Jun 29, 2025 | Articles on Media
Ada satu kutipan yang kerap didengungkan ekonom ketika mencermati dinamika global terkini: “Don’t waste a good crisis.” Hari ini kita memang tidak mengalami krisis.
Namun, pergeseran besar dalam struktur ekonomi sedang terjadi. Dan transisi semacam ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan mendasar yang sulit dilakukan dalam situasi normal.
Selama bertahun-tahun, Indonesia menggantungkan ekspor pada komoditas batu bara, CPO, nikel. Para ekonom klasik percaya bahwa keunggulan suatu negara ditentukan oleh faktor alam. Tapi, dunia sudah berubah. Teori itu pelan-pelan ditinggalkan.
Mesin pertumbuhan global tidak lagi semata di ladang atau tambang. Justru komoditas virtual, seperti kode program, algoritma, dan konten digital telah menjadi primadona baru.
Ekonomi digital memang telah membuka banyak jendela peluang baru. Negara yang mampu menghasilkan talenta unggul akan menikmati arus devisa lewat ekspor jasa digital. Richard Baldwin menamakan situasi ini sebagai “third unbundling.”
Pekerjaan bisa dilakukan di mana saja dan kehadiran fisik tak lagi jadi syarat untuk berpartisipasi dalam ekonomi global. Inilah wajah baru globalisasi dari perdagangan komoditas ke persaingan kreativitas.
Secara sederhana, ekspor jasa digital adalah penjualan jasa ke luar negeri yang penyampaian dan transaksinya dilakukan secara digital.
WTO menyebut ekspor jasa digital sebagai salah satu jenis ekspor dengan kenaikan paling cepat secara global. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan tahunannya lebih dari 8% atau lebih tinggi dari ekspor barang.
Jenisnya pun makin beragam. Mulai pengembangan perangkat lunak, animasi, layanan data analytics, cloud computing, digital marketing, hingga jasa edukasi berbasis daring.
Dan yang menarik, sektor ini lebih tahan terhadap disrupsi logistik, lebih inklusif untuk pelaku kecil, dan lebih rendah hambatan tarifnya.
Data statistik menunjukkan nominal ekspor jasa digital global telah menyentuh USD 4,64 triliun pada 2024. India, yang dulu dikenal sebagai negara pertanian dan industri padat karya, kini menjadi raksasa layanan TI dunia dengan nilai ekspor jasa digital USD 269 miliar.
Irlandia, negara kecil dengan populasi 5 juta jiwa, menjadi pusat ekspor perangkat lunak, SaaS, dan layanan back-end dari raksasa teknologi global senilai USD 417 miliar.
Sementara itu, Indonesia dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan penetrasi internet yang mencapai 79% mencatatkan nilai ekspor jasa digital hanya USD 11 miliar. Disinilah letak tantangan, sekaligus juga potensi bagi bangsa kita. Setidaknya ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan.
Pertama, bonus demografi adalah bahan baku utama. Indonesia memiliki lebih dari 70 juta penduduk usia produktif yang melek digital. Angka ini akan terus meningkat hingga 2030.
Jika diarahkan dan dilatih dengan baik, angkatan muda kita bisa menjadi digital labor force yang sangat mumpuni dalam mendulang devisa.
Kedua, daya saing biaya yang cukup kompetitif. Upah rata-rata seorang pengembang aplikasi di Jakarta jauh lebih rendah daripada di San Francisco atau Tokyo, tetapi dengan kualitas yang semakin bisa disetarakan.
Kombinasi value for money tersebut adalah daya tarik kunci bagi klien global. Lanskap ini memberi ruang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menjadi hub jasa digital.
Ketiga, akses ke pasar internasional yang semakin mudah. Kehadiran platform digital, seperti Upwork dan Fiverr memungkinkan para talenta digital kita untuk bersaing di panggung global tanpa perlu bermigrasi ke Silicon Valley.
Teknologi telah membuat jarak menjadi tidak relevan di era digital. Inilah demokratisasi ekspor yang belum disadari banyak orang.
Pusat Inovasi Digital
Tak pelak inovasi menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk menangkap peluang besar ini. Sayangnya, inovasi tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari interaksi empat pihak, yaitu institusi pendidikan, industri, pemerintah, dan masyarakat.
Pada titik inilah Pusat Inovasi Digital (PID) hadir sebagai aktor sistemik untuk menyatukan keempatnya dalam satu ruang kolaborasi.
Konsep PID berakar pada teori pertumbuhan endogen oleh Paul Romer, seorang ekonom dan peraih nobel ekonomi tahun 2018.
Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi tidak hanya didorong oleh modal dan tenaga kerja, tetapi juga oleh akumulasi pengetahuan yang terus tumbuh karena adanya insentif inovasi.
Sebagai contoh, kita bisa belajar dari Block 71 di Singapura, yang awalnya merupakan bekas pabrik industri tua. Hari ini, ia menjadi pusat gravitasi bagi ratusan usaha rintisan, investor, universitas, hingga lembaga pemerintah.
Di sana, ide bisa diujicobakan tanpa takut ditertibkan. Peneliti bisa berkolaborasi dengan pengembang produk. Pemerintah hadir untuk menciptakan ruang aman bagi inovasi.
Alhasil, Block 71 berhasil mendorong ekspor jasa digital Singapura ke pasar global. Dari ruang kecil ini, lahir berbagai usaha rintisan teknologi dengan predikat unicorn, seperti PatSnap dan Carousel.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa ekosistem yang kondusif dapat menjadikan ide sebagai komoditas ekspor unggulan.
Dari perspektif makro, PID memainkan peran vital. PID menjadi simpul penting yang menjembatani talenta digital lokal dengan kebutuhan pasar global.
