Jul 11, 2022 | Articles on Media
“Banking is necessary, but banks are not”. Demikian ungkapan terkenal Bill Gates 28 tahun silam yang semakin mendekati kenyataan. Kehadiran industri financial technology (fintech) memang menggerus bisnis perbankan. Namun, disrupsi itu belum akan berakhir.
Industri perbankan kini harus bersiap menghadapi pemain baru bernama Decentralized Finance (DeFi) yang digadang-gadang sebagai evolusi sistem keuangan berikutnya.
Kemunculan DeFi tidak terlepas dari perkembangan aset kripto yang kian marak. DeFi merupakan bentuk intermediasi pada ekosistem aset kripto dengan menyediakan berbagai produk dan jasa keuangan sebagaimana yang disediakan oleh perbankan.
Model bisnis DeFi mirip dengan fintech, namun menggunakan teknologi blockchain dan aset kripto berjenis stablecoins sebagai pengganti mata uang dalam bertransaski.
Harus diakui platform DeFi menawarkan banyak peluang yang belum dimiliki Lembaga Jasa Keuangan (LJK) tradisional. Diantaranya ialah efisiensi biaya transaksi, transparansi transaksi dengan pencatatan di blockchain, inklusi layanan keuangan yang lebih luas, serta penyediaan layanan 24/7.
Saat ini DeFi lebih banyak digunakan oleh investor untuk me-leverage investasi pada aset kripto, dibandingkan untuk melakukan intermediasi kepada perekonomian riil dengan tingkat suku bunga pinjaman yang terbilang tinggi.
Namun dengan berbagai perkembangan teknologi dan model bisnis ke depan, tidak menutup kemungkinan DeFi dapat memfasilitasi aktivitas perekonomian riil secara efisien.
Salah satu contohnya adalah DeFi lending USDC Homes di Texas, Amerika Serikat. Platform DeFi ini menawarkan produk KPRdengan jaminan berbagai jenis aset kripto.
Plafon pembiayaan mencapai 80% dengan uang muka dalam bentuk aset kripto. Pinjaman dapat diberikan kepada debitur asing, bebas dari pengaturan transfer dana yang ditetapkan oleh otoritas.
BACA JUGA: ERA OPEN BANKING SISTEM PEMBAYARAN
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat risiko riil dari studi kasus tersebut. Absennya regulasi yang mengatur DeFi memungkinkan terjadinya praktik shadow banking. Otoritas pun tidak memiliki data yang memadai terkait aliran dana dalam ekosistem platform DeFi.
Implikasinya, fenomena ekonomi yang sedang ekspansif akan sulit dibaca dan diantisipasi oleh otoritas. Potensi gelembung properti sangat mungkin kembali terulang dan lebih sulit untuk dikendalikan karena aliran kredit tidak hanya berasal dari perbankan, namun juga melalui platform DeFi lending.
Financial Stability Board (2022) mengidentifikasi sejumlah tantanganyang dihadapi oleh otoritas terkait DeFi. Dari perspektif legal, regulator terkendala dalam menentukan entitas mana yang bertanggung jawab apabila terjadi permasalahan hukum.
Pasalnya kepemilikan platform DeFi bersifat terdesentralisasi dengan skala bisnis lintas negara, sehingga batasan hukum tidak jelas.
Selain itu, faktor anonimitas tanpa adanya kewajiban Know Your Customer (KYC) membuat DeFi rentan untuk digunakan sebagai media pencucian uang. Mengutip data Chainalysis (2022), nilai pencucian uang melalui platformDeFi meningkat hampir mencapai 2000% pada 2021.
Peristiwa market crash USD Terra (UST) pada Mei 2022 juga menunjukkan adanya risiko sistemik. Kejatuhan nilai UST memicu penarikan aset sebesar UST 8,7 miliar serta likuidasi perjanjian lending lebih dari 35% dari platform DeFi Anchor.
Hal tersebut serupa dengan fenomena bank run pada industri keuangan tradisional yang berpotensi menyulut kesulitan likuiditas.
Kendati demikian, risiko sistemik DeFi mungkin belum akan terlihat dalam waktu dekat. Bank of England (2022) mencatat total nilai pada ekosistem aset kripto global sebesar USD 1,7 triliun. Angka ini masih jauh lebih kecil dibandingkan nilai aset keuangan tradisional global sebesar USD 469 triliun.
Meski begitu, pertumbuhan aset kripto yang eksponensial dan hadirnya intermediasi DeFi kepada perekonomian riil perlu mendapatkan perhatian.
Respon kebijakan
Saat ini respon kebijakan otoritas di tanah air masih terbatas pada perdagangan aset kripto. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran menegaskan bahwa aset kripto bukanlah alat pembayaran yang sah sebagaimana amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Di samping itu, Bank Indonesia melarang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Sejalan dengan langkah bank sentral, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melarang LJK untuk memiliki eksposur terhadap transaksi aset kripto. Larangan itu mencakup menggunakan, memasarkan dan memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Di sisi lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) menetapkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Namun, pengaturannya hanya mencakup aktivitas perdagangan aset kripto.
Selain itu, Kementerian Keuangan telah menerapkan PPN dan PPh atas perdagangan aset kripto sebesar 0,21% sejak 1 Mei 2022.
Sementara DeFi belum memiliki regulasi dan mekanisme pengawasan yang jelas di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sayangnya, sejumlah pedagang aset kripto lokal yang telah terdaftar ikut menawarkan produk simpanan dan pinjaman berbasis aset kripto yang menyerupai produk yang ditawarkan DeFi.
