakin banyak model yang ditawarkan, diharapkan tingkat adopsi QRIS juga semakin meluas. Bank Indonesia menargetkan jumlah pelaku usaha yang telah menggunakan QRIS mencapai 12 juta pada akhir tahun 2021.
BACA JUGA: APA KABAR PENERAPAN QRIS?
Ketiga, Regulatory Sandbox sebagai sarana pengujian kesesuaian teknologi dan model bisnis inovatif dengan ketentuan yang berlaku. Hasil dari fungsi ini dapat terlihat pada layanan Privyid dan Smart SIM.
Privyid menawarkan produk tanda tangan elektronik sebagai pengganti tanda tangan basah untuk aplikasi kartu kredit perbankan. Di sisi lain, Smart SIM akan menggabungkan fungsi kartu Surat Ijin Mengemudi (SIM) dengan kartu elektronik untuk berbagai transaksi pembayaran.
Desain ketiga fungsi utama di atas telah mengikuti best practice di dunia, terutama Inggris sebagai kiblat dan pionir Sandbox di tingkat global. Apabila dikomparasi dengan bank sentral negara lain, layanan yang ditawarkan Sandbox 2.0 terbilang lebih lengkap.
Mengutip hasil kajian Basel Committee on Banking Supervision (2018) di 15 negara, tercatat hanya bank sentral Singapura yang memiliki Sandbox dengan fungsi yang sama seperti Bank Indonesia.
Inovasi pembayaran
Sejumlah program inovasi sistem pembayaran digadang-gadang siap digulirkan pasca rilis Sandbox terbaru. Pertama, QRIS TTS (Transfer, Tarik, Setor) yang memungkinkan setiap orang untuk melakukan transaksi transfer, penarikan dan penyetoran uang lewat sesama individu, alih-alih menggunakan mesin ATM.
Kedua, QRIS Cross Border untuk memfasilitasi pembayaran lintas negara, baik turis asing yang berkunjung ke Indonesia (inbound), maupun turis domestik yang melancong ke luar negeri (outbound). Ketiga, QRIS on Delivery untuk digitalisasi pos, yakni fitur pembayaran menggunakan QRIS pada saat kurir pengirim barang menyerahkan barang ke penerima barang.
BACA JUGA: KARPET MERAH QR CODE PEMBAYARAN
Keempat, pembayaran menggunakan biometrik. Metode pembayaran ini disinyalir menjadi keniscayaan di masa depan. Hasil survei Visa (2019) seakan mengkonfirmasi ramalan ini.
Disebutkan bahwa sembilan dari sepuluh pemegang kartu kredit di Indonesia bersedia untuk beralih dari bank, penyedia kartu pembayaran, atau penyedia ponsel demi dapat melakukan pembayaran dengan teknologi biometrik.
Survei tersebut menyimpulkan bahwa teknologi biometrik seperti pemindai sidik jari dan pemindai mata dinilai lebih aman, cepat, dan nyaman dibandingkan dengan teknologi tradisional seperti password atau PIN.
Teknologi biometrik dipandang sebagai sebuah keharusan bagi penyedia pembayaran dalam menyeimbangkan kebutuhan konsumen akan tingkat keamanan yang tinggi dan pengalaman membayar dengan tanpa hambatan.
Berkaca pada terobosan pembayaran yang telah dan akan dihadirkan di masa mendatang, tidaklah berlebihan jika menyebut Sandbox dan inovasi adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan.
Harapan besar patut disematkan pasca peluncuran Sandbox 2.0 demi mewujudkan sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman dan handal.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 24 Mei 2021