Fungsinya tidak semata-mata mengembangkan keterampilan teknis, seperti pemrograman atau desain, tetapi juga memperluas pemahaman tentang standar internasional, etika bisnis lintas yurisdiksi, serta perlindungan kekayaan intelektual.
Lebih dari sekadar pusat pelatihan, PID juga merupakan ruang eksperimentasi. Disanalah ide-ide tentang AI generatif, blockchain, hingga big data diuji dan dikembangkan.
Proyek-proyek tersebut tidak hanya ditujukan bagi pasar domestik dan global, tetapi juga menjadi etalase kemampuan digital Indonesia di mata dunia.
Misalnya, ketika usaha rintisan di Jakarta berhasil mengembangkan solusi chatbot AI yang diadopsi oleh klien di Asia Tenggara, hal ini bukan hanya soal ekspor teknologi. Ini juga tentang tumbuhnya kepercayaan terhadap kapabilitas digital anak negeri.
Pada akhirnya, ekspor jasa digital adalah masa depan yang sedang mengetuk pintu. Kita tidak bisa berharap mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi jika terus bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam. PID harus menjadi episentrum dari transformasi.
Lebih dari itu, PID harus menumbuhkan cara pandang baru bahwa ekspor tidak melulu soal barang fisik, tapi juga tentang ide, keahlian, dan kreativitas yang berasal dari karya anak bangsa.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 24 Juni 2025
Jun 11, 2025 | Articles on Media
Tidak ada orang yang nyaman dengan kerumitan saat berbelanja. Apalagi ketika bepergian ke luar negeri. Di tengah hiruk-pikuk kota Tokyo atau ketika tawar-menawar buah tangan di Beijing, wisatawan Indonesia sering terjebak dalam drama klasik: bingung mencari konter penukaran uang, resah dengan kurs yang mahal, atau gagal bertransaksi karena kartu kredit tidak terbaca.
Bank Indonesia membaca situasi ini dengan jeli. Bank sentral paham bahwa pembayaran di era digital seharusnya sesederhana satu ketukan di layar gawai cerdas. Karena itu, Bank Indonesia tengah mengakeselerasi kerja sama QRIS antarnegara dengan Jepang dan Tiongkok.
Langkah ini menjanjikan sebuah revolusi: cukup satu aplikasi pembayaran lokal, pelancong tanah air dapat bertransaksi menggunakan QRIS di luar negeri, begitu juga sebaliknya.
Perjalanan kerja sama QRIS antarnegara di kedua negara tersebut tidak terjadi dalam semalam. Misalnya, untuk menjembatani sistem pembayaran Indonesia dan Jepang, Bank Indonesia menjalin nota kesepahaman strategis dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang pada Desember 2022.
Kesepakatan ini menandai dimulainya kolaborasi pembayaran digital lintas negara menggunakan QRIS dan Japan Unified QR Code (JPQR).
Di sisi lain, kerja sama sistem pembayaran antara Indonesia dan Tiongkok dibangun di atas fondasi yang lebih luas dari sekadar integrasi teknologi. Bank Indonesia dan People’s Bank of China telah menjalin kemitraan strategis melalui Local Currency Settlement (LCS) pada 2020.
Inisiatif ini memungkinkan penyelesaian transaksi bilateral menggunakan rupiah dan yuan. Dari sinilah hubungan kedua bank sentral berkembang ke ranah sistem pembayaran digital lintas batas.
Kebijakan bank sentral memang tidak harus selalu dibaca dalam angka suku bunga. Kadang kebijakan yang paling berdampak justru adalah saat konsumen bisa bertransaksi di negara lain semudah di negaranya sendiri.
Maka itu, interkoneksi QRIS ke Jepang dan Tiongkok menandakan sebuah bentuk sinergi sistem pembayaran kolektif yang mampu memangkas berbagai friksi.
Efisiensi yang ditawarkan QRIS antarnegara sangat fundamental. Dunia hari ini ditandai dengan tingginya mobilitas masyarakat global. Namun sayangnya, sistem pembayaran sering kali masih terjebak di masa lalu.
Kartu kredit belum tentu diterima di toko kecil, uang tunai harus ditukar dengan biaya tinggi, dan dompet digital kita sering tak kompatibel di luar negeri. Dengan QRIS antarnegara, pelaku UMKM dan wisawatan tidak perlu lagi bergantung pada metode pembayaran lama yang mahal dan lambat.
Secara historis, Indonesia telah melakukan berbagai langkah untuk memperluas implementasi QRIS antarnegara. Thailand, Malaysia dan Singapura merupakan negara tetangga yang telah terkoneksi dengan QRIS sejak tahun 2022 dan 2023.
Kerja sama ini dibingkai dalam kerangka Regional Payment Connectivity yang merupakan salah satu agenda prioritas ketika Indonesia memegang Presidensi G20 tahun 2022 dan Keketuaan ASEAN tahun 2023.
Kolaborasi ini berangkat dari kebutuhan praktis kolektif: pembayaran lintas negara yang cepat, murah, dan aman. Namun di balik kerja sama itu, tersimpan sebuah narasi besar. Dunia sedang bergerak menuju sistem keuangan internasional yang lebih terdesentralisasi dan inklusif.
Dan tentu saja, QRIS antarnegara adalah bagian dari mosaik global yang lebih luas.
Buktinya pada KTT G20 tahun 2020, para pemimpin dunia sepakat bahwa sistem pembayaran lintas negara saat itu masih memerlukan banyak terobosan.
Sebagai respons, G20 meluncurkan “Roadmap for Enhancing Cross-Border Payments.” Tujuannya ambisius: membangun sistem pembayaran global yang lebih murah, cepat, transparan, and inklusif.
