Pamor transaksi nontunai sedang menanjak di tengah wabah Covid-19. World Health Organization telah mengeluarkan himbauan terkait penggunaan nontunai dalam bertransaksi.
Lembaga kesehatan dunia tersebut mengkhawatirkan virus yang menempel pada uang kertas berpotensi menjadi pangkal penyebaran penyakit.
Uang kertas acap diasosiasikan sebagai media tercepat penyebaran virus. Para ahli mengklaim penggunaan uang kertas sebagai salah satu penyebab penyebaran Covid-19 di Eropa kian meluas.
Argumentasi tersebut cukup logis melihat hampir semua negara di Benua Biru menggunakan mata uang yang sama. Tak ayal peredaran uang kertas lintas negara menjadi tak terbendung.
Beberapa bank sentral dikabarkan telah menempuh berbagai langkah untuk meredam risiko meluasnya Covid-19. Bank Sentral Tiongkok mulai melakukan pembersihan uang kertas yang berasal dari daerah berisiko tinggi terinfeksi seperti rumah sakit dengan menggunakan ultraviolet bersuhu tinggi.
Setali tiga uang, Bank Sentral Korea Selatan dan Bank Indonesia mengkarantina uang kertas selama dua minggu untuk menghapus jejak virus Covid-19.
Melihat pengalaman negara lain, industri pembayaran digital seakan mendapat durian runtuh pasca rilis anjuran tersebut.
Pembayaran digital didefinisikan sebagai cara pembayaran dengan menggunakan media elektronik, baik melalui layanan pesan singkat (SMS), internet banking, mobile banking, dan uang/dompet elektronik. Metode ini memungkinkan orang bertransaksi tanpa harus bersentuhan dengan orang maupun alat pembayaran.
Instruksi social distancing dan work from home sejatinya telah mengubah preferensi masyarakat dalam bertransaksi. Adanya himbauan menghindari kerumunan di ruang publik kini memaksa nasabah untuk mengurangi aktivitasnya lewat mesin ATM maupun kantor cabang bank. Konsekuensinya layanan pembayaran digital lewat gawai cerdas kian menjadi primadona.
Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya transaksi tunai masih menjadi pilihan utama masyarakat. Survei PayPal (2017) menunjukkan 73% penduduk Indonesia lebih menyukai transaksi tunai. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata penduduk Asia pada umumnya yang mencapai 57%.
BACA JUGA: MENGAKSELERASI PENETRASI FINTECH PEMBAYARAN
Fenomena pergeseran perilaku di atas turut didukung geliat belanja daring yang semakin intens. Bahkan pasar tradisional yang identitk dengan transaksi konvensional mendadak bertransformasi menjadi local marketplace.
Sebut saja, Perumda Pasar Jaya yang membuka layanan daring untuk jual beli kebutuhan pangan. Total pasar yang menyediakan jasa tersebut sebanyak 36 pasar di mana Pasar Kramat Jati tercatat sebagai pasar dengan pesanan daring terbanyak.
Proses bisnis yang diterapkan tak ubahnya dengan toko daring pada umumnya, seperti Tokopedia, Bukalapak dan Shopee. Layanan dimulai dari pembeli mengirimkan pesan kepada pedagang dengan menyebutkan komoditas dan jumlahnya.
Setelah terjadi kesepakatan harga, pembeli mentransfer nominal jumlah pembayaran beserta ongkos kirim ke rekening bank milik pedagang. Setelahnya pedagang akan mengirimkan barang sesuai alamat pembeli.
Perubahan perilaku semacam ini pada dasarnya bukanlah fenomena baru. Peristiwa langka yang berdampak besar dan di luar dugaan (black swan) selalu diikuti dengan adanya pergeseran kebiasaan.
Contohnya, perilaku belanja masyarakat Tiongkok dengan cepat beralih ke online e-commerce, seperti Alibaba dan JD.com setelah wabah SARS tahun 2004. Demikian pula, adopsi mata uang kripto naik tajam pasca krisis subprime mortgage di Amerika Serikat tahun 2008.
Momentum tren pembayaran digital tersebut turut didukung kebijakan Bank Indonesia. Guna menggiatkan transaksi nontunai selama pandemi Covid-19, Bank Indonesia menurunkan biaya transfer nasabah ke rekening antar bank maksimum Rp3.500 menjadi Rp2.900.