Masyarakat pun dengan bebas dapat mengakses layanan DeFi di luar negeri. Otoritas perlu merespon untuk mengantisipasi berbagai risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan.
BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK
Mengadopsi kerangka berpikir Donald Rumsfeld (mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat), otoritas keuangan global saat ini nampaknya berada dalam kondisi Known Unknowns ketika menyikapi fenomena DeFi.
Mereka telah menyadari pesatnya perkembangan DeFi, namun belum dapat memahami secara utuh risikonya terhadap stabilitas sistem keuangan dan bagaimana cara meregulasinya. Perlu upaya menutup knowledge gap untuk menuju kondisi Known Knowns.
Berangkat dari konfigurasi problematika tersebut, terdapat empat langkah sinergis yang berpeluang dilakukan oleh otoritas sektor keuangan di Indonesia.
Pertama, penguatan data capturing dan analisis dampak sistemik dari ekosistem aset kripto, termasuk DeFi, terhadap stabilitas sistem keuangan. Salah satu inisiatif yang dapat dilakukan ialah mendorong pertukaran data antar otoritas terkait.
Kedua, kolaborasi di tingkat nasional dan internasional. Antara lain dengan penguatan penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorirsme (APU-PPT) dengan mengikuti standar Financial Action Task Force (FATF) terkini.
Tak ketinggalan aspek perlindungan konsumen juga perlu terus diperkuat. Selain itu, juga diperlukan kerja sama internasional dengan berbagai standard setting bodies untuk menyusun guidance data dan indikator surveilans ekosistem aset kripto.
Ketiga, edukasi dan literasi kepada masyarakat. Masyarakat perlu terus diedukasi terkait dengan tingginya risiko investasi di ekosistem aset kripto dan DeFi. Selain itu otoritas juga dapat berkolaborasi menyusun template self assessment profil risiko yang dapat digunakan oleh caloninvestor aset kripto, sama halnya ketika masyarakat ingin menjadi investor di pasar modal.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Keempat, dibentuknya joint regulatory sandbox. Tujuannya adalah untuk membuka ruang diskusi antara otoritas dan industri, menyamakan level of playing field, serta mencari titik tengah antara inovasi dan prudentiality.
Selain itu, sisi positif dari teknologi blockchain yang digunakan DeFi berpeluang untuk menghadirkan inovasi pada LJK dan PJP yang teregulasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 11 JULI 2022
Jul 8, 2022 | Articles on Media
‘Angsa hijau’ (green swans) tentu tidak benar-benar ada. Ia hanyalah sebuah metafora. Bank for International Settlements mulai memopulerkan istilah ini pada Januari 2020. Maknanya pun berbeda dengan teori angsa hitam karya Nassim Nicholas Taleb.
Angsa hijau melambangkan sebuah prediksi resesi ekonomi berikutnya. Dan krisis itu bersumber dari satu fenomena, namanya perubahan iklim.
Bill Gates mungkin benar. Pendiri Microsoft itu pernah berujar. Dampak ancaman perubahan iklim bisa lebih buruk ketimbang pandemi Covid-19. Prediksi ini masuk akal. Upaya penanganan isu cuaca ekstrem global dalam 20 tahun terakhir menelan biaya tidak sedikit.
Angkanya menyentuh hingga US$ 5,1 triliun. Apabila terus dibiarkan, suhu bumi akan naik 3,2 derajat celcius dan ekonomi dunia tergerus hingga 18%.
Problematika perubahan iklim harus disikapi secara holistik. Semua pihak memiliki peran untuk melakukan langkah preventif. Bank sentral tak terkecuali didalamnya. Pasalnya ada sebuah keterkaitan di antara keduanya. Perubahan iklim berkorelasi dengan tingkat inflasi yang menjadi ranah tugas bank sentral.
Setidaknya ada dua risiko utama dari perubahan iklim yang melatarbelakanginya. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca. Implikasinya, terjadi penurunan produktifitas lahan pertanian yang berujung pada lonjakan harga pangan.
BACA JUGA: BANK SENTRAL DAN URGENSI EKONOMI HIJAU
Kedua, risiko transisi sebagai dampak perubahan struktural dalam perekonomian. Misalnya, pergeseran pemanfaatan sumber energi dari fosil ke baru terbarukan. Tanpa perhitungan matang, kebijakan ini sangat mungkin berbuntut pada melambungnya harga energi.
Situasi ini lantas dikenal dengan sebutan ‘greenflation’, yaitu kenaikan harga barang sebagai ekses negatif dari upaya menuju ekonomi hijau.
Dari perspektif makro, dua risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Hal pertama yang terlihat jelas ialah risiko gagal bayar dan risiko pasar sebagai taruhannya.
Terhentinya aktivitas ekonomi akibat bencana alam berskala masif berpengaruh buruk pada kemampuan bayar debitur. Pada saat yang bersamaan, kerusakan properti yang dialami juga menurunkan nilai aset yang menjadi agunan kredit.
Respon perbankan sudah bisa ditebak. Kran kucuran kredit ditutup atas nama prinsip kehati-kehatian dan mitigasi risiko. Tak pelak laju pertumbuhan ekonomi niscaya ikut melambat sebagai konsekuensi logisnya.