Indonesia tidak hanya mendukung gagasan ini secara retoris. Melalui QRIS antarnegara, Indonesia sedang mengambil peran strategis: menjadi simpul penting dalam konektivitas pembayaran kawasan.
Rencana kerja sama QRIS dengan Jepang dan China akan semakin mempertegas posisi sentral Indonesia di kancah internasional.
Implikasi ekonomi
Menghubungkan QRIS dengan sistem pembayaran Jepang memiliki tantangan tersendiri. Negeri Sakura lebih konservatif dalam adopsinya terhadap pembayaran digital. Namun, potensi pembayaran digital terbilang masih sangat besar.
Pasalnya lebih dari 500.000 wisatawan Indonesia datang ke Jepang setiap tahunnya. Sebaliknya, 300.000 turis Jepang berkunjung ke Indonesia.
Tak heran, QRIS niscaya akan memudahkan para pelancong dari kedua belah negara dalam bertransaksi tanpa perlu bergantung pada uang tunai dan kartu.
Di sisi lain, Tiongkok menawarkan tantangan yang berbeda. Negeri Tirai Bambu memiliki kebijakan yang sangat ketat terkait perlindungan data dan keamanan transaksi. Meski demikian, tantangan ini dapat diatasi dengan pengaturan yang cermat antara bank sentral Indonesia dan Tiongkok.
Dengan menjalin kerja sama ini, kedua negara dapat memperkuat hubungan perdagangan sehingga membuka akses pasar baru bagi produk-produk Indonesia.
Sebagian besar diskusi soal QRIS antarnegara memang mengarah pada sektor pariwisata. Wajar, karena sektor ini langsung terdampak. Namun implikasi ekonominya jauh lebih luas.
Pertama, ada potensi besar bagi UMKM lokal untuk berdagang lintas negara. Jika sistem pembayaran antarnegara sudah terintegrasi, maka penjual batik di Pekalongan bisa menerima pembayaran dari pembeli di Osaka atau Shenzhen secara instan dan langsung dalam rupiah.
Kedua, ini membuka jalan untuk penggunaan mata uang lokal dalam transaksi antarnegara Asia.
Ketika QRIS memungkinkan konversi langsung antara rupiah, yen, atau yuan, maka ketergantungan terhadap satu mata uang global tertentu sebagai perantara dapat diminimalkan. Ini memperkuat kedaulatan moneter dan mengurangi risiko volatilitas eksternal.
Ketiga, efisiensi sistem pembayaran akan berdampak pada sektor lain—dari remitansi pekerja migran, pengiriman uang pelajar luar negeri, hingga e-commerce lintas batas. Sistem yang cepat dan murah menciptakan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi digital.
Langkah awal
Pepatah bijak Tiongkok berbunyi “Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.” QRIS antarnegara mungkin hanyalah satu langkah kecil dalam peta besar ekonomi digital Asia.
Namun, ini adalah langkah yang tepat karena ia membuka ribuan langkah berikutnya: perdagangan lebih inklusif, wisata yang lebih praktis, dan UMKM yang lebih percaya diri menembus batas negara.
Sejarah membuktikan bahwa kerja sama ekonomi besar sering kali dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti pembayaran. Karena di ujung setiap transaksi, ada kepercayaan. Dan di balik setiap sistem pembayaran, ada pilihan: apakah kita hanya ingin menjadi pengguna, atau juga menjadi pemain?
QRIS antarnegara bukan hanya tentang kemudahan. Ia adalah wujud diplomasi dompet—cara baru Indonesia hadir di panggung ekonomi global, bukan dengan bendera, tapi dengan kode QR yang menyala di layar ponsel kita.
Itu bukan mimpi. Itu masa depan yang sedang dibangun hari ini. Satu transaksi QRIS di Tokyo atau Shanghai bisa menjadi simbol kecil dari perubahan besar yang akan datang. Dan Indonesia sudah memilih untuk tidak hanya menonton, tapi ikut bermain.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 11 Juni 2025
May 17, 2025 | Articles on Media
Ketika Google Maps pertama kali diluncurkan tahun 2005, kita hanya melihatnya sebagai peta digital. Tapi seiring waktu, ia menjadi lebih dari sekadar petunjuk arah. Ia mengajari kita membaca ritme kota, memprediksi kemacetan, bahkan merencanakan waktu berpindah dari satu titik ke titik lainnya.
Inovasi yang semula terlihat biasa, ternyata diam-diam mengubah cara manusia memaknai ruang dan waktu.
Kini, sejarah itu seperti berulang lewat implementasi QRIS. Ia telah hadir sejak lima tahun silam dengan wajah yang sangat sederhana: kode persegi dua dimensi di atas selembar kertas. Tidak ada layar sentuh, tidak ada tombol dan tidak ada suara. Tapi di balik kesederhanaannya, ia membawa misi besar bernama transformasi digital.
Pada mulanya QRIS dirancang untuk memudahkan transaksi. Pedagang tak perlu lagi menyiapkan beragam kode QR di meja kasir. Cukup satu kode QR untuk pembayaran semua bank dan dompet digital. Praktis, cepat, dan hemat.
Dan seiring berjalannya waktu, tidak ada yang menyangka kehadiran alat sederhana itu justru berkembang menjadi pintu pembuka bagi UMKM masuk ke dalam ekosistem digital.
Lompatan katak
Mereka mulai belajar mencatat transaksi, mengelola laporan keuangan, terkoneksi dengan aplikasi kasir digital, hingga memasarkan dagangannya di media sosial dan situs lokapasar.
Situasi ini lantas dikenal dengan istilah “lompatan katak” (leapfrog). Sebuah jargon kontemporer untuk menggambarkan kemampuan melompati tahapan pertumbuhan konvensional dengan bantuan teknologi.
