Jul 3, 2025 | On Self-Productivity
Bayangkan kamu bekerja di sebuah perusahaan di mana bosmu tidak memiliki kantor pribadi. Ia duduk bersama timnya, bekerja di meja yang sama, tanpa batasan fisik maupun psikologis. Ia tidak meminta laporan absensi, tidak memantau jam kerja, tapi timnya justru lebih produktif dan penuh semangat.
Kedengarannya seperti mimpi? Bagi Kevin Kruse, penulis buku Great Leaders Have No Rules, itulah masa depan kepemimpinan—dan mungkin satu-satunya cara untuk memimpin secara otentik di era modern.
Kevin Kruse, seorang entrepreneur sukses dan pemimpin beberapa perusahaan teknologi, memulai buku ini dengan satu gagasan provokatif: Aturan-aturan lama dalam kepemimpinan sudah usang.
Di dunia kerja yang terus berubah, pendekatan top-down dan penuh kontrol justru menjadi penghambat. Para pemimpin hebat hari ini bukanlah pengatur atau pengawas, melainkan pemberi kepercayaan, pemberi inspirasi, dan pemutus rantai aturan yang tak perlu.
Pemimpin Hebat Tidak Punya Aturan
Buku ini dimulai dengan satu pertanyaan besar: “Apa jadinya jika seorang pemimpin membuang semua aturan?”
Jawabannya tidak sesederhana chaos atau anarki. Justru, dalam ketiadaan aturan yang kaku, muncul rasa tanggung jawab personal dan kebebasan bertindak. Kruse bercerita tentang pengalamannya memimpin tim tanpa aturan HR yang ketat—tanpa kebijakan cuti, tanpa aturan jam kerja—dan hasilnya? Kepercayaan dan loyalitas yang luar biasa dari karyawannya.
Menghapus aturan bukan berarti membiarkan semua hal berjalan tanpa arah. Sebaliknya, ini tentang mengganti sistem kontrol eksternal dengan kesadaran internal. Ketika orang dewasa diperlakukan sebagai orang dewasa, mereka akan menunjukkan kedewasaan mereka.
Dari “Kontrol” ke “Koneksi”
Salah satu bab terpenting dalam buku ini adalah ketika Kruse menantang aturan “buka pintu kantor” yang selama ini dipandang sebagai simbol transparansi. Ia menyarankan pemimpin untuk menutup pintu mereka—dan bahkan lebih baik, tidak punya pintu sama sekali.
Kantor pribadi, bagi Kruse, menciptakan jarak dan hierarki. Ia menyarankan kita untuk bekerja di ruang terbuka, bersama tim, mendengarkan mereka secara langsung, dan hadir sepenuhnya dalam percakapan informal.
Alih-alih menjadi pemimpin yang “terbuka”, kita diajak untuk menjadi pemimpin yang tersedia dan setara. Di sinilah peran koneksi personal menjadi lebih penting daripada aturan struktural. Bukan struktur yang menciptakan kepercayaan, tapi interaksi yang otentik.
Jangan Pernah Menyuruh—Tapi Tawarkan Pilihan
Kruse kemudian menyentil kebiasaan pemimpin yang selalu memberikan instruksi. “Suruh mereka kerjakan ini”, “Saya mau laporan itu besok”, atau “Jangan lakukan itu lagi.”
Bagi Kruse, pemimpin hebat tidak menyuruh, tapi memengaruhi. Daripada berkata, “Tolong kamu kerjakan proyek ini”, ia menyarankan untuk berkata, “Saya butuh bantuan untuk menyelesaikan proyek ini. Menurutmu, bagaimana kamu bisa membantu?” Perbedaan kecil ini menciptakan rasa memiliki dalam diri anggota tim. Mereka merasa terlibat, bukan disuruh.
Privasi Adalah Ilusi
Salah satu ide paling berani dalam buku ini adalah ketika Kruse mengatakan bahwa pemimpin harus membunuh mitos privasi. Bukan dalam arti menjadi pemimpin yang kepo atau mengintip kehidupan pribadi timnya, tapi dalam arti bahwa pemimpin harus tahu siapa anggota timnya—bukan hanya dari sisi pekerjaan, tapi dari sisi siapa mereka sebenarnya.
Kruse percaya bahwa semakin kita mengenal orang-orang kita, semakin kita bisa memimpin dengan empati. Kita tidak bisa memotivasi orang yang tidak kita kenal. Kita tidak bisa membangun kepercayaan dengan orang yang hanya kita lihat sebagai posisi dalam struktur organisasi.
Menjadi Pemimpin yang Tidak Populer
Poin ini bisa jadi membuatmu berhenti sejenak. Siapa sih yang tidak ingin disukai oleh timnya? Tapi Kruse menulis dengan lantang: “Pemimpin hebat tidak selalu disukai, tapi mereka dihormati.”
Sering kali pemimpin jatuh dalam jebakan ingin menjadi teman bagi semua orang. Akibatnya? Mereka menghindari konfrontasi, tidak berani memberi feedback jujur, dan akhirnya membiarkan kinerja tim menurun.
Kruse mendorong kita untuk berani tidak populer. Memberikan feedback yang sulit. Menyampaikan ekspektasi yang jelas. Dan di atas segalanya, menjadi pemimpin yang adil, bukan yang menyenangkan semua orang.
Jangan Menyamaratakan Aturan
Pernahkah kamu membuat aturan hanya karena satu orang menyalahgunakan kepercayaan?
Kruse menyebut ini sebagai “the bad apple rule”—ketika satu orang membuat masalah, lalu kita membuat aturan baru yang berlaku bagi semua orang. Padahal, aturan itu hanya diperlukan untuk si pembuat masalah.
Dalam kepemimpinan modern, kita perlu meninggalkan pendekatan menyamaratakan. Pemimpin harus punya keberanian untuk mengelola individu, bukan sistem. Pemimpin hebat memperlakukan orang sebagai individu yang unik—dengan gaya kerja, tantangan, dan motivasi yang berbeda.
Kepercayaan, Bukan Pengawasan
Banyak perusahaan menerapkan sistem pengawasan ketat: CCTV, pelacakan waktu kerja, bahkan perangkat lunak pemantau layar komputer. Tapi Kruse justru berargumen bahwa semakin kita mengawasi, semakin kita menciptakan ketidakpercayaan.
Ia mengutip banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kepercayaan adalah kunci produktivitas. Ketika tim merasa dipercaya, mereka cenderung bekerja lebih keras untuk tidak mengecewakan. Sebaliknya, ketika mereka merasa diawasi, mereka justru mencari cara untuk “mengakali sistem”.
Pimpin dengan Otentik dan Percaya
Great Leaders Have No Rules bukanlah ajakan untuk menjadi pemimpin kacau yang menolak sistem. Sebaliknya, buku ini mengajak kita meninggalkan pendekatan usang yang terlalu bergantung pada kontrol, aturan kaku, dan birokrasi.
Di tengah dunia kerja yang semakin dinamis, penuh perubahan, dan didominasi oleh generasi yang mendambakan makna, Kruse menawarkan cara memimpin yang lebih manusiawi, adaptif, dan efektif: dengan kepercayaan, bukan pengawasan; dengan hubungan, bukan dominasi.
Kepemimpinan hebat bukan lagi soal seberapa banyak aturan yang bisa ditegakkan, melainkan seberapa dalam kita bisa terhubung dengan orang-orang yang kita pimpin. Seberapa besar kita mampu menumbuhkan rasa kepemilikan dalam tim, bukan rasa takut akan hukuman.
Di sinilah letak kekuatan sejati pemimpin masa depan—mereka yang bisa melepaskan ego, membuka diri, dan mempercayai orang lain untuk bertumbuh bersama.
Buku ini menggugah kita untuk bertanya: Apakah saya sedang memimpin karena posisi, atau karena kepercayaan? Apakah saya memimpin dengan kendali, atau dengan pengaruh? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan sejauh mana kita bisa membawa tim kita menuju puncak potensi mereka.
Dan jika kamu merasa terjebak dalam pola lama kepemimpinan yang tak lagi relevan, barangkali sudah waktunya untuk mengganti pertanyaan “aturan apa yang harus saya buat?” menjadi “hubungan apa yang harus saya bangun?“
“Your job as a leader isn’t to enforce rules—it’s to shape culture.” – Kevin Kruse
Jun 29, 2025 | Articles on Media
Ada satu kutipan yang kerap didengungkan ekonom ketika mencermati dinamika global terkini: “Don’t waste a good crisis.” Hari ini kita memang tidak mengalami krisis.
Namun, pergeseran besar dalam struktur ekonomi sedang terjadi. Dan transisi semacam ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan mendasar yang sulit dilakukan dalam situasi normal.
Selama bertahun-tahun, Indonesia menggantungkan ekspor pada komoditas batu bara, CPO, nikel. Para ekonom klasik percaya bahwa keunggulan suatu negara ditentukan oleh faktor alam. Tapi, dunia sudah berubah. Teori itu pelan-pelan ditinggalkan.
Mesin pertumbuhan global tidak lagi semata di ladang atau tambang. Justru komoditas virtual, seperti kode program, algoritma, dan konten digital telah menjadi primadona baru.
Ekonomi digital memang telah membuka banyak jendela peluang baru. Negara yang mampu menghasilkan talenta unggul akan menikmati arus devisa lewat ekspor jasa digital. Richard Baldwin menamakan situasi ini sebagai “third unbundling.”
Pekerjaan bisa dilakukan di mana saja dan kehadiran fisik tak lagi jadi syarat untuk berpartisipasi dalam ekonomi global. Inilah wajah baru globalisasi dari perdagangan komoditas ke persaingan kreativitas.
Secara sederhana, ekspor jasa digital adalah penjualan jasa ke luar negeri yang penyampaian dan transaksinya dilakukan secara digital.
WTO menyebut ekspor jasa digital sebagai salah satu jenis ekspor dengan kenaikan paling cepat secara global. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata pertumbuhan tahunannya lebih dari 8% atau lebih tinggi dari ekspor barang.
Jenisnya pun makin beragam. Mulai pengembangan perangkat lunak, animasi, layanan data analytics, cloud computing, digital marketing, hingga jasa edukasi berbasis daring.
Dan yang menarik, sektor ini lebih tahan terhadap disrupsi logistik, lebih inklusif untuk pelaku kecil, dan lebih rendah hambatan tarifnya.
Data statistik menunjukkan nominal ekspor jasa digital global telah menyentuh USD 4,64 triliun pada 2024. India, yang dulu dikenal sebagai negara pertanian dan industri padat karya, kini menjadi raksasa layanan TI dunia dengan nilai ekspor jasa digital USD 269 miliar.
Irlandia, negara kecil dengan populasi 5 juta jiwa, menjadi pusat ekspor perangkat lunak, SaaS, dan layanan back-end dari raksasa teknologi global senilai USD 417 miliar.
Sementara itu, Indonesia dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan penetrasi internet yang mencapai 79% mencatatkan nilai ekspor jasa digital hanya USD 11 miliar. Disinilah letak tantangan, sekaligus juga potensi bagi bangsa kita. Setidaknya ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan.
Pertama, bonus demografi adalah bahan baku utama. Indonesia memiliki lebih dari 70 juta penduduk usia produktif yang melek digital. Angka ini akan terus meningkat hingga 2030.
Jika diarahkan dan dilatih dengan baik, angkatan muda kita bisa menjadi digital labor force yang sangat mumpuni dalam mendulang devisa.
Kedua, daya saing biaya yang cukup kompetitif. Upah rata-rata seorang pengembang aplikasi di Jakarta jauh lebih rendah daripada di San Francisco atau Tokyo, tetapi dengan kualitas yang semakin bisa disetarakan.
Kombinasi value for money tersebut adalah daya tarik kunci bagi klien global. Lanskap ini memberi ruang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menjadi hub jasa digital.
Ketiga, akses ke pasar internasional yang semakin mudah. Kehadiran platform digital, seperti Upwork dan Fiverr memungkinkan para talenta digital kita untuk bersaing di panggung global tanpa perlu bermigrasi ke Silicon Valley.
Teknologi telah membuat jarak menjadi tidak relevan di era digital. Inilah demokratisasi ekspor yang belum disadari banyak orang.
Pusat Inovasi Digital
Tak pelak inovasi menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk menangkap peluang besar ini. Sayangnya, inovasi tidak muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari interaksi empat pihak, yaitu institusi pendidikan, industri, pemerintah, dan masyarakat.
Pada titik inilah Pusat Inovasi Digital (PID) hadir sebagai aktor sistemik untuk menyatukan keempatnya dalam satu ruang kolaborasi.
Konsep PID berakar pada teori pertumbuhan endogen oleh Paul Romer, seorang ekonom dan peraih nobel ekonomi tahun 2018.
Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi tidak hanya didorong oleh modal dan tenaga kerja, tetapi juga oleh akumulasi pengetahuan yang terus tumbuh karena adanya insentif inovasi.
Sebagai contoh, kita bisa belajar dari Block 71 di Singapura, yang awalnya merupakan bekas pabrik industri tua. Hari ini, ia menjadi pusat gravitasi bagi ratusan usaha rintisan, investor, universitas, hingga lembaga pemerintah.
Di sana, ide bisa diujicobakan tanpa takut ditertibkan. Peneliti bisa berkolaborasi dengan pengembang produk. Pemerintah hadir untuk menciptakan ruang aman bagi inovasi.
Alhasil, Block 71 berhasil mendorong ekspor jasa digital Singapura ke pasar global. Dari ruang kecil ini, lahir berbagai usaha rintisan teknologi dengan predikat unicorn, seperti PatSnap dan Carousel.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa ekosistem yang kondusif dapat menjadikan ide sebagai komoditas ekspor unggulan.
Dari perspektif makro, PID memainkan peran vital. PID menjadi simpul penting yang menjembatani talenta digital lokal dengan kebutuhan pasar global.
Fungsinya tidak semata-mata mengembangkan keterampilan teknis, seperti pemrograman atau desain, tetapi juga memperluas pemahaman tentang standar internasional, etika bisnis lintas yurisdiksi, serta perlindungan kekayaan intelektual.
Lebih dari sekadar pusat pelatihan, PID juga merupakan ruang eksperimentasi. Disanalah ide-ide tentang AI generatif, blockchain, hingga big data diuji dan dikembangkan.
Proyek-proyek tersebut tidak hanya ditujukan bagi pasar domestik dan global, tetapi juga menjadi etalase kemampuan digital Indonesia di mata dunia.
Misalnya, ketika usaha rintisan di Jakarta berhasil mengembangkan solusi chatbot AI yang diadopsi oleh klien di Asia Tenggara, hal ini bukan hanya soal ekspor teknologi. Ini juga tentang tumbuhnya kepercayaan terhadap kapabilitas digital anak negeri.
Pada akhirnya, ekspor jasa digital adalah masa depan yang sedang mengetuk pintu. Kita tidak bisa berharap mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi jika terus bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam. PID harus menjadi episentrum dari transformasi.
Lebih dari itu, PID harus menumbuhkan cara pandang baru bahwa ekspor tidak melulu soal barang fisik, tapi juga tentang ide, keahlian, dan kreativitas yang berasal dari karya anak bangsa.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 24 Juni 2025
Jun 11, 2025 | Articles on Media
Tidak ada orang yang nyaman dengan kerumitan saat berbelanja. Apalagi ketika bepergian ke luar negeri. Di tengah hiruk-pikuk kota Tokyo atau ketika tawar-menawar buah tangan di Beijing, wisatawan Indonesia sering terjebak dalam drama klasik: bingung mencari konter penukaran uang, resah dengan kurs yang mahal, atau gagal bertransaksi karena kartu kredit tidak terbaca.
Bank Indonesia membaca situasi ini dengan jeli. Bank sentral paham bahwa pembayaran di era digital seharusnya sesederhana satu ketukan di layar gawai cerdas. Karena itu, Bank Indonesia tengah mengakeselerasi kerja sama QRIS antarnegara dengan Jepang dan Tiongkok.
Langkah ini menjanjikan sebuah revolusi: cukup satu aplikasi pembayaran lokal, pelancong tanah air dapat bertransaksi menggunakan QRIS di luar negeri, begitu juga sebaliknya.
Perjalanan kerja sama QRIS antarnegara di kedua negara tersebut tidak terjadi dalam semalam. Misalnya, untuk menjembatani sistem pembayaran Indonesia dan Jepang, Bank Indonesia menjalin nota kesepahaman strategis dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang pada Desember 2022.
Kesepakatan ini menandai dimulainya kolaborasi pembayaran digital lintas negara menggunakan QRIS dan Japan Unified QR Code (JPQR).
Di sisi lain, kerja sama sistem pembayaran antara Indonesia dan Tiongkok dibangun di atas fondasi yang lebih luas dari sekadar integrasi teknologi. Bank Indonesia dan People’s Bank of China telah menjalin kemitraan strategis melalui Local Currency Settlement (LCS) pada 2020.
Inisiatif ini memungkinkan penyelesaian transaksi bilateral menggunakan rupiah dan yuan. Dari sinilah hubungan kedua bank sentral berkembang ke ranah sistem pembayaran digital lintas batas.