Makroprudensial hijau
Kehadiran bank sentral lewat kebijakan makroprudensial hijau tentu sangat dinantikan. Maklum, instrumen ini merupakan senjata ampuh otoritas untuk menjawab tantangan dari sisi pembiayaan. McKinsey (2022) memprakirakan kebutuhan investasi untuk memenuhi target bebas emisi karbon hingga 2050 mencapai US$9,2 triliun per tahun.
Secara konseptual, pencapaian target iklim global tidak hanya membutuhkan pendanaan untuk proyek hijau saja. Di sisi lain, bank dan industri jasa keuangan lainnya punya tanggung jawab untuk membatasi pembiayaan pada usaha padat karbon. Pada titik inilah makroprudensial hijau akan memainkan peran krusial.
Sifat kebijakan makroprudensial memang terbilang unik. Bank sentral dapat mempengaruhi keputusan investasi dan alokasi kredit sektor keuangan lewat instrumen ini.
Kewenangan pengawasan terhadap sistem keuangan menempatkan bank sentral pada posisi yang memungkinkan mereka untuk memberi insentif dan disinsentif, serta mengarahkan sumber daya menuju investasi hijau.
BACA JUGA: KETENAGAKERJAAN DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Dalam praktiknya, berbagai instrumen makroprudensial hijau telah dikembangkan di tingkat internasional. Pertama, rasio kredit hijau. Melalui instrumen ini, bank sentral mewajibkan sejumlah proporsi minimum dari kredit perbankan untuk disalurkan kepada sektor hijau.
Misalnya, Bangladesh Bank mengharuskan bank dan non bank untuk mengalokasikan lima persen dari portofolio kreditnya ke sektor hijau.
Kedua, uji stres iklim. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur ketahanan lembaga keuangan dalam menghadapi skenario ekonomi yang tidak menguntungkan, khususnya akibat perubahan iklim. OECD mencatat beberapa bank sentral, seperti Inggris, Jepang, Eropa, Australia dan Tiongkok telah memulai inisiatif ini pada 2020-2021.
Ketiga, rasio pinjaman terhadap nilai aset hijau (Loan to Value/LTV hijau). Per definisi, LTV hijau merupakan nilai kredit yang dapat diberikan bank kepada nasabah untuk pembelian aset hijau.
Bank Indonesia telah mengadopsi instrumen ini sejak 2019 lewat pengaturan rasio LTV untuk properti berwawasan lingkungan dan uang muka pemberian kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan.
Bak gayung bersambut, ruang penyempurnaan instrumen makroprudensial hijau masih terbuka lebar. Argumen ini sejalan dengan peluncuran taksonomi hijau Indonesia. Taksonomi hijau dapat diartikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup, serta mitigasi perubahan iklim.
BACA JUGA: EKSPANSI AKSES KEUANGAN PENJALA
Kehadiran taksonomi hijau setidaknya memiliki dua arti penting. Pertama, mendukung inovasi perumusan berbagai instrumen kebijakan bank sentral. Bank Indonesia akan mengembangkan instrumen rasio intermediasi makroprudensial hijau, penyangga likuiditas makrroprudensial hijau, serta rasio kredit/pembiayaan UMKM hijau.
Kedua, sebagai prasyarat utama harmonisasi bauran kebijakan keuangan hijau antar otoritas. Dengan bahasa yang sama, derap langkah kebijakan makroekonomi, makroprudensial dan mikroprudensial akan semakin sinergis.
Dengan semangat inovasi dan sinergitas di atas, kita patut optimis fungsi intermediasi perbankan Tanah Air akan mampu berkontribusi nyata dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Di bawah komando Bank Indonesia dan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, masyarakat menyelipkan sebuah harapan tunggal. Ketahanan sistem keuangan domestik dapat tetap terjaga sehingga mampu menghalau datangnya ‘angsa hijau’ di Indonesia.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 8 Juli 2022
Feb 26, 2022 | Articles on Media
Habis digital banking, terbitlah metaverse banking. Ungkapan ini sangat tepat disematkan pada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Setelah sukses membawa BRI Agro bertransformasi menjadi bank digital berlabel Bank Raya, kini BRI tengah berancang-ancang membuka kantor cabang virtual pertamanya di dunia metaverse.
BRI tentu saja tidak sendirian. Langkah serupa juga sedang digarap oleh bank BUMN lainnya, yakni Bank Negara Indonesia (BNI). Di tingkat global, raksasa perbankan investasi JPMorgan Chase bahkan telah resmi dinobatkan sebagai bank pertama yang mendirikan kantor di metaverse.
Dalam laporan publikasinya, bank terbesar asal Amerika Serikat itu menyebut peluang pasar di metaverse diperkirakan bisa mencapai US$ 1 triliun.
Sejumlah bank internasional lain dikabarkan turut serta dalam aksi transformatif ini. Sebut saja, KB Kookmin Bank, Industrial Bank of Korea, NH Nonghyup, Hana Bank, Bank of America, BNP Paribas, Bank of Kuwait dan Mecrobank.
Kehadiran metaverse banking sejatinya merupakan evolusi lebih lanjut dari digital banking. Keduanya sama-sama memberikan jasa perbankan dimanapun dan kapanpun secara instan. Namun, perbedaannya metaverse banking mampu menghadirkan pengalaman yang lebih imersif bagi nasabah.
Layanan dua dimensi di layar gawai cerdas ditransformasi menjadi tampilan tiga dimensi lewat penggabungan virtual reality (VR), augmented reality (AR) dan kecerdasan buatan.
