Dibandingkan negara-negara tetangga, industri digital Tanah Air patut berbangga diri. Pasalnya dari total tujuh startup unicorn di kawasan Asia Tenggara, lebih dari setengahnya berasal dari Indonesia. Tokopedia, Gojek, Traveloka dan Bukalapak menjadi simbol supremasi ini.
Menariknya, usaha rintisan di bidang financial technology (fintech) digadang-gadang bakal menjadi unicorn Indonesia selanjutnya. Harus diakui pertumbuhan jumlah pengguna smartphone yang kian masif ditambah rendahnya tingkat inklusi keuangan menjadi cermin besarnya potensi industri ini di masa depan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah pinjaman yang disalurkan oleh fintech peer to peer (P2P) lending per Oktober 2018 sebesar Rp16 triliun. Nilai tersebut melonjak 525% dibandingkan akhir Desember 2017 yang baru mencapai Rp2,56 triliun.
Kondisi serupa juga terlihat pada fintech pembayaran. Berdasarkan statistik Bank Indonesia, nilai transaksi jenis fintech ini pada 2017 mencapai US$ 18,65 miliar (Rp251,78 triliun), meningkat 24,17% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 15,02 miliar (Rp202,77 triliun).
Meskipun menjanjikan prospek pertumbuhan positif, namun hal ini tidak secara otomatis melegitimasi industri fintech berkembang tanpa melalui jalan terjal.
Terlepas dari polemik maraknya pemberitaan keluhan konsumen fintech, seperti adanya penyalahgunaan data nasabah serta penagihan tanpa etika, kita patut mencermati tantangan pelaku fintech dari sisi konfigurasi industri.
BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK
Pertama, karakteristik industri ini menyerupai struktur pasar persaingan sempurna. Jumlah penjual dan pembeli yang banyak menjadi ciri utamanya.Artinya, dengan asumsi kondisi ceteris paribus pangsa pasar yang dikuasai oleh masing-masing penjual (pelaku fintech) relatif terbatas. Kapasitas bisnis penjual juga sulit membesar.
Teori ekonomi menyebutkan penjual dalam bentuk pasar ini hanya akan memperoleh laba normal dalam jangka panjang. Imbasnya industri fintech mungkin tidak akan menjadi prioritas investor untuk dilirik.
Kondisi bertolak belakang justru terjadi di industri yang telah lebih dahulu melahirkan unicorn. Sektor e-commerce dan online travel agent misalnya.
Dengan jumlah beberapa pemain dalam satu ekosistem industri, dua sektor ini telah menciptakan struktur pasar oligopoli. Bahkan, pasar duopoli dapat kita jumpai di industri transportasi daring yang berisi dua pemain raksasa saja. Tak heran porsi kue pasar yang dinikmati masing-masing penjual juga relatif gemuk.
Kedua, kontrol industri fintech oleh regulator tergolong lebih ketat dibandingkan bisnis daring lainnya. Tatkala belum ada regulasi yang secara tegas mengatur pengawasan industri e-commerce dan ojek online, Bank Indonesia dan OJK justru telah memagari industri fintech dengan sejumlah aturan main.
Setidaknya terdapat tiga ketentuan yang menjadi dasar hukum perizinan dan pengawasan terhadap industri ini, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.
Meskipun demikian, harus diakui pengaturan industri fintech belum seketat jasa keuangan konvensional. Pada titik inilah regulator berperan menjaga keseimbangan.
Di satu sisi, ketentuan tidak boleh terlalu ketat sehingga tidak menghambat ruang inovasi keuangan baru. Di sisi lain, ketentuan harus tegas memastikan prinsip kehati-hatian dikedepankan dalam pengelolaan bisnis fintech.
Ketiga, perbankan domestik tentu tidak tinggal diam menyikapi perubahan lanskap persaingan akibat kehadiran startup fintech. Melalui adopsi layanan digital banking, keunggulan kompetitif fintech dari sisi kecepatan dan kemudahan kini juga dimiliki perbankan.
Penarikan uang tanpa kartu debit di mesin ATM, pengajuan aplikasi kredit secara online, dan pembayaran menggunakan teknologi Quick Response (QR) Code merupakan contoh inovasi teknologi oleh perbankan.
BACA JUGA: DIGITALISASI PEMBIAYAAN ULTRA MIKRO
Malahan sejumlah bank besar mulai mengimplementasikan layanan chatbot untuk menambah customer experience. Sebut saja BRI (Sabrina), BCA (Vira), BNI (Cinta), dan Bank Mandiri (Mita).
Keempat, invasi pelaku fintech asing. Di tingkat global Indonesia berpotensi terimbas kebijakan penertiban ribuan fintech ilegal oleh pemerintah Tiongkok.
Tandanya sudah terlihat. Pada Juli 2018 OJK menemukan 227 fintech ilegal beroperasi di Indonesia dan setengahnya berasal dari China. Kemunculan oknum ini akan membawa dua konsekuensi negatif. Menggerus pangsa pasar fintech legal, serta menciptakan persepsi buruk atas industri fintech akibat pelanggaran kode etik.
Peluang terbuka
Meskipun dihadang sejumlah tantangan, namun bukan berarti kesempatan startup fintech Tanah Air menjadi unicorn telah pupus. Kehadiran Ant Financial sebagai perusahaan teknologi keuangan terbesar di dunia milik grup Alibaba bisa memberikan sebuah pelajaran berharga.
Diversifikasi produk menjadi kata kunci utama. Pelaku fintech seyogyanya tidak bertumpu hanya pada satu layanan, misal uang elektronik saja atau P2P lending saja.
Ant Financial melalui produk andalannya, Alipay bertransformasi dari dompet digital (e-wallet) menjadi media payment of things. Tidak hanya sebagai alat pembayaran di toko online Alibaba, Alipay juga merambah ke hampir seluruh merchant di China.
Selain Alipay, portofolio produk Ant Financial juga terdiri dari Ant Fortune (manajemen keuangan), Ant Cash Now (kredit konsumtif), Ant Micro Loan (kredit segmen UMKM), dan lain-lain.
BACA JUGA: ERA BARU KEBANGKITAN TECHFIN
Kolaborasi merupakan kata kunci kedua yang tidak boleh dilupakan. Dalam laporan bertajuk “The Rise of Fintech in China: Redefining Financial Services”, Bank DBS dan Ernst & Young mencatat lima tren utama bisnis fintech di masa depan. Salah satunya ialah kolaborasi fintech dengan perbankan.
Setali tiga uang, studi PwC dalam “Global Fintech Report” menunjukkan 82% institusi keuangan berencana meningkatkan kemitraan dengan fintech dalam tiga hingga lima tahun mendatang.
Kolaborasi ini bisa ditempuh dengan dua alternatif pola, yaitu channeling dan executing. Pola channeling ialah pinjaman yang diberikan bank kepada nasabah melalui pelaku fintech yang bertindak sebagai perantara.
Sementara pada pola executing pelaku fintech tercatat sebagai debitur perbankan yang selanjutnya akan meneruskan kembali kredit tersebut kepada nasabah. Jika kedua skenario ini berjalan lancar, peluang lahirnya unicorn Indonesia dari industri fintech masih terbuka lebar.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 2 Januari 2019