Kebijakan bank sentral memang tidak harus selalu dibaca dalam angka suku bunga. Kadang kebijakan yang paling berdampak justru adalah saat konsumen bisa bertransaksi di negara lain semudah di negaranya sendiri.
Maka itu, interkoneksi QRIS ke Jepang dan Tiongkok menandakan sebuah bentuk sinergi sistem pembayaran kolektif yang mampu memangkas berbagai friksi.
Efisiensi yang ditawarkan QRIS antarnegara sangat fundamental. Dunia hari ini ditandai dengan tingginya mobilitas masyarakat global. Namun sayangnya, sistem pembayaran sering kali masih terjebak di masa lalu.
Kartu kredit belum tentu diterima di toko kecil, uang tunai harus ditukar dengan biaya tinggi, dan dompet digital kita sering tak kompatibel di luar negeri. Dengan QRIS antarnegara, pelaku UMKM dan wisawatan tidak perlu lagi bergantung pada metode pembayaran lama yang mahal dan lambat.
Secara historis, Indonesia telah melakukan berbagai langkah untuk memperluas implementasi QRIS antarnegara. Thailand, Malaysia dan Singapura merupakan negara tetangga yang telah terkoneksi dengan QRIS sejak tahun 2022 dan 2023.
Kerja sama ini dibingkai dalam kerangka Regional Payment Connectivity yang merupakan salah satu agenda prioritas ketika Indonesia memegang Presidensi G20 tahun 2022 dan Keketuaan ASEAN tahun 2023.
Kolaborasi ini berangkat dari kebutuhan praktis kolektif: pembayaran lintas negara yang cepat, murah, dan aman. Namun di balik kerja sama itu, tersimpan sebuah narasi besar. Dunia sedang bergerak menuju sistem keuangan internasional yang lebih terdesentralisasi dan inklusif.
Dan tentu saja, QRIS antarnegara adalah bagian dari mosaik global yang lebih luas.
Buktinya pada KTT G20 tahun 2020, para pemimpin dunia sepakat bahwa sistem pembayaran lintas negara saat itu masih memerlukan banyak terobosan.
Sebagai respons, G20 meluncurkan “Roadmap for Enhancing Cross-Border Payments.” Tujuannya ambisius: membangun sistem pembayaran global yang lebih murah, cepat, transparan, and inklusif.
Indonesia tidak hanya mendukung gagasan ini secara retoris. Melalui QRIS antarnegara, Indonesia sedang mengambil peran strategis: menjadi simpul penting dalam konektivitas pembayaran kawasan.
Rencana kerja sama QRIS dengan Jepang dan China akan semakin mempertegas posisi sentral Indonesia di kancah internasional.
Implikasi ekonomi
Menghubungkan QRIS dengan sistem pembayaran Jepang memiliki tantangan tersendiri. Negeri Sakura lebih konservatif dalam adopsinya terhadap pembayaran digital. Namun, potensi pembayaran digital terbilang masih sangat besar.
Pasalnya lebih dari 500.000 wisatawan Indonesia datang ke Jepang setiap tahunnya. Sebaliknya, 300.000 turis Jepang berkunjung ke Indonesia.
Tak heran, QRIS niscaya akan memudahkan para pelancong dari kedua belah negara dalam bertransaksi tanpa perlu bergantung pada uang tunai dan kartu.
Di sisi lain, Tiongkok menawarkan tantangan yang berbeda. Negeri Tirai Bambu memiliki kebijakan yang sangat ketat terkait perlindungan data dan keamanan transaksi. Meski demikian, tantangan ini dapat diatasi dengan pengaturan yang cermat antara bank sentral Indonesia dan Tiongkok.
Dengan menjalin kerja sama ini, kedua negara dapat memperkuat hubungan perdagangan sehingga membuka akses pasar baru bagi produk-produk Indonesia.
Sebagian besar diskusi soal QRIS antarnegara memang mengarah pada sektor pariwisata. Wajar, karena sektor ini langsung terdampak. Namun implikasi ekonominya jauh lebih luas.
Pertama, ada potensi besar bagi UMKM lokal untuk berdagang lintas negara. Jika sistem pembayaran antarnegara sudah terintegrasi, maka penjual batik di Pekalongan bisa menerima pembayaran dari pembeli di Osaka atau Shenzhen secara instan dan langsung dalam rupiah.
Kedua, ini membuka jalan untuk penggunaan mata uang lokal dalam transaksi antarnegara Asia.
Ketika QRIS memungkinkan konversi langsung antara rupiah, yen, atau yuan, maka ketergantungan terhadap satu mata uang global tertentu sebagai perantara dapat diminimalkan. Ini memperkuat kedaulatan moneter dan mengurangi risiko volatilitas eksternal.
Ketiga, efisiensi sistem pembayaran akan berdampak pada sektor lain—dari remitansi pekerja migran, pengiriman uang pelajar luar negeri, hingga e-commerce lintas batas. Sistem yang cepat dan murah menciptakan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi digital.
Langkah awal
Pepatah bijak Tiongkok berbunyi “Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah.” QRIS antarnegara mungkin hanyalah satu langkah kecil dalam peta besar ekonomi digital Asia.
Namun, ini adalah langkah yang tepat karena ia membuka ribuan langkah berikutnya: perdagangan lebih inklusif, wisata yang lebih praktis, dan UMKM yang lebih percaya diri menembus batas negara.
Sejarah membuktikan bahwa kerja sama ekonomi besar sering kali dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti pembayaran. Karena di ujung setiap transaksi, ada kepercayaan. Dan di balik setiap sistem pembayaran, ada pilihan: apakah kita hanya ingin menjadi pengguna, atau juga menjadi pemain?
QRIS antarnegara bukan hanya tentang kemudahan. Ia adalah wujud diplomasi dompet—cara baru Indonesia hadir di panggung ekonomi global, bukan dengan bendera, tapi dengan kode QR yang menyala di layar ponsel kita.
Itu bukan mimpi. Itu masa depan yang sedang dibangun hari ini. Satu transaksi QRIS di Tokyo atau Shanghai bisa menjadi simbol kecil dari perubahan besar yang akan datang. Dan Indonesia sudah memilih untuk tidak hanya menonton, tapi ikut bermain.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 11 Juni 2025
May 17, 2025 | On Self-Productivity
Satu hal yang sering membuat kita—terutama para manajer dan profesional muda—merasa tidak percaya diri adalah ketika melihat riwayat pekerjaan atau pengalaman karier yang tampak tidak linier. Berpindah-pindah pekerjaan, lintas industri, bahkan ganti bidang beberapa kali. Rasanya seperti tidak punya arah yang jelas.
Namun jangan khawatir. Buku Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World karya David Epstein hadir seperti segelas kopi panas di pagi yang dingin—menenangkan dan membuka mata.
Buku ini adalah pembelaan yang kuat untuk orang-orang yang tidak menempuh jalur spesialisasi tunggal, tetapi justru memiliki beragam pengalaman lintas bidang. Jika kamu pernah merasa, “Mengapa aku belum menjadi ahli di satu hal pun?”, mungkin kamu bukan tersesat—kamu hanya sedang tumbuh sebagai seorang generalist.
Dua Jalan Menuju Keunggulan
Epstein memulai bukunya dengan dua tokoh besar: Tiger Woods dan Roger Federer.
Tiger sejak umur 2 tahun sudah memegang stik golf. Dididik secara intens oleh ayahnya. Fokus hanya pada satu bidang. Hasilnya: juara dunia dan legenda.
Federer? Masa kecilnya diisi dengan bermain basket, renang, badminton, bahkan skateboard. Bahkan ibunya sendiri mengatakan bahwa Federer adalah anak yang santai dan tidak terlalu ambisius. Namun pada akhirnya, dia juga menjadi salah satu atlet terbaik sepanjang masa di dunia tenis.
Apa pelajaran dari sini? Tidak semua kesuksesan lahir dari spesialisasi dini. Banyak orang justru berkembang melalui proses eksplorasi yang beragam.
Spesialisasi Itu Penting—Tapi Tidak Selalu Jawaban
Mungkin kamu pernah mendengar teori 10.000 jam dari Malcolm Gladwell—bahwa seseorang butuh latihan sebanyak itu untuk menjadi ahli. Teori ini berlaku di dunia dengan pola stabil seperti catur atau musik klasik.
Namun dalam dunia kerja saat ini, kamu sedang bermain di medan yang berbeda. Dunia kerja adalah wicked learning environment—lingkungan belajar yang tidak pasti, sering berubah, dan penuh ketidakjelasan. Hari ini kamu belajar strategi bisnis, besok sudah harus memahami UI/UX.
Di sinilah para generalis unggul. Mereka tidak hanya terbiasa dengan perubahan, tapi juga mampu menghubungkan banyak hal lintas bidang untuk menghasilkan solusi baru.
Kekuatan Seorang Generalist
Epstein menunjukkan bahwa banyak tokoh hebat bukan berasal dari jalur lurus, tapi dari perjalanan yang penuh belokan. Van Gogh sempat menjadi guru dan pengkhotbah sebelum melukis. Steve Jobs belajar kaligrafi tanpa tujuan karier yang jelas—dan justru itu yang membuat desain produk Apple begitu elegan.
Apa yang membuat seorang generalist menonjol? Ini beberapa kekuatannya:
- Pemikiran analogi lintas konteks. Generalis mampu menghubungkan hal-hal dari dunia yang berbeda dan menciptakan pendekatan baru. Seperti bagaimana desain pesawat terinspirasi dari sayap burung.
- Adaptasi cepat. Karena terbiasa melompat dari satu bidang ke bidang lain, generalis cenderung lebih cepat belajar dan menyesuaikan diri.
- Kemampuan menjadi jembatan antar tim. Generalis bisa bicara dengan bahasa teknis, tetapi juga bisa menjelaskan kepada tim bisnis. Mereka menjadi penghubung yang memudahkan kerja sama.
- Inovasi yang orisinal. Dengan sudut pandang yang lebih luas, generalis sering menemukan ide-ide segar yang belum terpikirkan oleh para spesialis.
Mengapa Perusahaan Masa Kini Butuh Generalist?
Di tengah disrupsi teknologi, perubahan regulasi, dan tekanan pasar, perusahaan butuh orang yang bisa berpikir fleksibel. Sayangnya, banyak perusahaan masih lebih menyukai spesialis dengan pengalaman panjang di satu bidang.
Padahal, studi menunjukkan bahwa organisasi yang membuka ruang untuk eksplorasi dan pengembangan lintas fungsi justru lebih inovatif.
IBM, misalnya, menemukan bahwa karyawan yang pernah berpindah antar divisi dan mencoba berbagai proyek memiliki performa yang lebih baik dalam jangka panjang. Mereka bukan yang paling ahli di satu hal, tapi mereka punya pemahaman menyeluruh dan mampu membuat keputusan lintas departemen.
Dunia kerja hari ini membutuhkan orang yang mampu menyambungkan titik, bukan hanya menggali lebih dalam di satu titik.
Kamu Tidak Terlambat—Kamu Sedang Melalui Masa Eksplorasi
Banyak dari kita merasa tertinggal karena belum tahu “panggilan hidup”, bahkan setelah bertahun-tahun bekerja. Tapi Range menjelaskan bahwa masa eksplorasi adalah fase yang sehat dan produktif.
Sama seperti Federer, banyak orang sukses justru berkembang setelah mencoba berbagai hal. Mereka menyusun pola dari pengalaman, lalu menemukan posisi terbaik untuk berkontribusi.
Jadi, jika saat ini kamu sedang berpindah dari marketing ke project management, lalu ke analitik—itu bukan kegagalan. Itu adalah proses pembentukan perspektif.
Lalu, apa yang bisa kamu lakukan?
- Ubah cara pandang terhadap pengalaman kariermu. Jangan malu memiliki pengalaman yang beragam. Ceritakan bahwa itu memberimu sudut pandang luas.
- Latih berpikir lintas disiplin. Baca buku dari topik yang jauh dari pekerjaanmu sekarang. Gabungkan logika bisnis dengan seni, desain dengan psikologi, teknologi dengan budaya.
- Ikut proyek lintas divisi. Ambil tantangan di luar deskripsi pekerjaanmu. Terlibat dalam proyek baru akan memperkaya cara kamu berpikir dan bekerja.
- Pilih jalur karier yang memberi ruang belajar horizontal. Karier tidak selalu tentang promosi jabatan. Kadang, memperluas wawasan jauh lebih berharga dari sekadar naik level.
Di Dunia yang Cepat Berubah, Fleksibilitas adalah Kekuatan
Dulu, menjadi “jack of all trades” dianggap kurang fokus. Tapi hari ini, menjadi generalist adalah keunggulan kompetitif.
Range mengingatkan kita bahwa tidak semua orang harus menjadi ahli sejak dini. Justru, mereka yang mengambil waktu untuk mengeksplorasi, gagal, belajar, dan menggabungkan pengalaman lintas bidang adalah mereka yang bisa menciptakan solusi paling relevan dan segar di masa depan.
Karier bukan perlombaan cepat. Bahkan bukan juga maraton. Dunia kerja hari ini lebih mirip parkour—kamu harus cekatan, fleksibel, dan siap berpindah arah tanpa jatuh.
Jadi, jika hari ini kamu masih bertanya, “Apa spesialisasiku?”, mungkin jawabannya adalah: kamu tidak punya satu, karena kamu punya range.
Dan itu bukan kekurangan. Itu kekuatanmu.
“Specialists tend to be good at solving the same problem repeatedly, but generalists are better at solving new problems.” – David Epstein
May 17, 2025 | Articles on Media
Ketika Google Maps pertama kali diluncurkan tahun 2005, kita hanya melihatnya sebagai peta digital. Tapi seiring waktu, ia menjadi lebih dari sekadar petunjuk arah. Ia mengajari kita membaca ritme kota, memprediksi kemacetan, bahkan merencanakan waktu berpindah dari satu titik ke titik lainnya.
Inovasi yang semula terlihat biasa, ternyata diam-diam mengubah cara manusia memaknai ruang dan waktu.
Kini, sejarah itu seperti berulang lewat implementasi QRIS. Ia telah hadir sejak lima tahun silam dengan wajah yang sangat sederhana: kode persegi dua dimensi di atas selembar kertas. Tidak ada layar sentuh, tidak ada tombol dan tidak ada suara. Tapi di balik kesederhanaannya, ia membawa misi besar bernama transformasi digital.
Pada mulanya QRIS dirancang untuk memudahkan transaksi. Pedagang tak perlu lagi menyiapkan beragam kode QR di meja kasir. Cukup satu kode QR untuk pembayaran semua bank dan dompet digital. Praktis, cepat, dan hemat.
Dan seiring berjalannya waktu, tidak ada yang menyangka kehadiran alat sederhana itu justru berkembang menjadi pintu pembuka bagi UMKM masuk ke dalam ekosistem digital.
Lompatan katak
Mereka mulai belajar mencatat transaksi, mengelola laporan keuangan, terkoneksi dengan aplikasi kasir digital, hingga memasarkan dagangannya di media sosial dan situs lokapasar.
Situasi ini lantas dikenal dengan istilah “lompatan katak” (leapfrog). Sebuah jargon kontemporer untuk menggambarkan kemampuan melompati tahapan pertumbuhan konvensional dengan bantuan teknologi.
Dulu, untuk bisa menjangkau pasar nasional, pelaku usaha harus membuka cabang, pasang iklan di media cetak, dan punya modal besar. Sekarang, cukup punya akun media sosial, ponsel pintar, dan QRIS.
UMKM yang tadinya hanya melayani tetangga sekitar, kini bisa melayani pembeli di luar kota, bahkan luar negeri dengan proses pembayaran yang mudah.
Tak ayal, UMKM dapat melompat langsung dari ekonomi informal ke ekosistem digital tanpa harus melewati fase menengah yang panjang. Inilah hakikat lompatan katak, yakni teknologi yang awalnya dirancang untuk efisiensi pembayaran menjadi pondasi transformasi struktural.
Pada skala makro, adopsi massal QRIS berkontribusi pada formalisasi usaha informal, perluasan basis pajak, dan percepatan inklusi keuangan.
Optimisme serupa kembali membuncah seiring peluncuran QRIS Tap pada Maret 2025. Dengan dukungan teknologi Near Field Communication (NFC), pengguna cukup menempelkan ponsel ke perangkat, dan transaksi terjadi dalam sekejap.
Meski usianya masih seumur jagung, nyatanya pengguna QRIS Tap tercatat mencapai 20,8 juta orang dengan volume transaksi mencapai 42,9 juta.
Sekilas, cara pembayaran kekinian ini terlihat hanya sebagai penyempurnaan teknis dari sistem QRIS yang sudah ada. Namun di balik itu, QRIS Tap sejatinya menyimpan potensi lebih dari sekadar memudahkan pembayaran.
Sektor transportasi publik dapat menjadi studi kasus menarik. Aspek kecepatan terbilang sangat krusial di area ini. Semakin deras laju transaksi, semakin lancar aliran penumpang.