Dulu, untuk bisa menjangkau pasar nasional, pelaku usaha harus membuka cabang, pasang iklan di media cetak, dan punya modal besar. Sekarang, cukup punya akun media sosial, ponsel pintar, dan QRIS.
UMKM yang tadinya hanya melayani tetangga sekitar, kini bisa melayani pembeli di luar kota, bahkan luar negeri dengan proses pembayaran yang mudah.
Tak ayal, UMKM dapat melompat langsung dari ekonomi informal ke ekosistem digital tanpa harus melewati fase menengah yang panjang. Inilah hakikat lompatan katak, yakni teknologi yang awalnya dirancang untuk efisiensi pembayaran menjadi pondasi transformasi struktural.
Pada skala makro, adopsi massal QRIS berkontribusi pada formalisasi usaha informal, perluasan basis pajak, dan percepatan inklusi keuangan.
Optimisme serupa kembali membuncah seiring peluncuran QRIS Tap pada Maret 2025. Dengan dukungan teknologi Near Field Communication (NFC), pengguna cukup menempelkan ponsel ke perangkat, dan transaksi terjadi dalam sekejap.
Meski usianya masih seumur jagung, nyatanya pengguna QRIS Tap tercatat mencapai 20,8 juta orang dengan volume transaksi mencapai 42,9 juta.
Sekilas, cara pembayaran kekinian ini terlihat hanya sebagai penyempurnaan teknis dari sistem QRIS yang sudah ada. Namun di balik itu, QRIS Tap sejatinya menyimpan potensi lebih dari sekadar memudahkan pembayaran.
Sektor transportasi publik dapat menjadi studi kasus menarik. Aspek kecepatan terbilang sangat krusial di area ini. Semakin deras laju transaksi, semakin lancar aliran penumpang.
Pengalaman banyak kota megapolitan di dunia mengajarkan bahwa kecepatan berpindah sama pentingnya dengan kecepatan internet. Ketika teknologi menyatu dengan alur hidup masyarakat urban, ia tak lagi sekadar alat bayar, tapi menjadi bagian dari infrastruktur kota modern.
Walau demikian, letak kekuatan QRIS Tap justu terletak pada sisi perolehan data. Setiap ketukan pada mesin pembaca menciptakan jejak digital sebagai indikator mobilitas harian warga.
Ia memberitahu jam berapa orang paling sering naik kendaraan umum. Ia mengungkap rute mana yang padat, mana yang sepi.
Implikasinya QRIS Tap memungkinkan sistem pengambilan kebijakan dapat bergerak dari berbasis asumsi menuju sistem berbasis bukti. Pemerintah bisa membaca pola mobilitas masyarakat secara langsung. Operator mampu menyesuaikan armada secara dinamis. Dan warga mendapat layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nyatanya.
Enabling infrastructure
Ke depan, sangat mungkin data QRIS Tap akan terhubung dengan sistem perencanaan kota. Pemerintah bisa mengidentifikasi daerah yang kurang terlayani transportasi, mengatur tarif berdasarkan waktu, bahkan memberi subsidi yang lebih tepat sasaran.
Di titik inilah, QRIS Tap bukan cuma alat transaksi. Ia menjadi enabling infrastructure yang memampukan banyak hal lain tumbuh di atasnya.
Terminologi ini berarti infrastruktur yang tidak hanya menjalankan fungsi dasarnya, tetapi juga membuka ruang tumbuh bagi sistem lainnya.
Misalnya, jalan tol tidak hanya menghubungkan dua kota, tapi membentuk pusat ekonomi baru. Listrik bukan hanya menyalakan lampu, tapi memungkinkan munculnya industri.
QRIS Tap pun demikian. Ia membuka jalan, tak hanya bagi sistem transportasi yang lebih efisien, tapi juga bagi kota yang lebih cerdas.
Hari ini, tantangan transportasi publik bukan hanya pada soal tarif dan trayek, tetapi juga integrasi layanan. Pengguna ingin melihat posisi kendaraan umum, merencanakan rute, hingga memesan tiket transportasi secara daring.
QRIS Tap berpotensi menjadi simpul awal yang menghubungkan moda transportasi ke dalam ekosistem digital—dari pembayaran, data pengguna, hingga integrasi antarmoda.
Potensi QRIS Tap tentu tidak berhenti di halte atau stasiun. Ia bisa menjangkau lebih luas, menembus batas sektor transportasi menuju layanan publik lainnya. Bayangkan jika pembayaran retribusi parkir, tiket masuk kawasan wisata, hingga layanan administrasi di kantor pemerintah bisa dilakukan cukup dengan satu sentuhan.
Di sinilah kita melihat bagaimana QRIS Tap bisa menjadi tulang punggung kota cerdas yang tidak hanya efisien secara teknis, tapi juga inklusif secara sosial.
Pada akhirnya, Clayton Christensen, profesor di Harvard Business School mengatakan: “Inovasi yang berhasil bukan yang paling canggih, tapi yang paling banyak dipakai.” QRIS Tap memenuhi syarat ini.
Bukan karena ia dibangun dengan teknologi mutakhir, tapi karena ia menjawab kebutuhan paling dasar masyarakat: kemudahan, kecepatan, dan keterjangkauan dalam bertransaksi.
Maka dari itu, sangat tepat jika memosisikan QRIS Tap sebagai fondasi awal transformasi fasilitas publik yang lebih inklusif, efisien, dan terhubung.
Walau saat ini implementasinya masih terbatas, tapi seperti kata orang bijak: jangan meremehkan riak kecil, karena gelombang besar sering lahir dari riak kecil yang tak terlihat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 17 Mei 2025
May 7, 2025 | Articles on Media
Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh digitalisasi, tersimpan tantangan besar bernama kejahatan siber. Baru-baru ini publik dikejutkan dengan sebuah modus penipuan berupa penggunaan perangkat Base Transceiver Station (BTS) palsu.