Pada tataran teoritis, fenomena di atas kian menegaskan era Bank 4.0 saat ini. Brett King (2018) mendefinisikan Bank 4.0 sebagai era di mana layanan perbankan melekat dengan nasabah secara real time lewat beragam teknologi.
Layanan mengandalkan kecerdasan buatan dan diberikan lewat omnichannel, tanpa membutuhkan kantor fisik bank sama sekali.
BACA JUGA: WAJAH INDUSTRI ERA METAVERSE
Banyak ahli percaya metaverse sebagai the next game changer di dunia perbankan. Kemunculan perbankan di semesta meta digadang-gadang menjadi jurus ampuh perbankan untuk tetap eksis di tengah kompetisi industri yang semakin ketat.
Metaverse niscaya akan memberikan pengalaman baru bagi nasabah, khususnya bagi mereka yang merasa lebih aman dan nyaman untuk berinteraksi secara langsung.
Nasabah dan petugas perbankan di semesta meta sama-sama direpresentasikan dalam bentuk avatar yang menggambarkan individu asli masing-masing. Interaksi dilakukan di dunia virtual, namun dengan sensasi seakan di dunia nyata.
Keunggulan kompetitif inilah yang kemudian dapat dieksplorasi lebih jauh oleh perbankan dalam menawarkan produknya.
Misalnya, ketika penyampaian ilustrasi produk kredit atau investasi, metaverse memungkinkan ilustrasi dihadirkan seolah-olah nasabah berada di dalam ilustrasi tersebut.
Nasabah tidak lagi hanya sekedar membaca atau membayangkannya saja. Kondisi serupa juga berlaku tatkala nasabah membuka rekening simpanan maupun melakukan transaksi pembayaran.
Hanya bank besar
Jika melihat peta persaingan dan respon terhadap perkembangan teknologi saat ini, strategi metaverse banking diprediksi tidak akan ditempuh oleh semua perbankan.
Kemungkinan besar hanya kelompok bank besar saja yang akan merealisasikannya. Selain karena faktor nominal investasi, perbedaan target nasabah menjadi pertimbangannya.
Dengan menyasar nasabah dari kalangan UMKM, kelompok bank kecil tampaknya lebih nyaman menempatkan dirinya sebatas sebagai bank digital. Segmen nasabah yang dilayani umumnya lebih mengedepankan servis yang cepat, mudah dan murah. Artinya, layanan perbankan cukup dilakukan lewat aplikasi tanpa perlu tatap muka.
Cerita berbeda dihadapi oleh kelompok bank besar. Terdapat golongan nasabah kelas atas dengan predikat nasabah prioritas yang perlu mendapat layanan ekstra. Jumlah nasabah di segmen ini relatif sedikit, namun menguasai mayoritas dana pihak ketiga.
Menariknya karakteristik nasabah prioritas ini masih menitikberatkan pada pengalaman layanan secara langsung. Di sinilah metaverse akan memainkan peran krusial dalam menjaga loyalitas nasabah crazy rich.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Sementara dari sisi konsumen, tidak semua nasabah mampu mengakses layanan metaverse banking. Pasalnya harga perangkat VR untuk memasuki ekosistem metaverse masih kurang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
Belum lagi isu biaya jaringan internet 5G yang juga dinilai belum cukup ekonomis. Tak ayal metaverse banking didesain eksklusif hanya untuk melayani kelompok nasabah tertentu dalam jangka menengah.
Di samping itu, argumen ini seakan turut menegaskan bahwa eksistensi metaverse banking tidak serta merta akan mengeliminasi keberadaan kantor fisik bank. Dalam beberapa kasus, nasabah tetap diwajibkan ke kantor fisik bank karena adanya batasan jenis dan nominal transaksi yang bisa diproses secara digital.
Maka menjadi sebuah diskursus menarik, “Apakah metaverse banking akan menjadi tren perbankan di masa depan?” Jawabannya tentu sangat mungkin, namun dengan beberapa prasyarat mendasar agar ramalan ini bisa terwujud. Pertama, penguatan aspek legal.
Misalnya, terkait implementasi ketentuan proses pengenalan nasabah secara elektronik atau electronic Know Your Customer (e-KYC) di dunia metaverse.
Penerapan e-KYC saat ini bisa beragam. Mulai dari panggilan video, mengirimkan foto wajah, memanfaatkan data kependudukan yang telah terintegrasi dengan data unik (sidik jari dan retina), hingga menggunakan tanda tangan digital.
Sayangnya, praktik e-KYC yang berlaku tersebut belum dapat diimplementasikan sepenuhnya di ekosistem metaverse mengingat perangkat VR yang tersedia masih belum mendukung prosedur tersebut.
BACA JUGA: MENDORONG INDUSTRI BERBASIS INOVASI
Contoh kasus lainnya, “Apakah pembuatan akad kredit dapat dilakukan secara sah di semesta meta?” Jawaban atas pertanyaan ini masih abu-abu. Tanpa adanya payung hukum yang jelas dan mengikat, metaverse banking tak ubahnya dengan showcasing kantor perbankan di dunia virtual semata.
Kedua, pembentukan wajah awal metaverse banking. Sebagaimana layaknya sebuah proyek investasi jangka panjang, mayoritas para pemain bank besar akan cenderung mengambil posisi wait and see pada tahap awal.