Pengalaman banyak kota megapolitan di dunia mengajarkan bahwa kecepatan berpindah sama pentingnya dengan kecepatan internet. Ketika teknologi menyatu dengan alur hidup masyarakat urban, ia tak lagi sekadar alat bayar, tapi menjadi bagian dari infrastruktur kota modern.
Walau demikian, letak kekuatan QRIS Tap justu terletak pada sisi perolehan data. Setiap ketukan pada mesin pembaca menciptakan jejak digital sebagai indikator mobilitas harian warga.
Ia memberitahu jam berapa orang paling sering naik kendaraan umum. Ia mengungkap rute mana yang padat, mana yang sepi.
Implikasinya QRIS Tap memungkinkan sistem pengambilan kebijakan dapat bergerak dari berbasis asumsi menuju sistem berbasis bukti. Pemerintah bisa membaca pola mobilitas masyarakat secara langsung. Operator mampu menyesuaikan armada secara dinamis. Dan warga mendapat layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan nyatanya.
Enabling infrastructure
Ke depan, sangat mungkin data QRIS Tap akan terhubung dengan sistem perencanaan kota. Pemerintah bisa mengidentifikasi daerah yang kurang terlayani transportasi, mengatur tarif berdasarkan waktu, bahkan memberi subsidi yang lebih tepat sasaran.
Di titik inilah, QRIS Tap bukan cuma alat transaksi. Ia menjadi enabling infrastructure yang memampukan banyak hal lain tumbuh di atasnya.
Terminologi ini berarti infrastruktur yang tidak hanya menjalankan fungsi dasarnya, tetapi juga membuka ruang tumbuh bagi sistem lainnya.
Misalnya, jalan tol tidak hanya menghubungkan dua kota, tapi membentuk pusat ekonomi baru. Listrik bukan hanya menyalakan lampu, tapi memungkinkan munculnya industri.
QRIS Tap pun demikian. Ia membuka jalan, tak hanya bagi sistem transportasi yang lebih efisien, tapi juga bagi kota yang lebih cerdas.
Hari ini, tantangan transportasi publik bukan hanya pada soal tarif dan trayek, tetapi juga integrasi layanan. Pengguna ingin melihat posisi kendaraan umum, merencanakan rute, hingga memesan tiket transportasi secara daring.
QRIS Tap berpotensi menjadi simpul awal yang menghubungkan moda transportasi ke dalam ekosistem digital—dari pembayaran, data pengguna, hingga integrasi antarmoda.
Potensi QRIS Tap tentu tidak berhenti di halte atau stasiun. Ia bisa menjangkau lebih luas, menembus batas sektor transportasi menuju layanan publik lainnya. Bayangkan jika pembayaran retribusi parkir, tiket masuk kawasan wisata, hingga layanan administrasi di kantor pemerintah bisa dilakukan cukup dengan satu sentuhan.
Di sinilah kita melihat bagaimana QRIS Tap bisa menjadi tulang punggung kota cerdas yang tidak hanya efisien secara teknis, tapi juga inklusif secara sosial.
Pada akhirnya, Clayton Christensen, profesor di Harvard Business School mengatakan: “Inovasi yang berhasil bukan yang paling canggih, tapi yang paling banyak dipakai.” QRIS Tap memenuhi syarat ini.
Bukan karena ia dibangun dengan teknologi mutakhir, tapi karena ia menjawab kebutuhan paling dasar masyarakat: kemudahan, kecepatan, dan keterjangkauan dalam bertransaksi.
Maka dari itu, sangat tepat jika memosisikan QRIS Tap sebagai fondasi awal transformasi fasilitas publik yang lebih inklusif, efisien, dan terhubung.
Walau saat ini implementasinya masih terbatas, tapi seperti kata orang bijak: jangan meremehkan riak kecil, karena gelombang besar sering lahir dari riak kecil yang tak terlihat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 17 Mei 2025
May 7, 2025 | Articles on Media
Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh digitalisasi, tersimpan tantangan besar bernama kejahatan siber. Baru-baru ini publik dikejutkan dengan sebuah modus penipuan berupa penggunaan perangkat Base Transceiver Station (BTS) palsu.
Bareskrim Polri menyebut nominal kerugian akibat aksi ini mencapai ratusan juta rupiah Kejahatan ini menjadi ancaman serius dan memperlihatkan betapa pentingnya literasi digital.
Berbeda dengan kebanyakan kejahatan siber yang hanya berbasis perangkat lunak atau media sosial, BTS palsu tergolong kejahatan yang menggunakan perangkat keras berteknologi tinggi.
Pelaku menggunakan sistem IMSI Catcher yang mampu “menjebak” ponsel agar menganggapnya sebagai pemancar resmi dan menyisipkan pesan penipuan tanpa melewati jaringan operator.
Dengan sinyal kuat dan terarah, BTS palsu dapat menjangkau puluhan hingga ratusan ponsel di radius tertentu. Ketika korban menerima SMS seperti “Bank Anda akan memblokir akun ini, klik tautan untuk verifikasi,” mereka tidak menyadari bahwa pesan tersebut tidak pernah dikirim oleh operator atau bank yang sah.
Dampak kejahatan ini sangat nyata: masyarakat kehilangan dana, kepercayaan pada layanan digital menurun, dan reputasi lembaga finansial ikut terdampak. Penipuan ini tidak hanya menipu dompet, tetapi juga mengoyak rasa aman pengguna digital.
Modus operandi kejahatan siber sangat beragam. Setidaknya terdapat lima jenis praktik kecurangan yang paling sering terjadi.
Pertama, phishing atau upaya memperoleh informasi pribadi dengan menyamar sebagai pihak terpercaya. Modus BTS palsu memanfaatkan smishing (phising dalam versi berbasis SMS) secara langsung dengan membuat SMS seolah-olah berasal dari bank atau institusi resmi.
Kedua, malware dan ransomware. Malware (perangkat lunak berbahaya) dapat menginfeksi perangkat dan mencuri data tanpa sepengetahuan pengguna.
Di sisi lain, Ransomware, salah satu variannya, mengunci data korban dan meminta tebusan dalam bentuk uang kripto. Serangan ini banyak menyasar sektor pemerintahan dan layanan publik.
Ketiga, social engineering atau rekayasa sosial. Teknik manipulatif ini mengeksploitasi psikologis korban untuk mengungkapkan informasi penting, misalnya dengan berpura-pura menjadi customer service atau petugas bank.
Pelaku sering menggabungkan teknik ini dengan pesan yang menimbulkan kepanikan seperti “rekening Anda diblokir”.
Keempat, skimming atau pencurian data kartu debit atau kartu kredit dengan memakai alat rekam yang dipasang pada mesin ATM atau mesin gesek EDC. Seiring perkembangan teknologi, teknik ini berkembang juga ke ranah digital melalui pencurian data lewat situs tidak aman.
Kelima, penipuan investasi digital dan kripto. Meningkatnya popularitas kripto juga dimanfaatkan oleh pelaku penipuan yang menjanjikan imbal hasil tinggi tanpa risiko. Korbannya tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga generasi muda yang aktif digital namun kurang memahami risiko.
Kejahatan-kejahatan di atas kian membingkai fakta bahwa kejahatan digital bukan hanya masalah teknis, melainkan persoalan sistemik yang menyentuh aspek pelindungan konsumen dan literasi digital publik.
Pertahanan pertama
Kejahatan siber seperti BTS palsu menunjukkan bahwa ruang digital bukanlah tempat yang netral. Ia bisa menjadi arena produktivitas atau medan berbahaya tergantung pada kesiapan kita. Masyarakat yang tidak dilindungi dan tidak dibekali dengan literasi digital akan terus menjadi korban.
Literasi digital adalah benteng pertahanan pertama terhadap kejahatan digital. Semakin tinggi literasi digital masyarakat, semakin kecil kemungkinan mereka jadi korban penipuan.
Literasi digital bukan cuma soal teknologi, tapi soal bertahan hidup di era digital. Maka dari itu, penguatan literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan sebuah kewajiban.
Secara substansi literasi digital mencakup empat dimensi penting. Pertama, kecakapan informasi dengan memahami dan menilai validitas informasi digital.
Kedua, kesadaran keamanan digital, yaitu mengetahui risiko dari berbagi data pribadi, mengenali sinyal bahaya seperti tautan mencurigakan atau permintaan OTP.
Ketiga, etika digital dengan menjaga privasi, menghormati hak orang lain, dan tidak menyebar berita bohong.
Keempat, kemampuan memecahkan masalah digital. Mereka mengetahui langkah jika terkena penipuan, menghubungi pihak berwenang, dan menggunakan saluran pengaduan resmi.
Seseorang yang melek digital akan lebih berhati-hati dalam mengklik tautan yang mencurigakan, paham pentingnya autentikasi dua faktor (2FA), tidak mudah tergiur iming-iming hadiah dari nomor tidak dikenal, serta mengenali pola pesan yang mencurigakan.
Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat niscaya menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan digital.
Kementerian Kominfo menyebut indeks literasi Indonesia pada 2022 berada di angka 3,54 (dari skala 5). Hal ini menunjukkan bahwa masih tersisa banyak ruang bagi para pemangku kebijakan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Pelindungan Konsumen
Beragam upaya sejatinya telah dilakukan otoritas. Misalnya, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen Bank Indonesia.
Salah satu poin utamanya ialah literasi digital bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator, melainkan juga tanggung jawab industri sistem pembayaran.
Dalam kerangka ketentuan ini, pelaku industri diwajibkan untuk aktif memberikan edukasi kepada konsumen mengenai keamanan bertransaksi, perlindungan data pribadi, serta potensi risiko di dunia digital.
Dengan memperluas pemahaman konsumen, industri tidak hanya memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik yang menjadi fondasi keberlanjutan ekosistem pembayaran digital.
Seiring makin banyaknya produk dan layanan pembayaran berbasis teknologi, pemahaman masyarakat tentang konsep keamanan transaksi digital menjadi sangat mendasar.
Berbagai program edukasi, kampanye publik, hingga kolaborasi dengan komunitas lokal digalakkan untuk memperkenalkan risiko siber, serta memahami hak dan kewajiban sebagai pengguna sistem pembayaran.
Langkah ini menjadi kunci dalam mewujudkan tujuan yang lebih besar, yaitu menciptakan ekosistem pembayaran yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan masyarakat yang melek digital, penggunaan layanan pembayaran digital dapat tumbuh sehat, memperluas akses keuangan, dan mempercepat transformasi ekonomi nasional.
Sinergi antara regulator dan industri ini mencerminkan komitmen bersama untuk tidak hanya membangun teknologi, tetapi juga kepercayaan dan kesiapan masyarakat dalam memasuki era ekonomi digital.
Sebab pada akhirnya tidak ada teknologi yang benar-benar aman tanpa manusia yang benar-benar paham cara menggunakannya.
Oleh karena itu, sangatlah tepat jika mengibaratkan literasi digital layaknya vaksin sosial terhadap kejahatan siber.
Seperti halnya vaksin yang melatih tubuh melawan virus, literasi digital melatih nalar dan kewaspadaan kita terhadap ancaman di dunia maya.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 7 Mei 2025
Apr 30, 2025 | On Self-Productivity
Di dunia yang serba cepat, instan, dan penuh distraksi, mudah bagi kita—para profesional muda dan manajer—untuk merasa seperti terus berlari tapi tak kunjung sampai. Kita sibuk setiap hari, menghadiri rapat, mengejar tenggat waktu, menjawab email tanpa akhir.
Namun, diam-diam kita bertanya dalam hati: “Apakah semua ini benar-benar membawaku lebih dekat ke impianku?”
Buku The Long Game: How to Be a Long-Term Thinker in a Short-Term World karya Dorie Clark hadir sebagai tamparan lembut sekaligus panduan konkret. Buku ini bukan hanya tentang strategi karier, tapi tentang membentuk pola pikir jangka panjang yang bisa mengubah hidup Anda selamanya.
Mengapa Banyak Profesional Terjebak?
Kita hidup di era instan. Target kuartal. Promosi cepat. Like dan views yang viral. Semua orang ingin hasil sekarang. Akibatnya, kita terjebak di dalam kesibukan tanpa strategi.
Seperti kata Clark:
“Terlalu banyak dari kita menghabiskan hidup mengikuti jejak orang lain, bukannya menyusun jejak kita sendiri.”
Kita sibuk merespons permintaan, mengejar target mingguan, dan menyenangkan semua orang. Tapi kita lupa: apakah semua itu benar-benar membawa kita ke tujuan jangka panjang kita?
1. Ciptakan Ruang Kosong
Strategi tidak lahir dari kalender yang penuh. Clark percaya bahwa kesempatan strategis hanya muncul jika kita memberi ruang untuk berpikir. Ruang ini bukan “me time” biasa. Ini adalah thinking time—waktu yang kamu sengaja sisihkan untuk mengatur ulang arah hidupmu.
Coba lihat kalendermu minggu ini. Apakah ada waktu kosong? Jika tidak, kamu mungkin sedang terlalu sibuk untuk sadar bahwa kamu sedang melenceng dari arah.
Solusinya sederhana: blokir satu jam seminggu hanya untuk berpikir. Matikan notifikasi. Ambil jurnal. Tanyakan pada dirimu sendiri:
- Apakah proyek yang sedang aku kerjakan saat ini mendukung karier impianku 5 tahun ke depan?
- Apa satu hal yang bisa aku ubah minggu ini agar lebih dekat ke tujuan jangka panjang?
Ini bukan buang-buang waktu. Ini investasi strategi.
2. Kesabaran Adalah Kekuatan Kompetitif
Dalam dunia yang mengejar viral dan instan, berpikir jangka panjang bisa terasa lambat. Tapi Clark membalik cara pandang itu: justru mereka yang berpikir jauh ke depanlah yang akan bertahan dan unggul.
Ia menyebut konsep ini sebagai strategic patience—kesabaran strategis. Artinya, kamu tetap bergerak, tapi dengan arah yang jelas. Kamu tidak panik karena belum dilihat hari ini, karena kamu tahu dampak jangka panjang sedang kamu bangun.
Contohnya? Seorang manajer muda yang rutin menulis insight di LinkedIn, mungkin diabaikan setahun pertama. Tapi di tahun ketiga, ia diundang jadi pembicara, direkrut headhunter, atau diminta memimpin divisi baru. Itu bukan keberuntungan. Itu kekuatan bermain panjang.
3. Tujuan Tetap, Jalan Fleksibel
Clark mengingatkan kita bahwa berpikir jangka panjang bukan berarti keras kepala dengan satu cara.
Kamu bisa punya mimpi besar—menjadi direktur, membangun bisnis sendiri, menjadi thought leader di bidangmu. Tapi bisa saja jalannya berliku. Mungkin kamu harus pindah tim, rotasi jabatan, atau bahkan pindah industri. It’s okay.
Yang penting, tujuanmu tetap.
Dia menyebut ini opportunistic adaptation—kemampuan untuk fleksibel tanpa kehilangan arah. Dunia kerja berubah cepat. Yang bisa bertahan adalah mereka yang tidak terlalu kaku dalam cara, tapi sangat jelas dalam visi.
4. Katakan “Tidak” Lebih Sering
Clark menulis tajam: “Being busy isn’t a badge of honor. It’s a sign that you’re out of control.”
Kita sering merasa bangga kalau kalender penuh. Tapi sadarkah kamu, semakin sibuk kamu tanpa tujuan jelas, semakin besar kemungkinan kamu hanya mengisi hidup orang lain—bukan hidupmu sendiri?
Belajar berkata “tidak” adalah keterampilan penting untuk bermain panjang.
- Tolak proyek yang tidak relevan dengan arahmu.
- Delegasikan tugas operasional jika memungkinkan.
- Jangan terjebak menjadi orang yang bisa semuanya, tapi tidak dikenal untuk apa pun.
Setiap kali kamu berkata “ya” untuk hal yang tidak penting, kamu sedang berkata “tidak” pada masa depanmu.
5. Bangun Kredibilitas Secara Bertahap
Salah satu kesalahan terbesar profesional muda adalah terlalu fokus kerja keras tanpa membangun citra dan jaringan.
Clark tidak menyuruh kita menjadi “pencitraan”. Tapi dia menunjukkan betapa pentingnya membangun otoritas personal. Bagaimana caranya?
- Tulis pemikiranmu di LinkedIn atau blog pribadi.
- Berani tampil dan bicara di rapat.
- Buat mini project yang menunjukkan kompetensimu.
Kalau kamu dikenal untuk sesuatu, maka kamu akan jadi top of mind saat peluang datang. Reputasi jangka panjang tidak dibangun dengan kehebohan. Tapi dari konsistensi dan kontribusi kecil yang terus-menerus.
Dari Target ke Tujuan: Saatnya Ubah Pola Main
Kita terbiasa mengejar target. Tapi target bisa membutakan kita dari tujuan sebenarnya.
The Long Game mengajak kita untuk mulai bermain dengan tujuan. Bukan hanya mengejar hasil, tapi juga makna.
3 langkah untuk memulai “Permainan Panjang” hari ini
1. Tuliskan karier impianmu 5 tahun ke depan. Bukan posisi semata, tapi kontribusi seperti apa yang ingin kamu tinggalkan? Nilai apa yang ingin kamu bawa?