Bareskrim Polri menyebut nominal kerugian akibat aksi ini mencapai ratusan juta rupiah Kejahatan ini menjadi ancaman serius dan memperlihatkan betapa pentingnya literasi digital.
Berbeda dengan kebanyakan kejahatan siber yang hanya berbasis perangkat lunak atau media sosial, BTS palsu tergolong kejahatan yang menggunakan perangkat keras berteknologi tinggi.
Pelaku menggunakan sistem IMSI Catcher yang mampu “menjebak” ponsel agar menganggapnya sebagai pemancar resmi dan menyisipkan pesan penipuan tanpa melewati jaringan operator.
Dengan sinyal kuat dan terarah, BTS palsu dapat menjangkau puluhan hingga ratusan ponsel di radius tertentu. Ketika korban menerima SMS seperti “Bank Anda akan memblokir akun ini, klik tautan untuk verifikasi,” mereka tidak menyadari bahwa pesan tersebut tidak pernah dikirim oleh operator atau bank yang sah.
Dampak kejahatan ini sangat nyata: masyarakat kehilangan dana, kepercayaan pada layanan digital menurun, dan reputasi lembaga finansial ikut terdampak. Penipuan ini tidak hanya menipu dompet, tetapi juga mengoyak rasa aman pengguna digital.
Modus operandi kejahatan siber sangat beragam. Setidaknya terdapat lima jenis praktik kecurangan yang paling sering terjadi.
Pertama, phishing atau upaya memperoleh informasi pribadi dengan menyamar sebagai pihak terpercaya. Modus BTS palsu memanfaatkan smishing (phising dalam versi berbasis SMS) secara langsung dengan membuat SMS seolah-olah berasal dari bank atau institusi resmi.
Kedua, malware dan ransomware. Malware (perangkat lunak berbahaya) dapat menginfeksi perangkat dan mencuri data tanpa sepengetahuan pengguna.
Di sisi lain, Ransomware, salah satu variannya, mengunci data korban dan meminta tebusan dalam bentuk uang kripto. Serangan ini banyak menyasar sektor pemerintahan dan layanan publik.
Ketiga, social engineering atau rekayasa sosial. Teknik manipulatif ini mengeksploitasi psikologis korban untuk mengungkapkan informasi penting, misalnya dengan berpura-pura menjadi customer service atau petugas bank.
Pelaku sering menggabungkan teknik ini dengan pesan yang menimbulkan kepanikan seperti “rekening Anda diblokir”.
Keempat, skimming atau pencurian data kartu debit atau kartu kredit dengan memakai alat rekam yang dipasang pada mesin ATM atau mesin gesek EDC. Seiring perkembangan teknologi, teknik ini berkembang juga ke ranah digital melalui pencurian data lewat situs tidak aman.
Kelima, penipuan investasi digital dan kripto. Meningkatnya popularitas kripto juga dimanfaatkan oleh pelaku penipuan yang menjanjikan imbal hasil tinggi tanpa risiko. Korbannya tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga generasi muda yang aktif digital namun kurang memahami risiko.
Kejahatan-kejahatan di atas kian membingkai fakta bahwa kejahatan digital bukan hanya masalah teknis, melainkan persoalan sistemik yang menyentuh aspek pelindungan konsumen dan literasi digital publik.
Pertahanan pertama
Kejahatan siber seperti BTS palsu menunjukkan bahwa ruang digital bukanlah tempat yang netral. Ia bisa menjadi arena produktivitas atau medan berbahaya tergantung pada kesiapan kita. Masyarakat yang tidak dilindungi dan tidak dibekali dengan literasi digital akan terus menjadi korban.
Literasi digital adalah benteng pertahanan pertama terhadap kejahatan digital. Semakin tinggi literasi digital masyarakat, semakin kecil kemungkinan mereka jadi korban penipuan.
Literasi digital bukan cuma soal teknologi, tapi soal bertahan hidup di era digital. Maka dari itu, penguatan literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kewajiban.
Secara substansi literasi digital mencakup empat dimensi penting. Pertama, kecakapan informasi dengan memahami dan menilai validitas informasi digital.
Kedua, kesadaran keamanan digital, yaitu mengetahui risiko dari berbagi data pribadi, mengenali sinyal bahaya seperti tautan mencurigakan atau permintaan OTP.
Ketiga, etika digital dengan menjaga privasi, menghormati hak orang lain, dan tidak menyebar berita bohong.
Keempat, kemampuan memecahkan masalah digital. Mereka mengetahui langkah jika terkena penipuan, menghubungi pihak berwenang, dan menggunakan saluran pengaduan resmi.
Seseorang yang melek digital akan lebih berhati-hati dalam mengklik tautan yang mencurigakan, paham pentingnya autentikasi dua faktor (2FA), tidak mudah tergiur iming-iming hadiah dari nomor tidak dikenal, serta mengenali pola pesan yang mencurigakan.
Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat niscaya menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan digital.
Kementerian Kominfo menyebut indeks literasi Indonesia pada 2022 berada di angka 3,54 (dari skala 5). Hal ini menunjukkan bahwa masih tersisa banyak ruang bagi para pemangku kebijakan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Pelindungan Konsumen
Beragam upaya sejatinya telah dilakukan otoritas. Misalnya, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen Bank Indonesia.
Salah satu poin utamanya ialah literasi digital bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator, melainkan juga tanggung jawab industri sistem pembayaran.
Dalam kerangka ketentuan ini, pelaku industri diwajibkan untuk aktif memberikan edukasi kepada konsumen mengenai keamanan bertransaksi, perlindungan data pribadi, serta potensi risiko di dunia digital.