Oleh karena itu, kesuksesan BRI dan BNI sebagai pionir dalam membangun metaverse banking tanah air pada ajang G20 nanti akan menentukan arah pengembangannya ke depan.
Ketiga, respon antusiasime nasabah. Meskipun menjanjikan banyak keunggulan, namun hal ini tidak akan berarti apa-apa apabila nasabah tidak memanfaatkannya secara optimal.
Artikel ini telah dimuat di Harian KONTAN 26 Februari 2022
Feb 8, 2022 | Articles on Media
Mendadak Metaverse. Mungkin dua kata ini dapat mendeskripsikan situasi akhir-akhir ini. Banyak pihak tiba-tiba sibuk memperbincangkan sebuah kosakata baru, Metaverse.
Apalagi pemerintah berencana untuk membangun ibukota negara baru dalam versi Semesta Meta. Tidak hanya itu, prototipe Metaverse Indonesia juga akan diperkenalkan pada perhelatan G20 tahun ini.
Demam Metaverse nyatanya juga ikut melanda banyak negara. Korea Selatan, misalnya. Pemerintah Negeri Ginseng telah mengumumkan rencana untuk mendirikan Metaverse Seoul. Seoul digadang-gadang menjadi kota metropolitan digital pertama di dunia.
Dengan investasi sebesar 3,9 miliar KRWatau setara Rp47,3 miliar, Metaverse Seoul mencakup balai kota virtual, tempat wisata, pusat layanan sosial dan berbagai fasilitas masyarakat lainnya.
Ibarat sebuah dunia baru di alam nyata, Metaverse sejatinya menjanjikan banyak peluang untuk dieksplorasi. Sayangnya banyak pihak masih terjebak dalam diskursus sempit. Topik pembahasan terbatas pada penggunaan aset kripto dan NFT (non-fungible tokens) dalam ekosistem maya ini.
Padahal kehadiran Metaverse berpotensi membawa sebuah perubahan struktural bernama revolusi industri kelima (industri 5.0).
BACA JUGA: MERAMAL TREN METAVERSE BANKING
Memang saat ini belum ada konsensus resmi tentang definisi industri 5.0. Namun jika menilik teknologi di belakang Metaverse, ramalan ini terbilang masuk akal. Teknologi mutakhir seperti Artificial Intelligence (AI), Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR) dan blockchain dirajut dalam satu ekosistem yang saling terkoneksi.
Imbasnya, cara manusia bekerja dan berinteraksi, serta sistem perusahaan berproduksi juga akan berubah total.
Dalam jangka pendek, kemunculan Metaverse diyakini akan menjadi evolusi dari media sosial. Komunikasi manusia tidak lagi hanya terpaku pada penggunaan chat, serta panggilan video dan suara.
Percakapan tatap muka secara langsung lewat avatar tiga dimensi akan semakin marak. Menariknya, percakapan tersebut dapat dilakukan tidak hanya dengan manusia, namun juga dengan robot virtual.
Layanan nasabah perbankan dapat menjadi contoh studi kasus. Saat ini opsi saluran yang tersedia untuk nasabah menyampaikan pertanyaan masih belum ideal. Kunjungan ke kantor bank menguras banyak waktu, panggilan call center dengan biaya pulsa tidak murah, live chat di situs bank yang kurang responsif dan chatbot di aplikasi messager hanya mengakomodir pertanyaan umum.
Pada titik inilah Metaverse akan menjadi game changer. Layanan nasabah perbankan dapat dirancang lebih customized sesuai kebutuhan masing-masing nasabah.
Nasabah dapat berinteraksi dengan personal assistant virtual berbasis AI secara langsung, mudah, efisien dan spesifik.
Produk digital
Sementara dalam jangka panjang, Metaverse akan memaksa pelaku industri manufaktur berpikir ulang untuk tidak hanya bertumpu pada produksi barang fisik.
Mereka akan dipacu untuk mencari cara bagaimana menciptakan produk-produk digital berbasis NFT dan dipasarkan secara luas di alam Metaverse.
Produsen sepatu kenamaan, Nike telah bersiap memulai tren ini. Nike mengakuisisi usaha rintisan RTFK sebagai upaya untuk mempercepat transformasi digital perusahaan, termasuk menjual sneakers dan produk virtual lainnya di Metaverse.
Setali tiga uang, perusahaan fesyen global, seperti LV dan Gucci juga telah meluncurkan koleksi khusus yang hanya bisa dibeli di Metaverse. Produk fesyen digital ini nantinya dipakai oleh avatar pembeli di Metaverse sebagai cerminan diri pengguna.
BACA JUGA: METAVERSE DAN MASA DEPAN UANG
Langkah serupa juga diambil oleh Walmart. Raksasa ritel ini dikabarkan telah mengajukan beberapa hak paten atas merek dagang baru untuk membuat dan menjual produk virtual di Metaverse, seperti peralatan elektronik, dekorasi rumah, mainan, barang olahraga, dan produk perawatan pribadi.
Tak pelak perdebatan hangat mewarnai ruang diskusi publik perihal aksi korporasi ini. Bagi kelompok kontra, prediksi tren penjualan barang digital dinilai imajiner.
Alasannya produk digital di Metaverse tersebut bukanlah barang kebutuhan primer maupun sekunder. Artinya, tidak ada alasan fundamental fenomena ini akan mendisrupsi tatanan sistem produksi barang yang sudah berjalan saat ini.