2. Audit kalendermu. Apakah 20% waktumu minggu ini kamu habiskan untuk sesuatu yang mendekatkanmu ke visi itu? Jika belum, ubah.
3. Mulai bangun kredibilitasmu hari ini. Tidak harus besar. Tulis insight-mu di LinkedIn, mulai mentoring rekan baru, atau ambil kursus yang mendukung bidangmu.
Menang di Akhir, Bukan Hanya Menang Hari Ini
Ingat, karier bukan sprint. Ini marathon. Bahkan mungkin ultra-marathon.
Dan seperti yang dikatakan Dorie Clark:
“Jangan biarkan urgensi hari ini mencuri masa depanmu.”
Main panjang memang melelahkan. Tapi begitu kamu menang, kamu menang dengan utuh. Kamu tidak hanya naik jabatan—kamu membangun kehidupan yang sesuai dengan nilaimu, misimu, dan dampakmu.
“When you build a reputation over time, you don’t need to chase opportunity. It comes looking for you.” – Dorie Clark
Apr 24, 2025 | On Self-Productivity
Apakah kamu pernah merasa sudah bekerja keras, tetapi hasilnya belum sebanding dengan usaha yang kamu keluarkan? Kamu lembur, ikut semua rapat, ambil semua proyek, tapi kariermu seperti jalan di tempat. Jika iya, kamu tidak sendiri. Banyak profesional muda yang terjebak dalam jebakan “sibuk yang semu”.
Morten T. Hansen, profesor manajemen dari University of California, melakukan studi mendalam terhadap lebih dari 5.000 profesional lintas industri. Hasil risetnya terangkum dalam buku Great at Work: How Top Performers Work Less and Achieve More. Intinya sederhana, tapi menggugah: bekerja lebih cerdas jauh lebih penting daripada bekerja lebih keras. Dan bekerja cerdas punya polanya.
Dalam artikel ini, kita akan membedah 7 prinsip utama dari buku Great at Work yang bisa kamu terapkan langsung untuk melesatkan karir tanpa harus mengorbankan waktu dan kesehatan mental.
1. Do Less, Then Obsess
Alih-alih mengejar banyak hal sekaligus, para top performer justru memilih sedikit hal penting, lalu mengerjakannya secara obsesif. Mereka tidak multitasking membabi buta. Mereka fokus.
Mengapa ini penting? Dalam riset Hansen, mereka yang bekerja dengan fokus tinggi pada sedikit prioritas bisa meningkatkan kinerja mereka hingga 25% lebih baik dibanding yang tersebar di banyak hal. Prinsip ini menantang budaya “selalu sibuk” yang justru membuat hasil jadi rata-rata.
Misalnya, jika kamu manajer proyek, alih-alih mengejar 5 inisiatif sekaligus, fokuslah pada 1-2 proyek yang paling strategis, lalu berikan perhatian 100% — dari kualitas tim, timeline, sampai ke detail eksekusi.
Prinsip ini juga menuntut keberanian untuk berkata “tidak”. Banyak dari kita takut melewatkan peluang, padahal terlalu banyak proyek justru membuat kita gagal total. Kuncinya adalah menyusun prioritas berbasis dampak.
Untuk bisa melakukan ini, kamu perlu pemahaman mendalam atas apa yang paling penting bagi organisasi dan peranmu. Tanya: Apa hal utama yang hanya kamu yang bisa kerjakan dan berdampak besar?
Hansen menyarankan agar kita tidak hanya menyaring, tapi juga menggali dalam. Ketika sudah memilih satu prioritas, kita perlu memperdalam pengetahuan, meningkatkan standar kualitas, dan mengeliminasi gangguan agar hasilnya benar-benar unggul.
2. Redesign Your Work
Top performer tidak hanya menerima pekerjaan apa adanya. Mereka mendesain ulang pekerjaannya agar lebih efektif dan bermakna.
Bayangkan kamu seorang Sales Executive. Daripada sekadar mengejar kuantitas klien baru, kamu bisa merancang ulang pendekatanmu: fokus pada segmen dengan potensi tertinggi, buat sistem follow-up yang efisien, dan bangun relasi jangka panjang.
Dengan mendesain ulang pekerjaan, kamu menghilangkan kegiatan yang tidak bernilai dan menggantinya dengan aktivitas yang berdampak besar. Ini bukan soal bekerja lebih lama, tapi bekerja lebih cerdas.
Sering kali kita terjebak dalam rutinitas tanpa pernah mempertanyakan: apakah cara kerja kita saat ini benar-benar optimal? Top performer bertanya: “Bagaimana saya bisa menghasilkan output 2x lipat dengan cara yang berbeda?”
Ini bisa berarti mengatur ulang jadwal kerja, mengadopsi tools digital, atau bahkan mendistribusikan ulang tanggung jawab tim. Perubahan ini tidak harus besar, tapi harus tepat sasaran. Prinsipnya adalah kerja harus mendatangkan nilai. Jika tidak, ubah caranya.
3. Don’t Just Learn, Loop
Belajar tidak berhenti saat kamu selesai kuliah. Namun belajar yang efektif bukan hanya soal membaca buku atau ikut pelatihan, melainkan menciptakan learning loop — siklus belajar, praktik, refleksi, dan perbaikan.
Top performer tidak puas hanya “tahu”. Mereka menguji, gagal, mengevaluasi, lalu mencoba lagi dengan cara lebih baik. Mereka belajar sambil jalan, bukan hanya dari teori.
Contohnya, saat kamu mencoba teknik presentasi baru di depan klien. Setelah presentasi, kamu luangkan waktu untuk mengevaluasi: bagian mana yang membuat klien tertarik? Di mana audiens mulai kehilangan fokus? Apa yang bisa diperbaiki minggu depan?
Proses refleksi ini adalah kunci peningkatan berkelanjutan. Hansen menemukan bahwa orang yang rutin melakukan refleksi setelah bekerja punya peningkatan kinerja hingga 22% dibanding yang tidak.
Buat jadwal refleksi mingguan. Tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang saya pelajari minggu ini? Apa yang akan saya ubah minggu depan?”
Dengan membangun learning loop, kamu menjadikan pekerjaan sebagai ruang eksperimen yang mempercepat kemajuanmu.
4. P-Squared (Passion and Purpose)
Banyak orang bicara soal passion. Tapi Hansen menunjukkan bahwa passion saja tidak cukup. Kamu juga butuh purpose — alasan mengapa kamu melakukan pekerjaanmu.
Passion membuat kamu bersemangat. Tapi purpose memberikan makna. Ketika keduanya bersatu, kamu punya energi jangka panjang.
Top performer dalam studi Hansen adalah mereka yang tidak hanya mencintai pekerjaannya, tapi juga merasa pekerjaan mereka punya dampak positif pada orang lain.
Misalnya, kamu seorang Product Manager. Passion-mu mungkin soal teknologi. Tapi purpose-mu adalah membantu pengguna menyelesaikan masalah hidup mereka dengan solusi digital yang sederhana.
Gabungan passion dan purpose membuat kamu tahan banting saat pekerjaan jadi berat. Kamu tidak mudah menyerah karena kamu tahu apa yang kamu lakukan penting.
Jika kamu belum menemukan keduanya, tanyakan ini: Apa bagian dari pekerjaanmu yang paling membuatmu hidup? Dan siapa yang kamu bantu dengan hasil kerjamu?
5. Forceful Champions
Ide cemerlang tidak akan berdampak jika kamu tidak bisa meyakinkan orang lain. Top performer adalah forceful champions — mereka mendorong ide penting dengan cara yang persuasif.
Hansen menunjukkan bahwa performa tinggi bukan hanya soal kerja individu, tapi juga bagaimana kamu membawa ide melintasi organisasi.
Kamu butuh strategi pengaruh. Bukan berarti manipulatif, tapi mampu membangun aliansi, bicara dalam bahasa yang dimengerti pemangku kepentingan, dan berani menyuarakan ide meski belum populer.
Contohnya, saat kamu punya ide efisiensi biaya, jangan langsung pitching ke atasan. Bangun dulu dukungan dari rekan kerja, cari data pendukung, lalu ajukan dengan kerangka dampak bisnis.
Forceful champions juga tahu kapan bersikap fleksibel dan kapan harus berdiri teguh. Mereka membaca kontek s dan menyesuaikan pendekatan. Dengan keterampilan ini, kamu bukan hanya menjadi eksekutor, tapi juga agen perubahan.
6. Fight and Unite
Kolaborasi tidak selalu mulus. Top performer tahu bahwa konflik sehat adalah bagian penting dari tim hebat. Mereka berani menyuarakan pendapat, tapi juga tahu kapan harus menyatukan suara. Hansen menyebutnya Fight and Unite: bertarung untuk ide, lalu bersatu untuk eksekusi.
Dalam tim, sering terjadi ketidaksepakatan. Yang membedakan top performer adalah cara mereka mengelola ketegangan itu menjadi diskusi produktif, bukan drama.
Mereka menciptakan ruang aman untuk debat ide, saling menghargai perbedaan, dan tetap fokus pada tujuan bersama.
Setelah diskusi selesai, mereka menyatukan barisan dan menjalankan keputusan dengan komitmen penuh, meskipun bukan ide mereka yang dipilih.
7. The Two Sins of Collaboration
Kolaborasi sering dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam dunia kerja modern. Namun, Morten Hansen memperingatkan bahwa kolaborasi yang tidak tepat justru dapat menjadi jebakan. Ia menyebut ada dua dosa utama dalam kolaborasi: under-collaboration dan over-collaboration.
Under-collaboration terjadi saat seseorang bekerja terlalu terisolasi. Mereka enggan meminta bantuan, tidak berbagi informasi, dan jarang melibatkan pihak lain, bahkan ketika kolaborasi akan mempercepat atau memperkaya hasil kerja. Ini bisa membuat pekerjaan menjadi lambat, tidak relevan, atau kehilangan dukungan dari rekan kerja.
Di sisi lain, over-collaboration juga berbahaya. Ini terjadi ketika terlalu banyak orang dilibatkan dalam sebuah proyek, terlalu banyak rapat, terlalu sering diskusi tanpa keputusan, dan energi tim terpecah karena koordinasi yang berlebihan. Hasilnya? Pekerjaan jadi lambat, membingungkan, dan melelahkan secara emosional.
Profesional hebat tahu bahwa kolaborasi bukan soal banyaknya orang yang terlibat, melainkan soal relevansi dan nilai tambah. Mereka mampu mengidentifikasi kapan kolaborasi dibutuhkan, dengan siapa, dan dalam porsi yang tepat.
Contohnya, seorang manajer proyek yang cerdas tidak mengundang seluruh divisi untuk ikut serta dalam setiap rapat. Ia hanya melibatkan stakeholder yang relevan, menetapkan tujuan yang jelas, dan membatasi waktu rapat agar tetap produktif.
Hansen menyimpulkan bahwa kolaborasi yang efektif ditandai dengan adanya batas yang sehat: cukup terbuka untuk ide dan sinergi, namun cukup selektif agar tetap fokus dan efisien.
Saatnya Bekerja Lebih Cerdas, Bukan Lebih Lama
Riset Morten Hansen mematahkan banyak mitos tentang kerja keras. Ternyata, kerja hebat bukan soal lembur, multitasking, atau hadir di semua rapat. Justru mereka yang memilih dengan cermat, menyederhanakan cara kerja, terus belajar secara reflektif, dan mampu berkolaborasi dengan tepatlah yang melesat jauh dalam kariernya.
Buku Great at Work bukan hanya panduan untuk menjadi lebih produktif, tapi juga ajakan untuk bekerja dengan makna. Dalam dunia kerja yang makin kompleks dan kompetitif, kamu tidak harus bekerja lebih lama. Kamu hanya perlu bekerja dengan lebih bijak.
Mulailah dari satu prinsip. Pilih satu dari tujuh yang paling relevan dengan tantanganmu saat ini. Terapkan selama sebulan, lalu evaluasi. Karier hebat dibangun dari perubahan kecil yang dilakukan dengan konsisten.
“Top performers work smarter and with greater focus. They obsess over the few things that matter and execute them flawlessly.” — Morten T. Hansen
Apr 19, 2025 | On Self-Productivity
Bayangkan karirmu seperti papan catur. Setiap langkah menentukan hidupmu beberapa tahun ke depan. Tapi kenyataannya, banyak dari kita menjalani karir seperti pemain catur amatir—bergerak tanpa arah, bereaksi alih-alih merencanakan.
Itulah mengapa Patrick Bet-David, seorang imigran asal Iran yang membangun kerajaan bisnisnya di Amerika Serikat, menulis buku Your Next Five Moves—sebuah panduan strategis yang membantumu berpikir seperti grandmaster catur dalam permainan karir dan kehidupan.
Kalau kamu sedang bertanya, “Langkah besar apa yang harus aku ambil setelah ini?” maka buku ini akan menjawabnya dengan gamblang dan menggugah. Bukan dengan motivasi kosong, tapi dengan strategi konkret dan cerita nyata.
Move #1: Ketahui Siapa Dirimu
Langkah pertama dalam permainan ini bukan soal CV atau posisi, tapi soal identitas. Siapa kamu sebenarnya? Apa yang paling kamu inginkan? Apa nilai yang kamu pegang?
Banyak profesional gagal bukan karena kurang pintar, tapi karena mereka menjalani hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Mereka menjadi versi “ideal” yang diharapkan oleh orang tua, pasangan, atau masyarakat, tanpa pernah benar-benar mengenali diri sendiri.
Kita perlu menjawab pertanyaan:
- Apakah kamu ingin menjadi eksekutif hebat atau pengusaha sukses?
- Apakah kamu lebih nyaman sebagai visioner atau pelaksana?
- Apakah kamu sedang mengejar kekayaan, pengaruh, atau makna?
Ada 4 tipe motivasi: advancement (naik jabatan), individuality (menjadi diri sendiri), madness (dorongan kuat untuk menang), dan purpose (tujuan hidup). Mengetahui ini akan membantumu memilih jalan yang paling pas untuk karirmu.
Move #2: Pahami Lawan atau Pesaing
Dalam dunia profesional, kamu bukan hanya menghadapi tantangan dari dalam dirimu, tapi juga dari luar—yaitu kompetitor. Ini bukan berarti kamu harus jadi orang licik atau penuh intrik, tapi kamu harus paham permainan.
Kamu perlu memahami bukan hanya siapa pesaingmu, tapi juga cara mereka berpikir, bekerja, dan mengomunikasikan pencapaian mereka. Observasi ini akan membantumu mengidentifikasi celah untuk unggul.
Pertanyaan penting:
- Siapa yang mengincar posisi yang sama denganmu?
- Apa kekuatan dan kelemahan mereka?
- Apa yang membuat kamu lebih unggul dan bagaimana kamu bisa menunjukkannya?
- Bagaimana kamu bisa berkontribusi lebih strategis agar diposisikan sebagai pemain kunci?
Dalam lingkungan kerja, ini bisa berarti kamu perlu memahami dinamika politik kantor, reputasi rekan kerja, dan arah kebijakan atasan. Ketika kamu tahu “siapa bermain di posisi mana,” kamu bisa menempatkan dirimu dengan lebih taktis.
Dengan memahami kompetisi, kamu bisa menyusun strategi yang tidak asal gerak. Kamu jadi bukan sekadar pemain, tapi pemikir permainan.
Move #3: Bangun Tim Hebat
Tidak ada grandmaster catur yang bermain sendiri. Dalam karir, kamu juga perlu tim yang tepat—mentor, kolega, bahkan staf yang mendukung pertumbuhanmu.
Patrick menekankan bahwa kesuksesan jangka panjang tak bisa dibangun di atas ego. Kamu harus belajar:
- Merekrut orang yang lebih pintar dari kamu
- Mendelegasikan pekerjaan yang bukan kekuatanmu
- Membangun kultur kepercayaan dan kejujuran
Bagi kamu yang masih di awal karir, ini berarti cari mentor yang tepat, temui role model, dan berhentilah merasa harus “sendiri”. Bangun lingkungan kerja dan relasi yang mempercepat pertumbuhanmu. Jika kamu terus dikelilingi orang yang salah, kamu akan kehabisan energi sebelum sampai tujuan.
Move #4: Kuasai Seni Persuasi
Kamu boleh punya visi hebat, tim solid, dan strategi jitu—tapi tanpa kemampuan menyampaikan dan meyakinkan, semuanya sia-sia.
Persuasi bukan hanya untuk sales. Dalam dunia kerja, kamu harus bisa:
- Meyakinkan atasan akan idemu
- Mempengaruhi rekan kerja untuk mendukung langkahmu
- Menginspirasi orang lain untuk percaya pada dirimu
Belajarlah framing, story building, dan cara membaca bahasa tubuh. Orang yang bisa negosiasi bukan hanya menang satu pertempuran—tapi memenangkan medan perang.
Move #5: Rencanakan Eksekusi
Ini bagian yang sering dilewatkan: eksekusi dengan disiplin. Banyak orang berhenti di ide besar, atau di niat kuat. Tapi tidak lanjut ke rencana aksi yang terukur.