Dengan memperluas pemahaman konsumen, industri tidak hanya memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik yang menjadi fondasi keberlanjutan ekosistem pembayaran digital.
Seiring makin banyaknya produk dan layanan pembayaran berbasis teknologi, pemahaman masyarakat tentang konsep keamanan transaksi digital menjadi sangat mendasar.
Berbagai program edukasi, kampanye publik, hingga kolaborasi dengan komunitas lokal digalakkan untuk memperkenalkan risiko siber, serta memahami hak dan kewajiban sebagai pengguna sistem pembayaran.
Langkah ini menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan yang lebih besar, yaitu menciptakan ekosistem pembayaran yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan masyarakat yang melek digital, penggunaan layanan pembayaran digital dapat tumbuh sehat, memperluas akses keuangan, dan mempercepat transformasi ekonomi nasional.
Sinergi antara regulator dan industri ini mencerminkan komitmen bersama untuk tidak hanya membangun teknologi, tetapi juga kepercayaan dan kesiapan masyarakat dalam memasuki era ekonomi digital.
Sebab pada akhirnya tidak ada teknologi yang benar-benar aman tanpa manusia yang benar-benar paham cara menggunakannya.
Oleh karena itu, sangatlah tepat jika mengibaratkan literasi digital layaknya vaksin sosial terhadap kejahatan siber.
Seperti halnya vaksin yang melatih tubuh melawan virus, literasi digital melatih nalar dan kewaspadaan kita terhadap ancaman di dunia maya.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 7 Mei 2025
Apr 17, 2025 | Articles on Media
Kota Cerdas tidak hanya tentang gedung pencakar langit dan internet cepat. Konsep ini merujuk pada ekosistem yang saling terhubung, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik berkualitas.
Salah satu elemen penting di dalamnya adalah sistem pembayaran yang terintegrasi. Dalam konteks ini, QRIS TAP berpotensi menjadi katalis percepatan digitalisasi layanan kota.
QRIS TAP bukan sekadar varian baru dari fitur QRIS. Inovasi ini niscaya akan mengubah cara warga kota berinteraksi dengan layanan publik.
Didukung teknologi NFC (Near Field Communication), pengguna cukup mendekatkan ponsel ke mesin pembaca untuk menyelesaikan transaksi dalam hitungan detik. Keunggulan ini penting seiring gaya hidup kaum urban yang menuntut kecepatan layanan dan minim interaksi fisik.
QRIS TAP tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga sangat strategis. Sistem interoperabilitas yang dibangun memungkinkan QRIS TAP mudah diadopsi oleh berbagai penyedia layanan tanpa harus membangun infrastruktur dari nol.
Konfigurasi ini membuka peluang integrasi lintas sektor, seperti transportasi, parkir, fasilitas publik, perbelanjaan, hingga layanan administrasi pemerintah daerah.
Sektor transportasi publik menjadi kandidat utama first mover implementasi QRIS TAP dalam ekosistem Kota Cerdas. Terdapat dua pertimbangan utama, yaitu volume transaksi dan kecepatan akses.
Dalam sistem transportasi massal seperti bus dan kereta, aspek waktu tunggu terbilang sangat krusial. QRIS TAP hadir untuk menjawab tantangan ini dengan pemrosesan transaksi secara instan.
Secara historis, lebih dari satu dekade lalu membayar ongkos transportasi publik dengan uang tunai adalah satu-satunya pilihan. Di halte bus, penumpang harus menyiapkan uang pas, sementara kasir sibuk mencari uang kembalian.
Tak jarang, keterlambatan terjadi hanya karena proses ini. Fenomena serupa juga lazim dijumpai di stasiun kereta.
Lalu, kartu e-money (uang elektronik) hadir sebagai solusi. Dengan sistem ini, penumpang cukup menempelkan kartu ke mesin pembaca dan saldo otomatis terpotong sesuai tarif.
Proses ini memang lebih cepat dibandingkan uang tunai. Walau demikian, tidak sedikit pengguna baru menyadari saldo kartu tidak mencukupi saat sudah di depan gerbang masuk.
Menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia meluncurkan QRIS TAP. Sepintas cara kerja kartu e-money mirip dengan QRIS TAP. Namun, perbedaannya terletak pada inklusivitasnya.
Kartu e-money terkadang terbatas pada ekosistem tertutup dari penyedia layanan. Sebaliknya, QRIS TAP membuka akses lebih luas karena dapat digunakan pada berbagai aplikasi perbankan dan dompet digital.
Evolusi pembayaran di transportasi publik bukan semata-mata soal teknologi. Ini adalah tentang lompatan berkelanjutan demi meningkatkan efisiensi dan kenyamanan bagi pengguna.
Dengan kehadiran QRIS TAP, kita sedang menuju era di mana kemudahan perjalanan hadir dalam satu sentuhan.
Diadopsi luas
Sejak diperkenalkan pada 2019, QRIS terus menunjukkan tren kinerja yang mengesankan. Volume transaksi QRIS tetap tumbuh tinggi sebesar 163,32% pada Februari 2025 didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant.
Setali tiga uang, kartu e-money yangnotabene acap digunakan pada angkutan umum tercatat berjumlah 115 juta kartu pada Januari 2025.
Berkaca dari statistik tersebut, kita patut optimis QRIS TAP pada transportasi publik akan mudah diterima dan diadopsi secara luas. Apalagi peluang dan segmen pasarnya sangat besar.
Misalnya, jumlah penumpang MRT Jakarta sepanjang 2024 sebanyak 40,82 juta orang. Artinya, terdapat lebih dari 110 ribu orang yang menggunakan layanan ini setiap harinya.