Di sisi lain, kelompok pro justru membangun argumentasinya dari aspek psikologis konsumen yang cenderung irasional. Kebiasaan memamerkan kepemilikan barang dan gaya hidup semakin meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan per kapita.
Buktinya, tidak sedikit kaum kelas menengah atas yang berani merogoh kocek dalam-dalam untuk jasa fotografi profesional demi mempercantik tampilan media sosial.
Logika inilah yang lantas menjelaskan mengapa korporasi papan atas mulai berbondong-bondong merancang produk digitalnya. Sebagaimana media sosial yang menjadi representasi diri penggunanya, prinsip yang sama juga berlaku pada avatar pengguna di Metaverse. Penampilan avatar diasosiasikan sebagai lambang status sosial penggunanya di dunia nyata.
BACA JUGA: PELUANG DAN TANTANGAN STARTUP SUPER
Dari perspektif makro, eksistensi Metaverse niscaya akan membawa dua imbas utama yang saling berlawanan. Destruction effect timbul sebagai dampak disrupsi Metaverse terhadap industri yang sangat bergantung pada mobilitas manusia. Misalnya, bisnis transportasi dan gedung perkantoran.
Di sisi lain, capitalization effect merupakan konsekuensi atas meningkatnya permintaan barang dan jasa baru yang pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja baru di industri yang baru.
Kabar baiknya, Metaverse memungkinkan terjadinya demokratisasi ekonomi. Semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan dan menjual karya digitalnya tanpa perlu khawatir dengan keterbatasan modal yang dimiliki.
Dan tentu saja, kehadiran Metaverse diekspektasikan mampu menciptakan capitalization effect yang lebih besar ketimbang destruction effect, melalui penciptaan lapangan pekerjaan lintas sektor usaha.
Artikel ini telah dimuat di Harian REPUBLIKA 8 Februari 2022
Dec 29, 2021 | Articles on Media
“If this recovery is to be sustainable—if our world is to become more resilient—we must do everything in our power to promote a green recovery”. Demikian pernyataan Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF. Setali tiga uang Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebut ekonomi hijau telah menjadi salah satu elemen penting peradaban baru pasca pandemi Covid-19.
United Nations Environment Programme mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem ekonomi yang rendah karbon, menggunakan sumber daya dengan efisien, serta inklusif secara sosial.
Dalam konsepsinya, pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja didorong oleh investasi ke aktivitas, infrastruktur dan aset yang memungkinkan pengurangan emisi karbon, peningkatan efisiensi sumber daya, serta pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Para ahli setuju bahwa sistem ekonomi yang saat ini berlaku berkontribusi terhadap munculnya problematika perubahan iklim. Harus diakui daya dukung bumi mulai mencapai batasnya.
Penyebabnya tidak hanya karena emisi gas rumah kaca dan pemanasan global, tetapi juga akibat eksploitasi sumber daya alam seperti air, tanah, hutan, dan lainnya.
BACA JUGA: PRESIDENSI G20 DAN RESTORASI EKONOMI GLOBAL
Penanganan isu perubahan iklim semakin krusial mengingat Indonesia mengalami penurunan peringkat Climate Change Performance Index.
Akselerasi pembangunan ekosistem ekonomi hijau memiliki urgensi yang tinggi di mana konsep ini akan mengantarkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif menjadi tujuan realistis, bukan sekedar retorika.
Jargon ‘Build Back Better’ (IMF, 2020) yang kemudian diadopsi oleh Bappenas menjadi ‘Build Forward Better’ (2021) menggambarkan kuatnya komitmen di tataran global dan nasional untuk menata perekonomian pasca krisis pandemi Covid-19 melalui ekonomi berwawasan lingkungan.
Komitmen ini kembali ditegaskan dalam KTT G20 tahun 2022 yang dikomandani oleh Indonesia, dengan fokus pembahasan pada transisi ekonomi hijau.
Peran bank sentral
Pembangunan ekosistem ekonomi hijau sesungguhnya merupakan tanggung jawab semua pihak. Bank sentral juga termasuk di dalamnya.
Isu perubahan iklim dan bank sentral memiliki sebuah keterkaitan. Perubahan iklim berkorelasi positif terhadap tingkat inflasi yang menjadi tujuan dari bank sentral.
Argumen logis yang melatarbelakanginya ialah perubahan iklim membawa dua risiko besar. Pertama, risiko fisik yang berasal dari adanya kerusakan lingkungan akibat pengaruh cuaca dan penurunan produktifitas lahan pertanian.
Implikasinya, jumlah penawaran komoditas pangan berkurang sehingga terjadi lonjakan harga pangan. Situasi ini sering dikenal sebagai inflasi volatile food.
Kedua, risiko transisi akibat perubahan struktural yang signifikan terhadap perekonomian. Misalnya, penutupan industri pertambangan seiring dengan pergeseran dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.
Tanpa perencanaan yang terukur, kebijakan ini akan berdampak pada melambungnya harga energi yang pada akhirnya akan dibebankan ke harga jual produk. Kondisi ini lantas menimbulkan inflasi cost push (dorongan biaya).
Pada tataran lebih luas, konfigurasi risiko ini berpotensi mengguncang stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga aset dan ketidakpastian pasokan yang berujung pada gagal bayar alias kredit macet sebagai taruhannya.
Bank for International Settlements (BIS) menyebut fenomena ini sebagai The Green Swan (angsa hijau), yaitu peristiwa yang berpotensi sangat mengganggu secara finansial yang mungkin menjadi cikal bakal krisis keuangan sistemik berikutnya.