Pertanyaan kunci:
- Apa 5 langkah kecil yang bisa aku lakukan minggu ini?
- Hambatan apa yang mungkin muncul dan bagaimana mengantisipasinya?
- Apa ukuran keberhasilan langkahku?
Jangan takut untuk mulai dari langkah kecil, asal terarah. Disiplin kecil setiap hari akan mengalahkan motivasi besar sesekali.
Jadilah Grandmaster dalam Karirmu Sendiri
Di akhir buku, Patrick mengajak kita untuk berhenti jadi pemain yang reaktif. Dunia ini penuh dengan orang yang sibuk, tapi tak strategis. Mereka “main aman”, padahal justru butuh keberanian untuk berpikir jangka panjang.
Setiap orang ingin sukses. Tapi hanya sedikit yang benar-benar merancang kesuksesannya dengan sadar. Sisanya hanyalah pemain catur yang berharap menang hanya karena lawan membuat kesalahan.
Buku Your Next Five Moves bukan hanya tentang strategi karir. Ini adalah ajakan untuk hidup dengan sengaja—berpikir jauh ke depan, menyusun langkah secara sadar, dan mengambil kendali atas arah hidupmu.
Jika kamu:
- Masih meraba arah karirmu…
- Merasa stuck dalam rutinitas…
- Atau sedang mempertimbangkan keputusan besar…
…maka buku ini seperti kompas di tengah kabut. Ia tidak memberimu jalan pintas, tapi membekalimu dengan cara berpikir yang akan membuatmu tak tergoyahkan.
Karir hebat tidak dibangun dari keberuntungan. Tapi dari keputusan yang jernih, tujuan yang jelas, dan keberanian untuk melangkah lebih jauh.
Hari ini, kamu punya pilihan. Tanyakan pada dirimu:
- Apa 5 langkah terpenting dalam hidup dan karirku saat ini?
- Sudahkah aku menyiapkan langkah ke-2, ke-3, bahkan ke-5?
- Ataukah aku masih sibuk menyelesaikan “langkah pertama” yang tak kunjung selesai?
Mulailah dari mengenali dirimu, pahami pesaingmu, bentuk timmu, kuasai seni persuasi, dan eksekusi rencanamu dengan disiplin. Karena ketika kamu menggabungkan kelima langkah itu, kamu bukan sekadar bermain dalam permainan karir—kamu menguasainya.
Ingat, dunia tidak menunggu mereka yang ragu. Dunia memberi jalan bagi mereka yang tahu ke mana mereka pergi.
Jadilah orang itu. Mulailah hari ini. Buat langkah berikutnya berarti.
“If you want to play at the highest level, start thinking like a grandmaster—not a pawn.” – Patrick Bet-David
Apr 17, 2025 | On Self-Productivity
Dalam dunia kerja yang makin kompetitif dan cepat berubah, banyak profesional muda terjebak dalam pola yang sama: datang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai arahan, lalu pulang dengan perasaan “cukup.” Tidak buruk, tapi juga tidak luar biasa. Mereka menjadi roda gigi dalam mesin besar perusahaan. Efisien, bisa diandalkan, tapi mudah tergantikan.
Namun Seth Godin, penulis sekaligus pemikir di bidang pemasaran dan kepemimpinan, menawarkan sudut pandang berbeda dalam bukunya Linchpin: Are You Indispensable?. Menurutnya, dunia tak butuh lebih banyak orang yang sekadar taat prosedur. Dunia butuh lebih banyak “Linchpin“—orang-orang yang tak tergantikan, yang membuat perbedaan nyata, dan yang mampu menyumbangkan nilai unik dalam setiap hal yang mereka kerjakan.
Apa Itu Linchpin?
Secara harfiah,Linchpin adalah sebuah pasak kecil di roda yang tampaknya sepele, tapi tanpanya roda bisa copot. Dalam konteks dunia kerja, Linchpin adalah mereka yang menjadi penghubung vital dalam sistem. Mereka tidak selalu punya jabatan tinggi, tapi perannya krusial. Mereka menyatukan tim, menyelesaikan masalah yang tidak ada dalam deskripsi pekerjaan, dan terus menciptakan makna di tengah rutinitas.
Di masa lalu, perusahaan memang mencari pekerja yang patuh dan bisa direplikasi. Tapi hari ini, yang bertahan dan bersinar adalah mereka yang membawa empati, kreativitas, dan inisiatif ke dalam pekerjaannya. Inilah kunci untuk menjadi tak tergantikan.
Dunia Sudah Berubah, Tapi Cara Kita Bekerja Belum
Godin menyampaikan bahwa sistem pendidikan dan dunia kerja modern masih dibangun untuk mencetak pekerja standar. Kita dilatih untuk mengikuti perintah, bukan membuat keputusan. Kita didorong untuk mencari aman, bukan memberi makna. Itulah mengapa banyak orang merasa stagnan dalam karier—karena mereka menjalani jalur aman yang tak pernah menantang potensi terbaik mereka.
Padahal, saat ini perusahaan justru mencari orang yang bisa:
- Menyelesaikan masalah tanpa menunggu perintah,
- Melihat peluang yang tidak terlihat,
- Memimpin bahkan tanpa jabatan.
Semua ini hanya bisa dilakukan jika kita memutuskan untuk menjadi Linchpin.
Musuh Terbesar Seorang Linchpin: Lizard Brain
Salah satu konsep paling terkenal dari Linchpin adalah “Lizard Brain”—istilah yang digunakan Godin untuk menggambarkan bagian otak purba kita yang bekerja berdasarkan rasa takut dan naluri bertahan hidup.
Lizard brain akan terus membisikkan hal-hal seperti:
- “Jangan berbeda, nanti kamu disalahkan.”
- “Ide kamu belum cukup bagus, simpan dulu.”
- “Kalau gagal, karier kamu bisa hancur.”
Lizard brain membuat kita:
- Menunda
- Menyerah pada keraguan
- Memilih zona aman
Dan inilah tantangan utama dalam menjadi Linchpin: melampaui ketakutan.
Ciri-Ciri Seorang Linchpin
1. Mereka Memberi Hadiah Lewat Karya
Bekerja bukan sekadar memenuhi kewajiban. Linchpin melihat hasil kerjanya sebagai “gift”—hadiah bernilai yang diberikan kepada rekan, klien, atau organisasi. Mereka menciptakan nilai emosional, bukan hanya fungsional.
2. Mereka Melampaui Deskripsi Kerja
Seorang Linchpin tidak hanya menyelesaikan to-do list. Mereka menciptakan hal yang bahkan tidak masuk ke dalam daftar. Mereka memperhatikan detail, mengisi celah yang tidak terlihat, dan menghubungkan orang-orang yang perlu terhubung.
3. Mereka Berani Berbeda
Ketaatan tanpa pemikiran kritis adalah musuh inovasi. Linchpin justru menciptakan ruang di mana kebaruan bisa tumbuh—dengan risiko ditolak, dikritik, bahkan gagal.
4. Mereka Menggerakkan Orang Lain
Linchpin tidak memerintah. Mereka memengaruhi. Mereka tidak hanya menyelesaikan pekerjaan, tapi juga membuat orang lain lebih baik dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Tak Lagi Menunggu Pengakuan
Linchpin tidak menunggu penghargaan, promosi, atau validasi eksternal untuk mulai berkontribusi lebih. Mereka memilih untuk membawa kelebihan mereka ke meja kerja setiap hari. Mereka menyadari bahwa nilai bukan ditentukan oleh gelar atau struktur organisasi, tapi oleh kontribusi nyata.
Inilah pembeda utama:
Orang biasa mengerjakan tugas. Linchpin menciptakan perubahan.
Sebagai eksekutif muda, kamu berada di fase karier yang menentukan. Ini adalah masa ketika kamu bisa memilih antara dua jalur:
- Jalur aman, dengan rutinitas yang nyaman tapi lambat berkembang, atau
- Jalur penuh tantangan, dengan peluang belajar, mencipta, dan memimpin tanpa harus menunggu “izin.”
Menjadi Linchpin bukan berarti kamu harus langsung jadi pemimpin besar. Tapi kamu bisa mulai dengan memperlakukan setiap tugas kecil sebagai panggung untuk menunjukkan kualitas dirimu. Cara kamu menanggapi email, cara kamu menangani rapat, hingga cara kamu membantu rekan kerja—itulah tempatmu mulai membangun reputasi sebagai orang yang berbeda dan dibutuhkan.
3 Langkah Menjadi Linchpin
Untuk kamu yang ingin langsung praktik, berikut tiga langkah sederhana yang bisa kamu mulai:
1. Lihat Pekerjaanmu Sebagai Karya Seni
Tanyakan pada dirimu sendiri:
“Bagaimana aku bisa membuat pekerjaan ini lebih manusiawi, lebih bermakna, dan lebih berdampak?”
Ubah presentasi biasa jadi pengalaman. Ubah laporan jadi cerita. Ubah koordinasi jadi kolaborasi.
2. Kirim Sebelum Sempurna
Jangan tunggu validasi atau perasaan siap. Kirim ide. Lontarkan gagasan. Ambil langkah. Godin menekankan pentingnya shipping—mengirimkan hasil kerja, bukan menyimpannya terlalu lama karena perfeksionisme.
3. Bangun Reputasi, Bukan Jabatan
Fokuslah membangun reputasi sebagai orang yang bisa diandalkan, berinisiatif, dan membawa energi positif ke dalam tim. Jadilah orang yang dirindukan saat tak ada, bukan hanya dilihat saat sedang kerja.
Dunia Butuh Orang Sepertimu
Godin tidak mengajarkan cara menjadi karyawan teladan. Ia mengajarkan cara menjadi pribadi yang punya agency, integritas, dan kekuatan untuk menciptakan dampak. Di dunia yang makin mudah berganti, mereka yang tidak tergantikan akan menjadi jangkar dari segala perubahan.
Jadi pertanyaannya:
Apakah kamu ingin menjadi Linchpin—atau hanya salah satu dari ribuan nama di database SDM perusahaan?
Pilihan selalu ada di tanganmu.
Dan perubahan itu dimulai bukan dari jabatan baru, tapi dari keberanian baru.
“You are not your resume, you are your work.” – Seth Godin
Apr 17, 2025 | Articles on Media
Kota Cerdas tidak hanya tentang gedung pencakar langit dan internet cepat. Konsep ini merujuk pada ekosistem yang saling terhubung, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik berkualitas.
Salah satu elemen penting di dalamnya adalah sistem pembayaran yang terintegrasi. Dalam konteks ini, QRIS TAP berpotensi menjadi katalis percepatan digitalisasi layanan kota.
QRIS TAP bukan sekadar varian baru dari fitur QRIS. Inovasi ini niscaya akan mengubah cara warga kota berinteraksi dengan layanan publik.
Didukung teknologi NFC (Near Field Communication), pengguna cukup mendekatkan ponsel ke mesin pembaca untuk menyelesaikan transaksi dalam hitungan detik. Keunggulan ini penting seiring gaya hidup kaum urban yang menuntut kecepatan layanan dan minim interaksi fisik.
QRIS TAP tidak hanya efisien secara teknis, tetapi juga sangat strategis. Sistem interoperabilitas yang dibangun memungkinkan QRIS TAP mudah diadopsi oleh berbagai penyedia layanan tanpa harus membangun infrastruktur dari nol.
Konfigurasi ini membuka peluang integrasi lintas sektor, seperti transportasi, parkir, fasilitas publik, perbelanjaan, hingga layanan administrasi pemerintah daerah.
Sektor transportasi publik menjadi kandidat utama first mover implementasi QRIS TAP dalam ekosistem Kota Cerdas. Terdapat dua pertimbangan utama, yaitu volume transaksi dan kecepatan akses.
Dalam sistem transportasi massal seperti bus dan kereta, aspek waktu tunggu terbilang sangat krusial. QRIS TAP hadir untuk menjawab tantangan ini dengan pemrosesan transaksi secara instan.
Secara historis, lebih dari satu dekade lalu membayar ongkos transportasi publik dengan uang tunai adalah satu-satunya pilihan. Di halte bus, penumpang harus menyiapkan uang pas, sementara kasir sibuk mencari uang kembalian.
Tak jarang, keterlambatan terjadi hanya karena proses ini. Fenomena serupa juga lazim dijumpai di stasiun kereta.
Lalu, kartu e-money (uang elektronik) hadir sebagai solusi. Dengan sistem ini, penumpang cukup menempelkan kartu ke mesin pembaca dan saldo otomatis terpotong sesuai tarif.
Proses ini memang lebih cepat dibandingkan uang tunai. Walau demikian, tidak sedikit pengguna baru menyadari saldo kartu tidak mencukupi saat sudah di depan gerbang masuk.
Menjawab tantangan tersebut, Bank Indonesia meluncurkan QRIS TAP. Sepintas cara kerja kartu e-money mirip dengan QRIS TAP. Namun, perbedaannya terletak pada inklusivitasnya.
Kartu e-money terkadang terbatas pada ekosistem tertutup dari penyedia layanan. Sebaliknya, QRIS TAP membuka akses lebih luas karena dapat digunakan pada berbagai aplikasi perbankan dan dompet digital.
Evolusi pembayaran di transportasi publik bukan semata-mata soal teknologi. Ini adalah tentang lompatan berkelanjutan demi meningkatkan efisiensi dan kenyamanan bagi pengguna.
Dengan kehadiran QRIS TAP, kita sedang menuju era di mana kemudahan perjalanan hadir dalam satu sentuhan.
Diadopsi luas
Sejak diperkenalkan pada 2019, QRIS terus menunjukkan tren kinerja yang mengesankan. Volume transaksi QRIS tetap tumbuh tinggi sebesar 163,32% pada Februari 2025 didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant.
Setali tiga uang, kartu e-money yangnotabene acap digunakan pada angkutan umum tercatat berjumlah 115 juta kartu pada Januari 2025.
Berkaca dari statistik tersebut, kita patut optimis QRIS TAP pada transportasi publik akan mudah diterima dan diadopsi secara luas. Apalagi peluang dan segmen pasarnya sangat besar.
Misalnya, jumlah penumpang MRT Jakarta sepanjang 2024 sebanyak 40,82 juta orang. Artinya, terdapat lebih dari 110 ribu orang yang menggunakan layanan ini setiap harinya.
Senada dengan data tersebut, Transjakarta mencatat ada 371,4 juta pelanggan pada 2024, dengan rata-rata lebih dari 1 juta pelanggan per hari.
Demikian pula, PT Kereta Commuter Indonesia menyebut volume pengguna commuter line (KRL) pada tahun lalu mencapai 374 juta orang.
Tesis di atas dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam teori difusi inovasi, Everett Rogers (1964) menyebut adopsi teknologi dipengaruhi oleh kemudahan penggunaan dan nilai tambahnya.
QRIS TAP memenuhi dua faktor itu. Implikasinya, QRIS TAP sangat potensial diadopsi cepat oleh masyarakat luas, terutama segmen pengguna awal dan mayoritas awal.
Menariknya, penerapan QRIS TAP di sektor transportasi publik juga sejalan dengan visi pemerintah. Asta Cita ketujuh mengamanatkan pemerintahan yang berbasis digitalisasi untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, inklusif, dan efisien.
Implementasi QRIS TAP sesungguhnya lebih dari sekadar soal efisiensi transaksi. Ia menjadi titik temu antara kebutuhan praktis warga kota dan strategi besar digitalisasi layanan publik.
Ketika pengguna angkutan umum mengakses layanan hanya dengan menempelkan ponsel, maka masyarakat sebenarnya sedang masuk ke dalam ekosistem transaksi berbasis identitas digital.
QRIS TAP membuka jalan bagi pemerintah daerah mengumpulkan data real-time yang akurat tentang perilaku ekonomi warganya.
Data ini bisa digunakan untuk menyusun kebijakan berbasis bukti yang lebih presisi. Misalnya, data transaski untuk analisis mobilitas perkotaan, perencanaan infrastruktur, serta pengembangan kebijakan transportasi yang lebih efektif.
Potensi QRIS TAP tentu tidak hanya terbatas pada sektor transportasi publik saja. Lebih dari itu, terobosan ini sejatinya menjadi langkah strategis dalam memperluas akseptasi pembayaran digital di sektor lain.
Pengalaman negara lain menunjukkan transportasi publik sering kali menjadi sektor pertama yang mengadopsi inovasi pembayaran digital sebelum meluas ke berbagai industri.
Berbagai layanan publik, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan hingga pembayaran retribusi pasar juga berpotensi besar dalam mengadopsi QRIS TAP.
Gol pamungkasnya ialah pedagang pasar tradisional dapat membayar retribusi hanya dengan menempelkan ponselnya ke mesin pembaca tanpa perlu repot menyiapkan uang kecil.
Efisiensi ini bukan hanya mempercepat proses, tetapi juga meningkatkan transparansi pendapatan daerah.
Dari perspektif makro, transformasi menuju Kota Cerdas bukan sekadar soal adopsi teknologi tinggi. Ini adalah tentang menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun kota yang lebih humanis.