Senada dengan data tersebut, Transjakarta mencatat ada 371,4 juta pelanggan pada 2024, dengan rata-rata lebih dari 1 juta pelanggan per hari.
Demikian pula, PT Kereta Commuter Indonesia menyebut volume pengguna commuter line (KRL) pada tahun lalu mencapai 374 juta orang.
Tesis di atas dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam teori difusi inovasi, Everett Rogers (1964) menyebut adopsi teknologi dipengaruhi oleh kemudahan penggunaan dan nilai tambahnya.
QRIS TAP memenuhi dua faktor itu. Implikasinya, QRIS TAP sangat potensial diadopsi cepat oleh masyarakat luas, terutama segmen pengguna awal dan mayoritas awal.
Menariknya, penerapan QRIS TAP di sektor transportasi publik juga sejalan dengan visi pemerintah. Asta Cita ketujuh mengamanatkan pemerintahan yang berbasis digitalisasi untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, inklusif, dan efisien.
Implementasi QRIS TAP sesungguhnya lebih dari sekadar soal efisiensi transaksi. Ia menjadi titik temu antara kebutuhan praktis warga kota dan strategi besar digitalisasi layanan publik.
Ketika pengguna angkutan umum mengakses layanan hanya dengan menempelkan ponsel, maka masyarakat sebenarnya sedang masuk ke dalam ekosistem transaksi berbasis identitas digital.
QRIS TAP membuka jalan bagi pemerintah daerah mengumpulkan data real-time yang akurat tentang perilaku ekonomi warganya.
Data ini bisa digunakan untuk menyusun kebijakan berbasis bukti yang lebih presisi. Misalnya, data transaski untuk analisis mobilitas perkotaan, perencanaan infrastruktur, serta pengembangan kebijakan transportasi yang lebih efektif.
Potensi QRIS TAP tentu tidak hanya terbatas pada sektor transportasi publik saja. Lebih dari itu, terobosan ini sejatinya menjadi langkah strategis dalam memperluas akseptasi pembayaran digital di sektor lain.
Pengalaman negara lain menunjukkan transportasi publik sering kali menjadi sektor pertama yang mengadopsi inovasi pembayaran digital sebelum meluas ke berbagai industri.
Berbagai layanan publik, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan hingga pembayaran retribusi pasar juga berpotensi besar dalam mengadopsi QRIS TAP.
Gol pamungkasnya ialah pedagang pasar tradisional dapat membayar retribusi hanya dengan menempelkan ponselnya ke mesin pembaca tanpa perlu repot menyiapkan uang kecil.
Efisiensi ini bukan hanya mempercepat proses, tetapi juga meningkatkan transparansi pendapatan daerah.
Dari perspektif makro, transformasi menuju Kota Cerdas bukan sekadar soal adopsi teknologi tinggi. Ini adalah tentang menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun kota yang lebih humanis.
Ketika pembayaran makin mudah, aktivitas ekonomi pun meningkat. Warga lebih nyaman, pedagang lebih untung, dan kota makin cerdas.
Pada akhirnya, saat ini kita hidup di era di mana kecepatan dan kenyamanan menjadi mata uang baru dalam interaksi ekonomi.
Oleh karena itu, eksistensi QRIS TAP harus dimaknai sebagai langkah kolektif untuk memperkuat fondasi sistem Kota Cerdas secara menyeluruh.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 17 April 2025
Mar 24, 2025 | Articles on Media
Sejak diperkenalkan pada 2019, QRIS telah menjadi tulang punggung digitalisasi pembayaran di Indonesia. Kini, Bank Indonesia kembali menghadirkan terobosan dengan meluncurkan QRIS TAP (Tanpa Pindai).
Inovasi ini memanfaatkan teknologi NFC untuk memberikan pengalaman transaksi yang lebih cepat dan seamless. Cukup buka aplikasi, tempel gawai cerdas dan selesai. Sesederhana itu cara pembayaran kekinian ini.
Peluncuran QRIS TAP bukan sekadar penambahan fitur baru. Ini adalah bagian dari strategi besar untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran di Indonesia. Kecepatan dan kemudahan transaksi menjadi nilai tambah utamanya.
QRIS TAP memungkinkan pelaku usaha dari skala kecil hingga besar untuk menerima pembayaran secara lebih efisien. Di tengah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, QRIS TAP hadir sebagai solusi untuk mengurangi antrean di berbagai titik layanan.
Di sektor ritel, kasir supermarket dan minimarket bisa melayani pelanggan dengan lebih cepat. Alih-alih menunggu pembeli membuka aplikasi pembayaran dan memindai kode QR, transaksi bisa langsung dilakukan dengan satu sentuhan. Demikian pula pembayaran untuk sistem parkir elektronik, SPBU, hingga di vending machine.
Tidak hanya itu, QRIS TAP menciptakan level playing field bagi penyedia jasa pembayaran sehingga memiliki akses yang sama terhadap infrastruktur NFC. Hal ini memungkinkan lebih banyak pemain untuk berpartisipasi dalam ekosistem pembayaran digital tanpa harus membangun sistem eksklusif.
Sebelum kehadiran QRIS TAP, pembayaran berbasis NFC masih terbatas pada sistem eksklusif dari penyedia layanan tertentu dan hanya bisa digunakan dalam ekosistemnya sendiri. QRIS TAP hadir sebagai solusi yang menstandarisasi transaksi NFC agar bisa digunakan tanpa terikat dengan satu platform tertentu. Konfigurasi ini mirip dengan kondisi saat peluncuran QRIS pertama kali tujuh tahun silam.
Implementasi QRIS TAP akan dilakukan secara bertahap. Pada fase awal, QRIS TAP dapat digunakan di beberapa lokasi layanan transportasi, parkir, rumah sakit, serta ritel dan UMKM. Otoritas sistem pembayaran mencatat QRIS TAP saat ini sudah dapat digunakan di 2.353 merchant.