BACA JUGA: MENGHALAU ANGSA HIJAU
Tak pelak kehadiran bank sentral sangat dinantikan. Alur berpikir inilah yang mendasari lahirnya Network for Greening the Financial System (NGFS) pada 2017.
NGFS adalah jaringan bank sentral dan pengawas keuangan yang bertujuan untuk mempercepat perluasan keuangan hijau yang ramah lingkungan, serta mengembangkan rekomendasi peran bank sentral untuk perubahan iklim.
BIS menekankan peran tambahan bank sentral dalam membantu mengoordinasikan langkah-langkah untuk memerangi perubahan iklim.
Upaya ini mencakup kebijakan penetapan harga karbon, integrasi konsep keberlanjutan ke dalam praktik keuangan dan kerangka kerja akuntansi, perumusan bauran kebijakan yang tepat, dan pengembangan mekanisme keuangan baru di tingkat internasional.
Pembiayaan hijau
Presiden Joko Widodo pernah berujar “Ibarat komputer, perekonomian semua negara saat ini sedang macet. Semua negara harus menjalani proses mati komputer sesaat. Semua negara mempunyai kesempatan mengatur ulang sistemnya”. Analogi ini sangat tepat.
Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak negara untuk memikirkan ulang tatanan sistem perekonomian ke depan. Tak heran jika kemudian banyak bank sentral di negara maju maupun negara berkembang kini memformulasikan kembali instrumen kebijakannya.
Regulator sepakat untuk mulai bersama-sama memperkenalkan konsep pembiayaan hijau (green financing). Fokus utamanya ialah mengarahkan seluruh produk dan layanan keuangan ke arah investasi ramah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Misalnya, Bank of England mengeluarkan regulasi Corporate Bonds Purchase Scheme (CBPS) di mana bank sentral memprioritaskan pembelian obligasi hijau korporasi di sektor ramah lingkungan atau yang memiliki komitmen kuat terhadap isu perubahan iklim.
Sementara itu, bank sentral Tiongkok, People’s Bank of China berkolaborasi dengan Kementerian Perlindungan Lingkungan Cina menyusun basis data nasional untuk pengungkapan informasi kepatuhan korporasi non keuangan terhadap regulasi lingkungan.
Lembaga perbankan diwajibkan untuk membatasi pemberian pinjaman kepada perusahaan yang melanggar ketentuan ini.
Di negara berkembang, Bangladesh Bank mewajibkan bank dan nonbank untuk mengalokasikan 5% dari portofolio kreditnya bagi sektor hijau. Selain itu, pelaku industri jasa keuangan diharuskan menyalurkan 10% dari anggaran CSR bagi dana perubahan iklim.
Segendang sepenarian, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan inisiatif keuangan hijau sejak tahun 2010. Pada 2012, BI juga tercatat sebagai pendiri Sustainable Banking Network dan menerbitkan Green Lending Model.
BACA JUGA: E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF PENGENDALIAN INFLASI
Saat ini BI juga tengah mengembangkan kerangka Kebijakan Keuangan Hijau dengan pilar Penguatan Kebijakan Makroprudensial Hijau, Pendalaman Pasar Keuangan Hijau dan Pasar Karbon, serta Pengembangan UMKM Hijau yang memiliki tujuan untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
Khusus pilar Makroprudensial Hijau, implementasinya terlihat dari pengaturan rasio Loan/Financing to Value untuk properti berwawasan lingkungan (KPR hijau) dan uang muka pemberian kredit/pembiayaan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan (KKB hijau).
Per September 2021, kedua jenis kredit menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 28,93% dan 29,39%.
Tidak hanya itu, BI juga melakukan transformasi kelembagaan BI Hijau yang memastikan semua aktivitas operasionalnya ramah lingkungan. Ke depan, masih terdapat pekerjaan besar untuk menyusun konsensus taksonomi ekonomi hijau yang dapat menjadi jembatan antara sektor riil dan sektor keuangan.
Dari perspektif makroekonomi, sistem keuangan sejatinya memiliki peranan yang sangat penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan hijau oleh Bank Indonesia akan diarahkan untuk mendorong transisi aset perbankan ke portofolio yang lebih hijau.
Tidak hanya itu, penyesuaian suku bunga kredit juga didorong agar lebih terjangkau bagi perusahaan atau proyek hijau.
Artikel ini telah dimuat di Harian INVESTOR DAILY 29 Desember 2021
Dec 12, 2021 | Articles on Media
Tidak banyak orang yang mengenal kosakata Metaverse sebelum 28 Oktober 2021. Benar saja pada tanggal tersebut semua mata penjuru dunia tertuju pada Facebook. Korporasi besutan Mark Zuckerberg itu resmi berganti nama menjadi Meta.
Selanjutnya jargon Metaverse seolah telah menjelma sebagai mantra ajaib di industri digital sejak saat itu.
Konsep Metaverse pertama kali diperkenalkan oleh Neal Stephenson dalam sebuah karya fiksi ilmiah berjudul Snow Crash (1992).
Per definisi Metaverse merupakan seperangkat ruang virtual yang menghubungkan antar orang yang tidak berada di satu ruang fisik melalui perangkat augmented reality. Penggunanya direpresentasikan dalam bentuk avatar yang bisa dikendalikan secara virtual.