Ketika pembayaran makin mudah, aktivitas ekonomi pun meningkat. Warga lebih nyaman, pedagang lebih untung, dan kota makin cerdas.
Pada akhirnya, saat ini kita hidup di era di mana kecepatan dan kenyamanan menjadi mata uang baru dalam interaksi ekonomi.
Oleh karena itu, eksistensi QRIS TAP harus dimaknai sebagai langkah kolektif untuk memperkuat fondasi sistem Kota Cerdas secara menyeluruh.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 17 April 2025
Apr 15, 2025 | On Self-Productivity
Selamat datang di kursi kepemimpinan yang baru! Sebuah babak penting dalam perjalanan karier telah dimulai. Rasanya seperti berdiri di tengah panggung besar dengan lampu sorot langsung ke wajah. Semua mata memandang, semua telinga mendengar.
Tapi di balik rasa bangga itu, ada juga suara kecil yang berbisik: “Kamu tahu harus mulai dari mana?”
Michael D. Watkins, seorang profesor dari Harvard, menyadari bahwa transisi ke peran baru—baik promosi internal maupun pindah ke organisasi baru—adalah masa paling krusial dalam karier seorang pemimpin. Ia menyebut 90 hari pertama sebagai “jendela emas“.
Lewat bukunya, The First 90 Days, Watkins menyusun semacam peta jalan untuk membantu para pemimpin baru menavigasi masa-masa kritis ini. Bukan teori kosong, tapi panduan penuh kesadaran, strategi, dan langkah konkret yang bisa langsung dipraktikkan.
Fase Persiapan: Melakukan “Self-Promotion” yang Strategis
Proses transisi kepemimpinan yang sukses dimulai jauh sebelum hari pertama kamu di kantor baru. Watkins memperkenalkan konsep “Promoting Yourself“, yang seringkali disalahartikan sebagai tindakan narsisistik.
Sebaliknya, ini adalah proses proaktif untuk mempersiapkan diri secara mental dan informasional. Ini melibatkan pemahaman mendalam tentang tuntutan peran baru, ekspektasi dari para pemangku kepentingan, dan mengelola transisi psikologis kamu sendiri.
Lakukan uji tuntas terhadap organisasi, pahami tantangan strategis yang dihadapi, dan identifikasi pemangku kepentingan kunci yang akan menjadi sekutu atau penentang potensial. Semakin komprehensif persiapanmu, semakin mulus kamu akan memasuki asimilasi ke dalam lingkungan baru.
Mempercepat Kurva Pembelajaran
Begitu kamu menginjakkan kaki di kantor baru, prioritas utamamu adalah “Accelerating Your Learning“. Jangan berasumsi bahwa pengalaman masa lalu akan secara otomatis relevan dalam konteks yang baru.
Bersikaplah seperti seorang pembelajar yang haus informasi. Aktif mendengarkan, mengajukan pertanyaan yang relevan, dan berusaha memahami model bisnis, budaya organisasi dan lanskap politik yang berlaku.
Identifikasi jaringan informal dan knowledge brokers—orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang “bagaimana sesuatu benar-benar bekerja” di lapangan. Investasikan waktu untuk membangun hubungan baik dengan mereka.
Menciptakan Dampak Awal
Untuk membangun kredibilitas dan momentum, kamu perlu menunjukkan bahwa kamu tidak hanya belajar, tetapi juga mampu menghasilkan hasil.
Strategi “Creating Early Wins” menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mengeksekusi proyek-proyek yang terlihat, bermakna, dan dapat dicapai dalam jangka waktu singkat.
Kemenangan-kemenangan awal ini akan membangun kepercayaan diri tim dan para pemangku kepentingan terhadap kepemimpinanmu, serta menciptakan momentum positif untuk inisiatif yang lebih besar di masa depan.
Membangun Aliansi Strategis
Kesuksesan kepemimpinan jarang dicapai sendirian. Watkins menekankan pentingnya “Building a Coalition“ dengan para pemain kunci di organisasi.
Ini melibatkan pemahaman tentang dinamika kekuasaan, mengidentifikasi sekutu, lawan dan mereka yang belum mengambil posisi. Bangun hubungan yang tulus, pahami kepentingan mendasar mereka, dan cari cara untuk menyelaraskan tujuanmu dengan tujuan mereka.
Koalisi yang kuat akan memberikan dukungan yang krusial dalam menghadapi tantangan dan mendorong perubahan.
Waspadai Sindrom “Terjun Langsung”
Kebanyakan manajer baru merasa perlu menunjukkan hasil secepat mungkin. Mereka datang, mendengarkan sepintas, lalu mulai membuat perubahan. Watkins menyebut ini sebagai “the action imperative“—dorongan untuk bertindak cepat.
Padahal, tanpa memahami konteks organisasi, kamu hanya akan jadi pembuat kebijakan yang salah arah. Jangan buru-buru. Luangkan waktu untuk diagnosa dulu: seperti apa budaya kerja di sini? Apa tantangan utamanya? Siapa influencer informal yang sebenarnya menentukan arah tim?
Navigasi Situasional: Memahami Konteks STARS
Watkins menyadari bahwa setiap transisi kepemimpinan terjadi dalam konteks yang unik. Kerangka kerja STARS (Start-up, Turnaround, Accelerated Growth, Realignment, Sustaining Success) membantu kamu mendiagnosis situasi yang kamu hadapi dan menyesuaikan strategi secara tepat.
- Dalam situasi Start-up, fokusnya adalah membangun sesuatu dari nol, membutuhkan keterampilan kewirausahaan dan toleransi risiko.
- Dalam situasi Turnaround, prioritasnya adalah membalikkan kinerja yang buruk, membutuhkan tindakan tegas dan kemampuan untuk membuat pilihan sulit.
- Dalam situasi Accelerated Growth, tantangannya adalah mengelola ekspansi yang cepat, membutuhkan skalabilitas dan keterampilan delegasi.
- Dalam situasi Realignment, fokusnya adalah mengubah arah organisasi yang mapan, membutuhkan keahlian manajemen perubahan dan keterampilan komunikasi.
- Dalam situasi Sustaining Success, prioritasnya adalah mempertahankan kinerja tinggi dan mencegah kepuasan diri membutuhkan inovasi berkelanjutan dan pengembangan bakat.
Dengan memahami konteks STARS yang relevan, kamu dapat menerapkan strategi yang paling efektif untuk mencapai tujuanmu.
Menerapkan 90 Hari Pertama
Membaca The First 90 Days hanyalah langkah awal. Kunci sebenarnya terletak pada kemampuan kamu untuk menginternalisasi prinsip-prinsipnya dan menerapkannya dalam tindakan nyata. Berikut adalah tiga langkah praktis yang dapat kamu ambil segera:
- Lakukan “Stakeholder Mapping” yang Komprehensif: Identifikasi semua individu dan kelompok yang memiliki kepentingan dalam kesuksesanmu. Peta ini harus mencakup tingkat pengaruh dan kepentingan mereka. Gunakan informasi ini untuk memprioritaskan upaya membangun koalisimu.
- Tetapkan “90-Day Action Plan” yang Terukur: Berdasarkan pemahamanmu tentang situasi dan tujuanmu, buat rencana tindakan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan terikat waktu (SMART) untuk 90 hari pertamamu. Rencana ini harus mencakup inisiatif pembelajaran, upaya membangun hubungan, dan proyek-proyek “early wins“.
- Cari “Feedback” Secara Aktif dan Bersikap Reflektif: Jangan menunggu hingga evaluasi formal untuk mendapatkan umpan balik. Secara proaktif cari masukan dari atasan, rekan kerja, dan anggota timmu. Luangkan waktu setiap minggu untuk merefleksikan pengalamanmu, mengidentifikasi apa yang berjalan dengan baik dan area mana yang perlu ditingkatkan. Continuous learning adalah kunci untuk sukses jangka panjang.
Menguasai 90 hari pertama adalah investasi strategis dalam kesuksesan kepemimpinanmu. Dengan memahami prinsip-prinsip dalam The First 90 Days dan menerapkannya secara proaktif, kamu dapat mempercepat transisi, membangun kredibilitas yang kuat, dan meletakkan dasar bagi kepemimpinan yang efektif dan berkelanjutan.
Jangan biarkan periode krusial ini berlalu tanpa arah. Jadikan buku ini sebagai panduanmu dan mulailah membangun warisan kepemimpinanmu sejak hari pertama.
“You have only ninety days to get up to speed and make an impact.” – Michael D. Watkins
Mar 24, 2025 | Articles on Media
Sejak diperkenalkan pada 2019, QRIS telah menjadi tulang punggung digitalisasi pembayaran di Indonesia. Kini, Bank Indonesia kembali menghadirkan terobosan dengan meluncurkan QRIS TAP (Tanpa Pindai).
Inovasi ini memanfaatkan teknologi NFC untuk memberikan pengalaman transaksi yang lebih cepat dan seamless. Cukup buka aplikasi, tempel gawai cerdas dan selesai. Sesederhana itu cara pembayaran kekinian ini.
Peluncuran QRIS TAP bukan sekadar penambahan fitur baru. Ini adalah bagian dari strategi besar untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran di Indonesia. Kecepatan dan kemudahan transaksi menjadi nilai tambah utamanya.
QRIS TAP memungkinkan pelaku usaha dari skala kecil hingga besar untuk menerima pembayaran secara lebih efisien. Di tengah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, QRIS TAP hadir sebagai solusi untuk mengurangi antrean di berbagai titik layanan.
Di sektor ritel, kasir supermarket dan minimarket bisa melayani pelanggan dengan lebih cepat. Alih-alih menunggu pembeli membuka aplikasi pembayaran dan memindai kode QR, transaksi bisa langsung dilakukan dengan satu sentuhan. Demikian pula pembayaran untuk sistem parkir elektronik, SPBU, hingga di vending machine.
Tidak hanya itu, QRIS TAP menciptakan level playing field bagi penyedia jasa pembayaran sehingga memiliki akses yang sama terhadap infrastruktur NFC. Hal ini memungkinkan lebih banyak pemain untuk berpartisipasi dalam ekosistem pembayaran digital tanpa harus membangun sistem eksklusif.
Sebelum kehadiran QRIS TAP, pembayaran berbasis NFC masih terbatas pada sistem eksklusif dari penyedia layanan tertentu dan hanya bisa digunakan dalam ekosistemnya sendiri. QRIS TAP hadir sebagai solusi yang menstandarisasi transaksi NFC agar bisa digunakan tanpa terikat dengan satu platform tertentu. Konfigurasi ini mirip dengan kondisi saat peluncuran QRIS pertama kali tujuh tahun silam.
Implementasi QRIS TAP akan dilakukan secara bertahap. Pada fase awal, QRIS TAP dapat digunakan di beberapa lokasi layanan transportasi, parkir, rumah sakit, serta ritel dan UMKM. Otoritas sistem pembayaran mencatat QRIS TAP saat ini sudah dapat digunakan di 2.353 merchant.
Pada fase selanjutnya, QRIS TAP akan diperluas ke seluruh stasiun MRT, Transjakarta, LRT, ticketing DAMRI, KRL, Teman Bus dan perluasan ke merchant lainnya.
Sebagaimana penggunaan QRIS pada umumnya, pengguna QRIS TAP tetap tidak dikenakan biaya transaksi. Biaya Merchant Discount Rate (MDR) dikenakan kepada merchant sebesar 0% untuk kategori Badan Layanan Umum (BLU) dan Public Service Obligation (PSO). Sementara itu, untuk merchant kategori lain dikenakan MDR QRIS sesuai skema yang berlaku.
Hal ini sejalan dengan dukungan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) terhadap Asta Cita dalam penyediaan infrastruktur transportasi yang murah bagi masyarakat, serta untuk terus meningkatkan penggunaan QRIS TAP di sektor transportasi.
Visi luhur ini didukung pula optimisme QRIS TAP yang akan mudah diadopsi masyarakat secara masif. Teknologi NFC sudah lazim ditemukan dalam ponsel cerdas yang beredar saat ini. Pengguna ponsel cerdas di Indonesia diproyeksikan mencapai 194,26 juta pada 2024.
Setali tiga uang, firma riset IDC menyebut penjualan ponsel cerdas di pasar domestik mencapai 40 juta unit atau tumbuh 15,5% pada 2024.
Cepat dan aman
Publik telah mengenal pembayaran berbasis NFC berbentuk kartu uang elektronik chip based (e-money). Misalnya Flazz (BCA), Brizzi (BRI), TapCash (BNI) dan sebagainya. Kartu ini marak digunakan dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pembayaran transportasi publik. Misalnya, pembayaran di ruas jalan tol maupun parkir di pusat perbelanjaan.
Sepintas penggunaan QRIS TAP mirip dengan kartu e-money. Pengguna tidak perlu mengetik nominal dan tidak perlu menunggu sistem membaca kode QR. Namun dari segi kecepatan, QRIS TAP membutuhkan waktu pemrosesan transaksi lebih singkat dibanding e-money.
Tidak hanya itu, keunggulan QRIS TAP juga terletak pada sistem keamanannya. Pertama, QRIS TAP terhubung langsung ke akun dompet digital atau rekening bank pengguna. Setiap transaksi harus melewati proses autentikasi, seperti sidik jari, pengenalan wajah, atau PIN.
Dengan demikian, meskipun pemilik kehilangan ponselnya, pihak lain tidak bisa menggunakannya untuk bertransaksi. Pemilik ponsel juga dapat segera memblokir akun dompet digital melalui layanan pelanggan atau aplikasi resmi.
Kedua, QRIS TAP menggunakan teknologi tokenisasi. Setiap transaksi menghasilkan kode unik yang hanya berlaku satu kali. Ini membuat sistem jauh lebih aman dibandingkan e-money yang menyimpan saldo secara statis di dalam kartu dan dapat digunakan kapan saja.
Ketiga, QRIS TAP lebih aman dari skimming. E-money rentan terhadap serangan skimming oleh perangkat NFC ilegal yang bisa mencuri data kartu saat berdekatan dengan alat pembaca yang tidak sah. Di sisi lain, QRIS TAP tidak memiliki risiko ini, karena setiap transaksi harus melalui proses otorisasi dan data tidak disimpan dalam bentuk yang bisa disalin dengan mudah.
Keempat, QRIS TAP juga mengurangi risiko QR code swapping, yaitu modus penipuan di mana kode QR milik merchant diganti dengan kode palsu yang mengalihkan pembayaran ke rekening lain. Dengan QRIS TAP, transaksi hanya bisa dilakukan dengan menempelkan ponsel ke terminal resmi, sehingga lebih sulit dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, QRIS TAP lebih aman dari serangan phishing yang sering menyasar pengguna pembayaran digital. Dalam sistem berbasis pemindaian QR, pengguna terkadang diarahkan ke halaman palsu yang meminta data pribadi atau kredensial akun pembayaran.
Dengan QRIS TAP, transaksi hanya bisa terjadi di terminal pembayaran resmi sehingga memitigasi kemungkinan pengguna tertipu oleh oknum pencuri.
Meskipun menjanjikan banyak kelebihan, namun QRIS TAP tidak ditujukan untuk menggantikan instrumen pembayaran lainnya. QRIS TAP sejatinya diposisikan untuk memperkaya opsi alat pembayaran masyarakat dalam bertransaksi. Pasalnya terdapat sejumlah skenario transaksi yang tidak bisa dilakukan melalui QRIS TAP.
Sebagai contoh, teknologi NFC dalam QRIS TAP mewajibkan transaksi dilakukan dalam jarak dekat secara fisik. Alhasil QRIS TAP tidak bisa digunakan untuk transaksi tanpa tatap muka atau penjualan daring.
Tidak hanya itu, QRIS TAP juga menuntut ketersediaan jaringan internet yang memadai. Sangat berbeda dengan kartu e-money yang dapat dioperasikan tanpa memerlukan koneksi internet yang kontinyu.
Dengan segala keunggulan yang ditawarkan, QRIS TAP berpotensi menjadi solusi pembayaran masa depan yang lebih cepat, aman, dan nyaman. Namun, keberhasilan QRIS TAP tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga dukungan regulasi dan ekosistem yang solid.
Bank Indonesia, Kementerian dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia akan bersinergi untuk memastikan kehandalan infrastruktur, keamanan yang optimal, serta edukasi yang merata bagi masyarakat. Dengan langkah yang tepat, QRIS TAP bisa menjadi salah satu pendorong utama transformasi digital di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 24 Maret 2025
Mar 3, 2025 | Articles on Media
Di era digital yang semakin berkembang pesat, akal imitasi (AI) telah menjadi katalis utama dalam transformasi industri perbankan. Salah satu implementasi paling menonjol adalah penggunaan asisten virtual berbasis AI yang mampu menggantikan layanan pelanggan konvensional. Sejumlah bank raksasa kini ikut berlomba-lomba menghadirkan fitur ini. Misalnya, Bank Mandiri (Mita), BRI (Sabrina) dan BCA (Vira).