Selain itu, Bank Indonesia juga memperpanjang masa gratis biaya Merchant Discount Rate untuk pembayaran menggunakan kode respon cepat (quick response code) dari semula hingga Mei 2020 menjadi September 2020.
BACA JUGA: MENGUKUR SEPAK TERJANG SUPER-FINTECH
Menariknya reputasi kartu debit dan kredit sebagai instrumen pembayaran nontunai justru meredup tatkala tren pembayaran digital melambung. Apabila dikaitkan dengan upaya pencegahan virus Covid-19, pembayaran menggunakan kartu lewat mesin Electronic Data Capture (EDC) justru tidak direkomendasikan.
Sejumlah riset mengungkapkan bahwa penggunaan keduanya tidak lebih baik ketimbang uang kertas. Pasalnya sebagian besar kartu yang beredar belum menggunakan teknologi nirsentuh, berupa Near Field Communication (NFC).
Implikasinya perpindahan kartu dari tangan pembeli ke penjual tidak terelakkan dan tidak ubahnya dengan transaksi tunai. Kedua belah pihak tetap terpapar risiko migrasi virus.
Kode Respon Cepat
Harus diakui kondisi ini seakan mendongkrak popularitas aplikasi uang elektronik, misal Ovo, Gopay, dan LinkAja. Dengan adanya teknologi nirsentuh berupa kode respon cepat, beberapa analis menyakini uang elektronik berpotensi menggeser dominasi kartu debit dan kredit. Apalagi kode respon cepat tidak membutuhkan adanya media lain sebagai perantara layaknya kartu debit dan kredit. Cukup pindai, bayar, dan selesai.
Laporan riset Capgemini berjudul “World Payments Report 2019” menyebut pembayaran menggunakan kode respon cepat akan merevolusi transaksi nontunai di negara berkembang Asia.
Segendang sepenarian survei Visa (2017) menemukan sekitar 57% masyarakat Indonesia tahu dan tertarik mencoba metode pembayaran kekinian tersebut. Alasannya beragam, mulai dari kecepatan, kemudahan penggunaan, dan kenyamanan karena tidak perlu mengisi data pribadi dengan rinci.
Data statistik sistem pembayaran Bank Indonesia seolah mengonfirmasi prediksi tersebut. Sepanjang tahun 2019 pertumbuhan tahunan volume transaksi kartu debit melambat dari 13% menjadi 10%. Pada saat bersamaan kartu kredit tumbuh stagnan di kisaran 3%. Sementara itu uang elektronik justru melejit 78,83%.
Apabila ditelisik lebih lanjut, aplikasi uang elektronik dengan fitur kode respon cepat dipercaya akan menjadi tren karena dua alasan.
Pertama, tingginya penetrasi gawai cerdas dan gaya hidup kaum urban milenial yang ingin serba cepat dan mudah ditengarai sebagai faktor pendorong dari sisi permintaan. Kedua, efisiensi biaya akibat penggunaan selembar kode respon cepat sebagai substitusi mesin EDC menjadi nilai tambah dari sisi penawaran.
BACA JUGA: STARTUP & PENYALURAN KUR
Dari perspektif makro, Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) telah mengimplementasikan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) per 1 Januari 2020.
QRIS memiliki peran krusial dalam memajukan industri pembayaran digital. Satu kode respon cepat untuk semua aplikasi uang elektronik. Isu interoperabilitas yang dulu membelenggu kini sudah tidak relevan. Konsumen dan pedagang dapat leluasa memilih aplikasi yang ingin digunakan.
Dalam konteks upaya penanggulangan Covid-19, kehadiran QRIS sudah dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk penggalangan dana. Misalnya, Palang Merah Indonesia secara resmi telah menggunakan QRIS dengan kode TID-03 untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan donasi dalam mendukung pencegahan dan penanganan wabah Covid-19.
Berkaca pada perkembangan terkini, pembayaran digital seyogianya tidak lagi hanya dipandang sebagai tren masa depan. Pembayarab digital sudah menjadi sebuah kebutuhan. Aktivitas pembayaran menjadi lebih mudah dan murah tanpa harus melalaikan himbauan social distancing dan work from home.
Dan yang terpenting, pembayaran digital harus dimaknai sebagai cara sederhana kita turut berkontribusi dalam melindungi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Artikel ini telah dimuat di DETIKNEWS 28 April 2020