Pada fase selanjutnya, QRIS TAP akan diperluas ke seluruh stasiun MRT, Transjakarta, LRT, ticketing DAMRI, KRL, Teman Bus dan perluasan ke merchant lainnya.
Sebagaimana penggunaan QRIS pada umumnya, pengguna QRIS TAP tetap tidak dikenakan biaya transaksi. Biaya Merchant Discount Rate (MDR) dikenakan kepada merchant sebesar 0% untuk kategori Badan Layanan Umum (BLU) dan Public Service Obligation (PSO). Sementara itu, untuk merchant kategori lain dikenakan MDR QRIS sesuai skema yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan dukungan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) terhadap Asta Cita dalam penyediaan infrastruktur transportasi yang murah bagi masyarakat, serta untuk terus meningkatkan penggunaan QRIS TAP di sektor transportasi.
Visi luhur ini didukung pula optimisme QRIS TAP yang akan mudah diadopsi masyarakat secara masif. Teknologi NFC sudah lazim ditemukan dalam ponsel cerdas yang beredar saat ini. Pengguna ponsel cerdas di Indonesia diproyeksikan mencapai 194,26 juta pada 2024.
Setali tiga uang, firma riset IDC menyebut penjualan ponsel cerdas di pasar domestik mencapai 40 juta unit atau tumbuh 15,5% pada 2024.
Cepat dan aman
Publik telah mengenal pembayaran berbasis NFC berbentuk kartu uang elektronik chip based (e-money). Misalnya Flazz (BCA), Brizzi (BRI), TapCash (BNI) dan sebagainya. Kartu ini marak digunakan dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pembayaran transportasi publik. Misalnya, pembayaran di ruas jalan tol maupun parkir di pusat perbelanjaan.
Sepintas penggunaan QRIS TAP mirip dengan kartu e-money. Pengguna tidak perlu mengetik nominal dan tidak perlu menunggu sistem membaca kode QR. Namun dari segi kecepatan, QRIS TAP membutuhkan waktu pemrosesan transaksi lebih singkat dibanding e-money.
Tidak hanya itu, keunggulan QRIS TAP juga terletak pada sistem keamanannya. Pertama, QRIS TAP terhubung langsung ke akun dompet digital atau rekening bank pengguna. Setiap transaksi harus melewati proses autentikasi, seperti sidik jari, pengenalan wajah, atau PIN.
Dengan demikian, meskipun pemilik kehilangan ponselnya, pihak lain tidak bisa menggunakannya untuk bertransaksi. Pemilik ponsel juga dapat segera memblokir akun dompet digital melalui layanan pelanggan atau aplikasi resmi.
Kedua, QRIS TAP menggunakan teknologi tokenisasi. Setiap transaksi menghasilkan kode unik yang hanya berlaku satu kali. Ini membuat sistem jauh lebih aman dibandingkan e-money yang menyimpan saldo secara statis di dalam kartu dan dapat digunakan kapan saja.
Ketiga, QRIS TAP lebih aman dari skimming. E-money rentan terhadap serangan skimming oleh perangkat NFC ilegal yang bisa mencuri data kartu saat berdekatan dengan alat pembaca yang tidak sah. Di sisi lain, QRIS TAP tidak memiliki risiko ini, karena setiap transaksi harus melalui proses otorisasi dan data tidak disimpan dalam bentuk yang bisa disalin dengan mudah.
Keempat, QRIS TAP juga mengurangi risiko QR code swapping, yaitu modus penipuan di mana kode QR milik merchant diganti dengan kode palsu yang mengalihkan pembayaran ke rekening lain. Dengan QRIS TAP, transaksi hanya bisa dilakukan dengan menempelkan ponsel ke terminal resmi, sehingga lebih sulit dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, QRIS TAP lebih aman dari serangan phishing yang sering menyasar pengguna pembayaran digital. Dalam sistem berbasis pemindaian QR, pengguna terkadang diarahkan ke halaman palsu yang meminta data pribadi atau kredensial akun pembayaran.
Dengan QRIS TAP, transaksi hanya bisa terjadi di terminal pembayaran resmi sehingga memitigasi kemungkinan pengguna tertipu oleh oknum pencuri.
Meskipun menjanjikan banyak kelebihan, namun QRIS TAP tidak ditujukan untuk menggantikan instrumen pembayaran lainnya. QRIS TAP sejatinya diposisikan untuk memperkaya opsi alat pembayaran masyarakat dalam bertransaksi. Pasalnya terdapat sejumlah skenario transaksi yang tidak bisa dilakukan melalui QRIS TAP.
Sebagai contoh, teknologi NFC dalam QRIS TAP mewajibkan transaksi dilakukan dalam jarak dekat secara fisik. Alhasil QRIS TAP tidak bisa digunakan untuk transaksi tanpa tatap muka atau penjualan daring.
Tidak hanya itu, QRIS TAP juga menuntut ketersediaan jaringan internet yang memadai. Sangat berbeda dengan kartu e-money yang dapat dioperasikan tanpa memerlukan koneksi internet yang kontinyu.
Dengan segala keunggulan yang ditawarkan, QRIS TAP berpotensi menjadi solusi pembayaran masa depan yang lebih cepat, aman, dan nyaman. Namun, keberhasilan QRIS TAP tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga dukungan regulasi dan ekosistem yang solid.
Bank Indonesia, Kementerian dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia akan bersinergi untuk memastikan kehandalan infrastruktur, keamanan yang optimal, serta edukasi yang merata bagi masyarakat. Dengan langkah yang tepat, QRIS TAP bisa menjadi salah satu pendorong utama transformasi digital di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 24 Maret 2025