Dengan dukungan teknologi pemrosesan bahasa alami (NLP) dan pembelajaran mesin (ML), asisten virtual mampu memberikan rekomendasi keuangan yang dipersonalisasi, membantu mengelola pengeluaran nasabah, dan mendeteksi potensi risiko finansial. Seiring algoritma yang terus berkembang, asisten virtual dapat memahami konteks pertanyaan nasabah dan menawarkan solusi yang lebih proaktif.
Secara historis industri keuangan memang sangat lekat dengan adopsi teknologi termutakhir. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya terdapat tiga tren besar yang mewarnai sektor perbankan tanah air. Ketiganya ialah kedatangan pemain financial technology (fintech), lahirnya bank digital dengan aplikasi super, dan peluncuran layanan berbasis AI sebagai game changer berikutnya.
Argumen ini sejalan dengan tesis yang ditulis Brett King dalam bukunya “Bank 4.0: Banking Everywhere, Never at a Bank”. Dalam bukunya, King membagi perjalanan transformasi industri perbankan menjadi empat fase. Bank 1.0 yang merepresentasikan metode perbankan tradisional. Bank 2.0 dimana elemen layanan mandiri, seperti mesin ATM mulai diperkenalkan.
Bank 3.0 ditandai dengan layanan perbankan berbasis aplikasi di gawai cerdas. Terakhir, Bank 4.0 ketika AI mampu memproyeksi kondisi masa depan berdasarkan pola transaksi nasabah sehingga rekomendasi yang diberikan lebih relevan. Inilah makna dari kutipan terkenal Bill Gates, “banking is necessary, banks are not.”
Faktanya AI tentu bukan hanya tren semata. Kalkulasi untung rugi menjadi motivasi utamanya. Operasional 24/7, respon cepat, personalisasi layanan dan efisiensi biaya merupakan sebagian kecil manfaat yang dapat dipetik.
Argumen ini turut didukung oleh laporan Citi Global Perspectives & Solutions bertajuk “AI in Finance: Bot, Bank & Beyond”. Studi ini menemukan adopsi AI dapat mendongkrak laba perbankan global sebesar US$ 170 miliar atau tumbuh 9% pada 2028. Alhasil, total laba perbankan global diprediksi mencapai USD 2 triliun, dari perkiraan USD 1,8 triliun jika tidak menggunakan AI.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa sebanyak 93% lembaga keuangan mengatakan AI meningkatkan keuntungan selama lima tahun ke depan. AI dapat meningkatkan produktivitas bank dengan mengotomatisasi tugas-tugas rutin, menyederhanakan operasi, dan memungkinkan karyawan untuk fokus pada aktivitas yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.
Segendang sepenarian kajian McKinsey berjudul “Building the AI bank of the future” menyebut banyak lembaga keuangan, termasuk perbankan telah memanfaatkan AI untuk mempercepat proses persetujuan pinjaman, otentikasi biometrik, dan asisten virtual. Implikasinya semakin banyak transaksi yang dilakukan melalui saluran digital, nasabah juga semakin terbiasa dengan kemudahan, kecepatan, dan layanan yang dipersonalisasi.
Selain itu, AI juga digunakan untuk meningkatkan keamanan perbankan, terutama dalam mendeteksi aktivitas mencurigakan dan pencegahan kejahatan siber. Dengan semakin banyaknya transaksi digital, bank perlu memastikan bahwa sistem mereka dapat mengidentifikasi pola anomali dan mencegah potensi serangan fraud secara real-time.
Berkaca pada fenomena di atas, tidaklah mengejutkan jika perbankan rela merogoh koceknya cukup dalam untuk membangun teknologi AI. Contohnya, Bank Central Asia yang mengalokasikan pengeluaran modal hingga Rp 8 triliun pada 2023 untuk pengembangan AI.
Setali tiga uang Statista mencatat belanja investasi untuk AI oleh sektor keuangan global mengalami pertumbuhan signifikan. Angkanya mencapai USD 35 miliar pada 2023 dan diproyeksikan meningkat hingga USD 126,4 miliar pada 2028. Nilai ini mengindikasikan pertumbuhan tahunan sebesar 29%.
Kotak hitam
Walau kehadirannya menjanjikan banyak keunggulan, harus diakui AI masih menyimpan sejumlah risiko. Sejumlah pakar menyebut AI ibarat “kotak hitam” (black box). Sistem AI sering kali beroperasi dengan cara yang tidak mudah dipahami oleh manusia. Kurangnya transparansi ini membuat sulit untuk menilai keandalan sistem AI, yang bermuara pada kekhawatiran tentang keakuratan hasil.
Karena sifatnya demikian, AI berisiko menghasilkan keputusan menyimpang tanpa disadari. Jika model AI dilatih dengan data historis yang mengandung bias, maka model tersebut dapat memperkuat ketidakadilan yang sudah ada.
Dalam penilaian kredit, misalnya, jika data masa lalu menunjukkan bahwa kelompok tertentu memiliki rasio gagal bayar lebih tinggi, AI bisa secara otomatis menolak permohonan tanpa pertimbangan faktor lain yang bersifat individual. Salah satu kasusnya ialah kartu kredit Apple Card yang diterbitkan oleh Goldman Sachs pada 2019 yang dituduh memberikan batas kredit lebih rendah kepada istri dibandingkan suami dengan profil keuangan serupa.
Untuk memitigasinya, perbankan harus memastikan bahwa data yang digunakan dalam pelatihan AI mencerminkan populasi yang lebih beragam dan netral. Audit algoritma secara berkala, serta intervensi manusia dalam pengambilan keputusan juga diperlukan untuk mencegah diskriminasi yang tidak disengaja.
Memang dalam skenario sederhana seperti pengecekan saldo rekening, AI dapat memberikan jawaban instan tanpa keterlibatan manusia. Namun, ketika nasabah menghadapi masalah kompleks, seperti pengajuan restrukturisasi kredit atau sengketa transaksi, peran pegawai bank masih sangat diperlukan. Interaksi langsung dengan manusia menawarkan aspek empati dan pemahaman konteks yang tidak bisa sepenuhnya direplikasi oleh AI.
Kepercayaan nasabah terhadap layanan berbasis AI juga menjadi tantangan tersendiri. Sebagian masyarakat masih ragu terhadap keandalan AI dalam mengelola keuangan, terutama terkait keamanan data dan transparansi keputusan. AI mungkin tidak selalu memberikan solusi yang sesuai dengan preferensi individu, sehingga potensi ketidakpuasan nasabah tetap ada.
Oleh karena itu, AI seyogyanya diposisikan sebagai alat untuk memperkuat layanan keuangan dan bukan pengganti manusia sepenuhnya. Bank yang mampu menyeimbangkan inovasi dan mitigasi risiko niscaya akan menjadi pemenang di era digital. Sebab, pada akhirnya, perbankan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kepercayaan.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 3 Maret 2025
Feb 19, 2025 | Articles on Media
Pemerintah telah mencanangkan Asta Cita sebagai peta jalan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Digitalisasi menjadi salah satu faktor kunci demi mewujudkan visi luhur ini. Implementasinya di sektor pemerintahan tidak terkecuali. Asta Cita ketujuh mengamanatkan pemerintahan yang berbasis digitalisasi untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, inklusif, dan efisien.
Diskursus digitalisasi di tubuh birokrasi semakin relevan saat ini. Di tengah beban fiskal yang membengkak, digitalisasi menjanjikan sebuah solusi untuk mendongkrak pendapatan pemerintah, khususnya di tingkat daerah.
Solusi itu bernama Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD). Sederhananya, ETPD adalah upaya mengubah transaksi pendapatan dan belanja Pemda dari cara tunai menjadi nontunai berbasis digital.
Secara historis topik ETPD sejatinya bukanlah barang baru. Langkah ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2021 pada awal Maret 2021. Bahkan pada tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri telah meminta seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemda wajib ditransaksikan secara non tunai.
Pembayaran transaksi nontunai dapat menggunakan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), cek, bilyet, giro, uang elektronik atau sejenisnya.
Dengan beralih dari sistem manual ke pembayaran digital, Pemda tidak hanya dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga mengoptimalkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Digitalisasi ini juga meminimalisir kebocoran anggaran dan mempercepat aliran dana ke kas daerah.
ETPD tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat. Dengan transaksi elektronik, proses pembayaran pajak, retribusi, dan layanan publik lainnya menjadi lebih cepat dan mudah. Masyarakat tidak perlu lagi antre panjang atau berurusan dengan prosedur yang berliku.
Di samping itu, ETPD juga dapat mendorong inklusi keuangan. Dengan semakin banyaknya transaksi yang dilakukan secara elektronik, masyarakat akan semakin terbiasa menggunakan layanan keuangan digital. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
Data implementasi ETPD terkini menunjukkan perkembangan signifikan. Hingga semester I 2024, sebanyak 480 Pemda telah masuk dalam kategori Digital, meningkat dari 449 Pemda pada Semester II 2023. Jumlah ini merepresentasikan 87,9% dari total 546 Pemda di Indonesia.
Kondisi ini seakan menegaskan dua pesan penting. Pertama, adopsi digitalisasi oleh Pemda sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kedua, optimisme seluruh Pemda naik kelas menjadi Digital kian membuncah seiring tren digitalisasi yang semakin ekspansif.
Keyakinan tersebut turut diperkuat oleh upaya bank sentral untuk mendukung program Pemerintah dalam mewujudkan Asta Cita. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran konsisten bersinergi dengan seluruh Pemda melalui wadah Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) untuk mempercepat implementasi ETPD.
Kartu Kredit Indonesia
Dalam Rapat Koordinasi Nasional P2DD tahun 2024 Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menguraikan tiga strategi utama untuk memperkuat ekosistem transaksi digital di daerah. Pertama, inovasi dan akseptasi digital dengan fokus pada pengembangan pembayaran digital oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), penguatan pelindungan konsumen, dan peningkatan literasi digital.
Salah satu langkah konkrit yang sudah dan akan terus digalakkan ialah adopsi Kartu Kredit Indonesia Segmen Pemerintah (KKI Pemerintah).
Saat awal peluncurannya pada Agustus 2022 KKI Pemerintah dikembangkan menggunakan mekanisme QRIS berbasis sumber dana kredit sehingga seluruh transaksi diproses di dalam negeri. Dalam perkembangannya, bentuk fisik KKI Pemerintah mulai diperkenalkan Mei 2023.
Layanan KKI Pemerintah terus diperkaya lewat kehadiran fitur pembayaran daring QRIS Merchant Presented Mode (MPM) pada Oktober 2023 dan Virtual Card Tokenization pada Agustus 2024.
Dengan berbagai fitur kekinian tersebut, transaksi KKI Pemerintah terus mengalami pertumbuhan eksponensial. Pada triwulan III 2024 nilainya mencapai Rp117,99 miliar atau naik 10 kali lipat dibandingkan triwulan II 2023 sebesar Rp10,82 miliar.
Dengan besarnya nilai anggaran belanja Pemda yang mencapai ratusan triliun, pintu akselerasi transaksi pembayaran menggunakan KKI Pemerintah masih terbuka lebar.
Oleh karena itu, strategi jangka pendek yang dapat ditempuh Pemda diantaranya mendorong percepatan penerbitan Peraturan Kepala Daerah tentang tata cara penggunaan KKI Pemerintah, serta memperluas ketersediaan kanal pembayaran, terutama QRIS dan EDC.
Kedua, penguatan infrastruktur sistem pembayaran yang modern dan terintegrasi sesuai standar internasional. Sebagai contoh, Bank Indonesia memperkuat ekosistem sistem pembayaran guna mendukung penyaluran bantuan sosial atau juga dikenal sebagai G2P (Government to Person) 4.0.
Kebijakan yang ditempuh antara lain akselerasi penggunaan QRIS dan BI-FAST serta menghubungkan bank dengan fintech melalui standar Open Application Programming Interfaces (Open API) pembayaran.
Langkah di atas akan memastikan dana bansos dapat ditransfer dengan cepat ke rekening penerima manfaat. Tidak hanya itu, dana tersebut dapat digunakan pada lebih banyak pilihan kanal pembayaran, baik melalui bank, dompet digital, maupun lembaga keuangan lainnya, sesuai dengan preferensi penerima manfaat.
Peran BPD
Ketiga, konsolidasi industri untuk memperkuat perbankan daerah, terutama Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai pengelola kas daerah. Saat ini mayoritas BPD memang telah memberikan layanan digital banking dan pembayaran menggunakan QRIS. Namun, ruang penyempurnaan masih terbuka lebar ke depan.
Misalnya, BPD dapat mengembangkan super apps yang mengintegrasikan berbagai layanan keuangan dalam satu platform, termasuk untuk pembayaran pajak dan retribusi daerah secara elektronik, manajemen anggaran dan belanja Pemda secara real-time, serta sistem pengawasan yang terhubung dengan regulator. Alhasil, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.
Terobosan lain yang tidak boleh dilupakan ialah peran BPD dalam digitalisasi dana desa. Integrasi Sistem Keuangan Pemerintah Desa (Siskeudes) dengan API Cash Management System (CMS) BPD akan memainkan peran penting sehingga setiap transaksi dapat dilakukan secara digital dan mudah dipantau.
Inovasi ini memungkinkan desa untuk bertransaksi langsung tanpa melibatkan uang tunai, yang pada gilirannya mengurangi potensi penyalahgunaan dan meningkatkan efektivitas pengelolaan anggaran desa.
Meski menjanjikan banyak keunggulan, masih banyak tantangan yang perlu menjadi pekerjaan rumah. Infrastruktur teknologi yang belum merata, literasi digital masyarakat, serta isu keamanan siber merupakan aspek yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Oleh karena itu, penguatan sistem keamanan digital, edukasi kepada masyarakat, serta peningkatan kapasitas SDM pemerintah dalam mengelola transaksi digital harus menjadi prioritas.
Pada akhirnya, digitalisasi dalam sektor pemerintahan bukan sekadar peningkatan layanan, tetapi juga kunci utama dalam mencapai Asta Cita dan membawa Indonesia ke era keemasan 2045.
Kata kuncinya ialah sinergi. Kolaborasi erat antara Pemerintah, Bank Indonesia dan Perbankan menjadi bukti nyata bahwa reformasi birokrasi berbasis teknologi mampu berkontribusi nyata terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini telah dimuat di INVESTOR DAILY 19 Februari 2025
Nov 22, 2024 | Articles on Media
Kita patut bersyukur inflasi nasional tahun ini diperkirakan masih dalam target sebesar 2,5% ± 1%. Namun, sebagai refleksi di penghujung tahun untuk evaluasi ke depan, mari kita renungkan sebuah pertanyaan krusial, “Mengapa ada Pemda yang mampu mengendalikan inflasi daerahnya relatif lebih mudah ketimbang Pemda lainnya?”
Jawabannya mungkin sama dengan teka-teki “Mengapa ada negara yang berhasil dan ada yang gagal?” Pertanyaan ini mendasari lahirnya buku “Why Nations Fail” pada 12 tahun silam. Pandangan baru dalam buku ini berhasil mengantarkan penulisnya meraih nobel ekonomi 2024.
Ide dasarnya ialah negara yang maju sejatinya bukan ditentukan karena memiliki sumber daya alam melimpah, melainkan karena kehadiran institusi yang inklusif dan kuat.
Dalam konteks upaya pengendalian inflasi di daerah, gagasan ‘institusi yang inklusif dan kuat’ sangat relevan. Kerangka 4K (keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif) tidak dapat dijalankan Pemda seorang diri.
Apalagi jika kapasitas fiskal daerah terbatas, keberadaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sebagai wadah sinergi lintas lembaga memainkan peran krusial dalam mengimplementasikan Kerangka 4K.
Penguatan kapabilitas institusi bernama TPID secara berkelanjutan sudah menjadi sebuah keharusan. Pasalnya walau tingkat inflasi nasional cenderung stabil dan rendah setiap tahunnya, kita tidak dapat menafikan posisi Indonesia dalam Global Food Security Index.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat 63 dari 113 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia bahkan masih di bawah Singapura yang notabene tidak memiliki lahan pertanian luas.
Faktor-faktor seperti keterbatasan produksi pangan domestik, ketergantungan pada impor bahan pangan tertentu, dan distribusi yang kurang efisien menjadi penyebab utama. Di sinilah peran TPID menjadi semakin signifikan. TPID tidak hanya harus responsif terhadap gejolak harga, tetapi juga mampu mengantisipasi permasalahan sebelum menjadi krisis.
Argumen di atas kian didukung dengan semakin kompleksnya tantangan global dan ancaman krisis iklim di depan mata. Oleh karena itu, TPID perlu didukung dengan berbagai kemampuan baru. Institusi yang inklusif dan kuat, sebagaimana gagasan peraih nobel ekonomi tahun ini, harus diwujudkan dalam bentuk TPID yang tidak hanya menjalankan fungsi pemantauan harga, tetapi juga memiliki strategi yang mampu menjawab permasalahan secara struktural.
BUMD pangan
Kemampuan baru tersebut bernama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pangan. Eksistensi BUMD pangan memungkinkan TPID memiliki kontrol yang lebih besar terhadap stabilitas harga di daerah. BUMD pangan, sebagai entitas bisnis daerah, mampu berperan langsung dalam pengadaan, penyimpanan, dan distribusi untuk memastikan kelancaran pasokan.