Semesta Meta digadang-gadang akan menjadi keniscayaan baru di masa depan. Ramalan ini tergolong cukup rasional. Sejumlah nama perusahaan raksasa, selain Facebook dikabarkan ikut terjun mengembangkan Metaverse. Diantaranya Epic Games, Roblox, Nvidia dan Microsoft.
BACA JUGA: WAJAH INDUSTRI ERA METAVERSE
Banyak argumentasi yang melatarbelakangi prediksi ini. Misalnya, pengguna dimungkinkan untuk melakukan kegiatan apapun layaknya di dunia nyata.
Bermain gim, menonton konser, melakukan rapat dan olahraga, serta perdagangan barang dan jasa adalah contoh sederhananya. Bahkan pemasaran produk diyakini bakal bergeser dari media sosial dan marketplace ke ruang virtual ini.
Di industri fesyen selama ini konsumen hanya memilih baju beserta warna dan ukuran di kanal marketplace. Ke depan pelanggan dapat langsung mencoba baju tersebut secara virtual di dunia Metaverse.
Tidak ada lagi risiko ukuran baju yang dikirim terlalu besar atau sempit. Alhasil biaya retur produk dapat diminimalkan. Inovasi ini lantas dipercaya sebagai tren penjualan produk di masa mendatang.
Meskipun menjanjikan keunggulan, nyatanya aktivitas jual beli di dunia Metaverse masih menyimpan sejumlah problematika dan tanda tanya. Salah satunya ialah instrumen pembayaran yang menjadi media transaksi.
Beberapa spekulasi menghubungkan Metaverse dengan rencana ambisius Libra Facebook yang masih jalan di tempat. Dugaan itu masuk akal.
Gelombang penolakan dari berbagai bank sentral berdatangan semenjak proyek uang digital tersebut diumumkan. Apalagi jumlah investor kakap di balik Libra juga terus berguguran. Misalnya Vodafone, Visa, MasterCard, PayPal, eBay, Stripe, Booking Holdings dan Mercado Pago.
Tak heran jika kemudian Facebook disinyalir mencari celah agar Libra dapat digunakan sebagai alat pembayaran tanpa intervensi regulator.
BACA JUGA: MENGALKULASI RISIKO LIBRA FACEBOOK
Harus diakui alat pembayaran yang kini beredar belum mampu mengakomodir kebutuhan transaksi virtual di dunia Metaverse. Pasalnya semua metode pembayaran kekinian seperti dompet digital, mobile banking, maupun pembayaran berbasis QR Code dan NFC masih berbentuk fisik.
Sangat logis apabila banyak analis menilai mata uang kripto (crytocurrency), termasuk Libra sebagai opsi yang paling memungkinkan.
Tantangannya tentu tidak berhenti sampai di situ. Aspek legal formal juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri yang perlu dipersiapkan. Dalam konteks domestik, UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang menyebut Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Segendang sepenarian, Bank Indonesia juga melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran Tanah Air untuk memproses pembayaran dengan mata uang kripto.
Perdebatan yang mungkin akan mengemuka ialah sejauh mana payung hukum tersebut berlaku di dunia virtual. Metaverse adalah dimensi lintas negara yang tidak memiliki yuridiksi hukum tertentu.
Setidaknya belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang Semesta Meta, serta lembaga yang berwenang melakukan pengawasan di dalamnya. Di area inilah mata uang kripto berpotensi untuk berkembang luas sebagai alat pembayaran di dunia Metaverse.
Topik mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai solusi alat pembayaran di Metaverse telah menjadi diskursus hangat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa CBDC memang pada mulanya didesain untuk meredam penggunaan mata uang kripto. Dalam perkembangannya penerbitan CBDC di berbagai negara memiliki motif beragam.
Di negara maju, penerbitan CBDC didorong oleh kebutuhan untuk mendukung keamanan pembayaran dan stabilitas keuangan. Bagi negara berkembang, dipengaruhi faktor untuk memperoleh efisiensi sistem pembayaran domestik dan keuangan inklusif, serta memitigasi shadow banking.
BACA JUGA: MENIMBANG DESAIN DIGITAL RUPIAH
Sebelum isu Metaverse mengemuka, sejatinya sudah banyak bank sentral yang berencana mengeluarkan CBDC dalam beberapa tahun mendatang.
Survei Bank for International Settlements (2021) menemukan sebanyak 80% dari 66 bank sentral tengah melakukan pendalaman CBDC. Sebanyak 40% bank sentral telah menjajaki tahap eksperimen dan 10% bank sentral mulai maju ke tahap pengembangan.
Kasus menarik ialah pengembangan CBDC berbasis cryptography dengan memanfaatkan teknologi blockchain dan distributed ledger oleh Bank of England (BoE). Pada praktiknya, BoE tidak sepenuhnya mengadopsi teknologi yang sama seperti digunakan oleh Bitcoin.
Dalam konsep CBDC yang diusung oleh BoE, bank sentral tetap menjadi entitas pusat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan verifikasi transaksi, setelmen, sekaligus mencatat transaksi.
Pada titik inilah masa depan uang akan berpijak. CBDC berperan penting sebagai game changer kiprah Rupiah di masa mendatang. Dengan adanya dukungan penyesuaian substansi UU Mata Uang sesuai relevansinya di masa depan, niscaya kedigdayaan Rupiah di dalam negeri masih tetap dapat dipertahankan.
Artikel ini telah dimuat di Harian BISNIS INDONESIA 13 Desember 2021