BUMD pangan juga memiliki fleksibilitas untuk bermitra dengan berbagai pihak, seperti kelompok tani, koperasi, dan sektor swasta, sehingga distribusi dan produksi pangan di daerah dapat lebih terjaga.
Dalam kondisi tertentu, BUMD pangan dapat menjadi penyedia cadangan pangan yang siap didistribusikan untuk menstabilkan harga di pasar ketika terjadi lonjakan permintaan atau gangguan pasokan.
Pengalaman DKI Jakarta dapat menjadi studi kasus menarik. Dengan lahan pertanian yang terbatas, inflasi Jakarta terbukti masih terkendali dengan baik. Salah satu kunci suksesnya keberadaan tiga BUMD pangan yang dimilikinya. Food Station Tjipinang di bidang perdagangan beras, Perumda Dharma Jaya untuk komoditas daging dan Perumda Pasar Jaya untuk pengelolaan pasar tradisional dan modern.
Meskipun konsepnya cantik di atas kerja, namun kebijakan untuk membentuk BUMD pangan di banyak daerah masih perlu didorong. Buktinya data Statistik Keuangan BUMN dan BUMD menunjukkan terdapat 1.008 BUMD di Indonesia pada 2022.
Dari jumlah tersebut terdapat 124 BUMD yang masuk dalam kategori usaha yang berkaitan dengan pangan. Dengan rasio hanya sekitar 10%, tidaklah mengejutkan jika ketergantungan pasokan pada swasta masih cukup dominan di mayoritas daerah.
Kesadaran untuk mendirikan BUMD pangan sejatinya sudah ada sejak lama, namun ikhtiar menuju cita-cita tersebut memang tidaklah mudah. Tantangannya beragam dan kompleks. Salah satunya ialah keterbatasan modal dan sumber daya.Implikasinya, mereka sulit mengembangkan infrastruktur seperti gudang penyimpanan, jalur distribusi, dan sistem logistik yang memadai.
Idealnya ada dua langkah yang dapat ditempuh untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, penguatan modal dan akses pembiayaan. Bisa melalui penyertaan modal daerah, maupun pinjaman lunak oleh BPD khusus untuk BUMD pangan.
Alternatif lainnya adalah dengan membangun skema kemitraan dengan BUMD pangan daerah lain yang sudah lebih mapan secara finansial dan sistem manajemen.
Kedua, penguatan sinergi antar pemangku kepentingan. Pemda dapat membentuk forum kolaborasi yang mempertemukan BUMD, TPID, BUMN dan asosiasi pelaku usaha dari sektor swasta. Forum ini bisa menjadi wadah untuk menyatukan visi dan menyusun strategi bersama yang berfokus pada penguatan ketahanan pangan, baik dari sisi hulu hingga hilir.
Sementara bagi BUMD pangan yang telah terbentuk, terdapat tiga area kapabilitas yang dapat diperkuat. Pertama, optimalisasi operasional melalui teknologi. Penggunaan sistem manajemen rantai pasok berbasis digital, misalnya, memungkinkan BUMD pangan untuk memantau distribusi produk secara real-time dan mengurangi biaya operasional.
Kedua, investasi dalam infrastruktur bisnis. BUMD pangan dapat berinvestasi dalam fasilitas penyimpanan modern, seperti cold storage, yang dapat menjaga kualitas produk lebih lama. Selain itu, pembangunan pusat logistik di titik-titik strategis dapat mengurangi waktu dan biaya distribusi.
Ketiga, diversifikasi produk pangan. BUMD pangan juga bisa mengembangkan produk olahan sebagai langkah untuk meningkatkan nilai tambah produk dan mengurangi ketergantungan pada hasil panen mentah.
Pada akhirnya, nobel ekonomi 2024 mengingatkan kita bahwa institusi yang kuat adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakatnya. Dengan sinergi antara TPID dan BUMD pangan, daerah akan memiliki ketahanan pangan yang lebih baik dan stabilitas harga yang lebih terjaga.
Pada saat bersamaan, TPID dapat menjadi institusi yang lebih inklusif dengan melibatkan berbagai elemen dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 22 November 2024
Nov 1, 2024 | On Self-Productivity
Bayangkan kamu sedang duduk di kafe, ditemani secangkir kopi panas, lalu seseorang datang menghampirimu dan bertanya, “Bisa kamu jelaskan apa itu fisika kuantum dalam dua kalimat saja?”
Jika kamu merasa gugup dan bingung, kamu tidak sendirian. Mungkin ada rasa takut: apakah aku benar-benar mengerti dan bisa menjelaskannya dengan cukup baik? Di sinilah Teknik Feynman datang membantu.
Teknik ini berawal dari seorang jenius yang dikenal karena keahliannya dalam menjelaskan konsep-konsep rumit dengan bahasa sederhana—Richard Feynman, seorang fisikawan peraih Nobel.
Ia memiliki pendekatan belajar yang sederhana tapi kuat: jika kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan mudah, artinya kamu belum benar-benar mengerti.
Tantangan menyederhanakan gagasan rumit menjadi esensinya ini sering disebut sebagai Teknik Feynman.
Teknik ini memaksa kita untuk menanggalkan semua kerumitan yang tidak penting, menyaring sebuah konsep menjadi esensinya yang paling sederhana, dan mengembangkan pemahaman yang kaya serta mendalam tentang disiplin ilmu apa pun yang ingin kita kuasai.
Memulai Dengan Empat Langkah Sederhana
Langkah 1: Pilih Konsep yang Mau Dipahami
Kamu perlu memilih satu topik untuk didalami, misalnya “hukum gravitasi.” Coba tulis kata “gravitasi” di atas kertas kosong, dan buat kolom untuk menjelaskan konsep ini dengan sederhana.
Tujuan utamamu di sini adalah memahami gravitasi dengan baik, hingga kamu bisa menjelaskan kepada siapa pun, bahkan ke anak kecil.
Langkah 2: Jelaskan dengan Kata-Kata Sederhana
Sekarang, bayangkan kamu sedang menjelaskan gravitasi kepada temanmu yang tidak punya latar belakang sains. Gunakan bahasa yang sederhana, tanpa istilah teknis yang rumit.
Misalnya, kamu bisa mulai dengan, “Gravitasi adalah gaya yang membuat benda jatuh ke tanah. Ketika kita melempar sesuatu ke atas, gravitasi yang menariknya kembali ke bawah.”
Kalimat sederhana ini adalah latihan pertama yang sangat penting. Dengan mencoba menjelaskan seperti ini, kamu akan mulai memahami inti dari apa yang ingin kamu pelajari.
Langkah 3: Temukan Bagian yang Masih Membingungkan
Saat menjelaskan, kamu mungkin merasa ada bagian tertentu yang belum jelas atau sulit dijelaskan. Inilah titik kebingungan, yang jadi tanda bahwa ada bagian yang perlu kamu pahami lebih dalam.
Di sini, Teknik Feynman benar-benar efektif, karena bagian yang membingungkan ini menunjukkan apa yang perlu kamu pelajari lagi.
Misalnya, saat kamu menjelaskan gravitasi, kamu mungkin sadar bahwa kamu belum paham kenapa gravitasi bekerja. Pada titik ini, kembali ke buku atau referensi lain, cari jawabannya, dan pelajari lebih dalam hingga kamu bisa menjelaskan ulang tanpa kebingungan.
Langkah 4: Sederhanakan Lagi dan Hubungkan
Setelah semua mulai jelas, coba ulangi penjelasanmu. Buat lebih singkat, lebih sederhana, dan usahakan terhubung dengan kehidupan sehari-hari.
Mungkin kamu bisa berkata, “Gravitasi itu seperti magnet yang menarik segala sesuatu ke bawah, jadi setiap benda yang kita lempar ke atas pasti akan jatuh kembali.”
Melalui penjelasan sederhana ini, kamu bisa melihat bahwa Teknik Feynman membantumu memahami suatu konsep secara mendalam dan mengolahnya jadi sesuatu yang mudah dipahami.
Cara Menjadi Ahli
Teknik Feynman bukan hanya cara belajar, tetapi juga sebuah seni berpikir yang mengutamakan pemahaman mendalam daripada sekadar menghafal.
Ini seperti membongkar sebuah mesin menjadi bagian-bagian terkecil hingga kamu tahu cara kerjanya, lalu menyusunnya kembali hingga bisa menjelaskan bagaimana semua bagian itu bekerja bersama.
Teknik Feynman mengajarkan kita bahwa belajar bukan hanya tentang menghafal informasi, tetapi bagaimana membuat informasi tersebut ‘hidup’ di kepala kita.
Ketika kamu benar-benar memahami sesuatu, kamu bisa menjelaskannya dengan mudah. Jadi, kamu bukan sekadar tahu, tapi mengerti.
Jadi, kalau kamu ingin benar-benar menguasai sebuah bidang tertentu, coba sampaikan gagasanmu kepada orang lain. Lakukan hal itü di depan umum dan lakukan secara konsisten.
Memublikasikan gagasan tertulis memaksamu untuk belajar lebih sering dan menulis dengan lebih jelas.
Memublikasikan video memaksamu untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan menyampaikan pemikiranmu.
Membagikan gagasan di atas panggung mengajarkanmu cara menarik perhatian audiensi dan menceritakan kisah-kisah yang memikat.
Pada bidang apa pun dalam hidup kita, melakukannya di depan umum, dan menjadikannya kewajiban yang memaksa kita untuk melakukannya secara konsisten, akan mengarahkan kita pada tahap penguasaan.
Mampu menyederhanakan sebuah gagasan dan berhasil membagikannya kepada orang lain adalah jalan untuk memahaminya dan bukti bahwa kita memang paham. Salah satu cara menutupi kurangnya pemahaman kita terhadap suatu gagasan adalah dengan menggunakan kata-kata secara berlebihan, lebih bombastis dan kurang penting (Steven Bartlett, penulis buku “THE DIARY OF A CEO”)
Oct 31, 2024 | Articles on Media
Senyum pelaku usaha mikro kian merekah. Pasalnya Bank Indonesia akan membebaskan biaya atau Merchant Discount Rate (MDR) QRIS menjadi 0% untuk nominal transaksi maksimal Rp500 ribu bagi pelaku usaha mikro per 1 Desember 2024.
Kebijakan ini sejalan dengan semangat bank sentral untuk memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran, sekaligus menopang daya beli masyarakat kelas menengah bawah.
Secara historis kebijakan MDR QRIS 0% hanya berlaku untuk transaksi maksimal Rp100 ribu. Dengan peningkatan batasan ini, Bank Indonesia berharap dapat mendorong lebih banyak usaha mikro untuk beralih ke metode pembayaran digital.
Selain itu, langkah ini merupakan bagian dari koordinasi berkelanjutan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bank Indonesia mencatat transaksi QRIS terus tumbuh pesat sebesar 209,61% (yoy) pada kuartal III 2024. Jumlah penggunanya telah mencapai 53,3 juta dan jumlah merchant 34,23 juta.
Penggunaan QRIS mayoritas dilakukan pada sektor UMKM sebesar 92,47% di mana usaha mikro menyumbang 55%. Alhasil, regulator melihat potensi sangat besar pada segmen ini sehingga memerlukan pendalaman dan perluasan QRIS melalui pemberian relaksasi MDR.
Tesis ini sejalan dengan lanskap UMKM tanah air. Kementerian Koperasi dan UKM menyebut terdapat 64,2 juta UMKM pada 2021. Jika dibedah lebih lanjut, usaha mikro mendominasi 99,62% atau sebanyak 63,95 juta unit.
Dengan kontribusinya yang sangat signifikan, langkah otoritas sistem pembayaran untuk menyasar lebih dalam segmen ini terbilang sangat tepat.
Kebijakan MDR QRIS 0% menjadi solusi atas hambatan yang selama ini dihadapi oleh usaha mikro dalam beradaptasi dengan teknologi pembayaran. Secara kalkulasi bisnis, pengenaan biaya MDR mengurangi margin keuntungan usaha.
Oleh karena itu, stimulus ini akan memberikan kesempatan kepada usaha mikro untuk meningkatkan skala bisnis melalui transaksi nontunai tanpa harus khawatir akan pengurangan keuntungan.
Segendang sepenarian argumen tersebut turut didukung survei yang dilakukan Visa (2024). Hasil studi ini menunjukkan UMKM yang menerima pembayaran digital mengalami peningkatan omzet signifikan.
Survei juga menemukan bahwa adopsi pembayaran digital membuat bisnis menjadi lebih mudah bagi 83% UMKM yang disurvei di Indonesia.
Dari perspektif makroekonomi, upaya mengakselerasi adopsi QRIS juga menjadi bagian dari strategi menciptakan ekosistem keuangan yang lebih inklusif.
Global Findex Database 2021 oleh Bank Dunia menunjukkan jumlah penduduk dewasa yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) di Indonesia sebanyak hampir 98 juta orang. Menariknya, sekitar 55% dari penduduk unbanked ini justru memiliki akses ke telepon genggam.
Pada titik inilah layanan keuangan digital melalui QRIS akan memainkan peran krusial. Ketika transaksi usaha mikro tercatat dalam sistem digital, data ini menjadi alat yang sangat berguna bagi lembaga keuangan untuk menilai profil risiko usaha mikro tersebut.
Dengan pencatatan transaksi yang akurat, pelaku usaha mikro dapat menunjukkan performa keuangan yang lebih transparan dan dapat diandalkan.
Memperluas akses
Muaranya tentu ialah kemudahan akses pembiayaan oleh lembaga keuangan. Dengan adanya pencatatan transaksi secara digital melalui QRIS, pelaku usaha mikro dapat membangun rekam jejak keuangan yang kredibel sehingga bisa digunakan sebagai dasar penilaian kelayakan kredit.
Implikasinya, semakin banyak transaski usaha mikro menggunakan QRIS, semakin besar peluang untuk mendapatkan akses kredit yang selama ini sulit dijangkau.
Peningkatan transaksi QRIS juga dapat memperluas akses usaha mikro ke layanan keuangan lainnya, seperti tabungan digital, pinjaman fintech, atau layanan asuransi, yang semakin mudah diakses melalui aplikasi digital.
Dengan demikian, QRIS juga dapat menjadi katalisator bagi peningkatan inklusi keuangan yang lebih luas, terutama bagi segmen masyarakat yang selama ini belum terjangkau layanan perbankan tradisional.
Dalam praktiknya, QRIS yang pada awalnya dirancang sebagai alat pembayaran digital, kini berkembang menjadi pendorong terjadinya transformasi digital usaha mikro.
Adopsi QRIS seringkali menjadi jembatan untuk memperkenalkan pelaku usaha mikro pada peluang digital yang lebih luas. Seiring dengan peningkatan penggunaan QRIS, mereka akan semakin menyadari pentingnya memperluas jangkauan bisnis ke media sosial dan marketplace.
Sebagai media edukasi, QRIS merupakan titik awal ideal untuk mendorong pemahaman lebih lanjut bagi pelaku usaha mikro tentang teknologi. Mereka dapat melihat manfaat langsung dari digitalisasi tanpa harus menghadapi hambatan teknis yang kompleks.
Pada tahapan selanjutnya, QRIS secara tidak langsung memberi pelaku usaha kepercayaan diri untuk bersaing di pasar digital. Hal ini memberi sinyal bahwa beralih ke platform daring adalah langkah logis berikutnya dalam pertumbuhan bisnis mereka.
Optimisme ini semakin diperkuat oleh kehadiran fitur QRIS TTM (Tanpa Tatap Muka). Dengan QRIS TTM, pelaku usaha tidak perlu bertemu langsung dengan pembeli untuk menerima pembayaran.
Transaksi pembayaran dapat dilakukan dari jarak jauh dengan memindai kode QR yang disediakan secara digital.
Hal ini memungkinkan UMKM untuk memperluas jangkauan bisnis mereka ke platform daring, seperti media sosial atau lokapasar, tanpa khawatir keterbatasan dalam penerimaan pembayaran.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, 22 juta UMKM telah bergabung dalam ekonomi digital atau sekitar 33,6% dari total UMKM pada 2023. Sementara itu, Pemerintah Indonesia menargetkan 30 juta UMKM Digital pada 2024.
Dengan begitu, ruang dan potensi usaha mikro untuk masuk dalam industri ekonomi digital ke depannya masih terbuka lebar ke depan.
Dalam jangka panjang, semakin banyak usaha mikro yang terintegrasi ke dalam ekosistem digital, semakin banyak pula data yang dapat diolah otoritas untuk melihat dinamika ekonomi di sektor usaha mikro.
Konsekuensi logisnya, perumusan kebijakan akan lebih tepat sasaran, baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital maupun dalam mendorong inklusi keuangan yang lebih luas.
Kuncinya, sinergi yang solid antar pemangku kepentingan menjadi fondasi penting dalam menciptakan ekosistem digital yang mendukung usaha mikro.
Melalui kolaborasi yang harmonis, digitalisasi UMKM niscaya menjadi kenyataan, bukan sekadar impian cantik di atas kertas.
Artikel ini telah dimuat di KONTAN 31 Oktober 2024